Liverpool Bukan Sirkus Penghibur
Liverpool berambisi menjadi kandidat serius juara Liga Inggris, bukan tim “sirkus”. Tekad itu mereka perlihatkan saat menang “jelek” 2-1 atas Tottenham Hotspur, Senin (1/4) dini hari WIB di Stadion Anfield.
LIVERPOOL, SENIN – Liverpool FC kerap disebut-sebut sebagai tim “penghibur” di Liga Inggris. Mereka bahkan pernah dijuluki tim “sirkus” oleh pendukungnya sendiri karena sulit melepaskan diri dari kebiasaan lama, yaitu inkonsistensi hasil dan kegagalan menjadi juara.
Pandangan itu salah satunya disampaikan Frank, seorang loyalis Liverpool, dalam sebuah siaran Radio 5 BBC, September 2017 lalu. Kecewa dengan hasil imbang 1-1 dari tim semenjana, Burnley, di Stadion Anfield, Frank menumpahkan unek-uneknya di siaran itu. Ia mempertanyakan filosofi bermain Liverpool ala manajernya, Juergen Klopp, yang dianggap “lelucon”.
“Cukup. Saya muak. Saya tidak bisa memahami cara bermain tim (Liverpool). Kita hanya punya tim sirkus, yaitu Liverpool FC. Badut ternamanya adalah Juergen Klopp,” ujar Frank yang kritik pedasnya di ranah publik itu mengundang pro-kontra di kalangan fans “The Reds”.
Pendukung lama Liverpool seperti Frank lelah menjadi korban persekusi suporter dari klub-klub lainnya. Mars lagu YNWA atau “You’ll Never Walk Alone” yang dijadikan ritual suporter Liverpool misalnya, kerap dipelesetkan sebagai “You’ll Never Win Again” oleh fans Manchester United atau Everton FC. Setelah 1990 silam, The Reds tidak lagi pernah menjadi kampiun di Liga Inggris.
Pada awal era Klopp di Liverpool, yaitu musim 2015-2016 dan 2016-2017, klub itu acapkali tampil meledak-ledak bak musik cadas yang pertunjukannya memekakkan telinga dan menarik perhatian mata. Mereka berkali-kali melumat para raksasa seperti Arsenal, MU, dan Manchester City. Namun, pada laga-laga berikutnya mereka tunduk di hadapan tim-tim liliput seperti Swansea City, Watford dan Bournemouth.
Klopp pun diyakini sebagai seorang idealis berkat sepak bola agresif-menyerang yang dikenal dengan nama gegenpressing. Sebagian lainnya melihatnya sebagai penjelmaan tokoh dongeng Inggris, Robin Hood. Seperti Robin, dahulu, Klopp kerap “merampok” kemenangan dari tim-tim kaya dan sebaliknya, membagi-bagikan poin kepada tim-tim papan bawah. Tidak heran, prestasi terbaik The Reds di Liga Inggris bersamanya adalah peringkat keempat.
Namun, berbagai stereotip miring itu satu persatu dimentahkan Klopp dan The Reds, khususnya pada musim ini. Seusai menang 1-0 atas Brighton & Hove Albion, Januari 2019 lalu misalnya, dengan nada keras ia berkata timnya bukanlah pertunjukkan sirkus. “Hari ini kami tidak tampil baik. Namun, ini penampilan kami paling dewasa. Tim kami bukan Sirkus Roncalli. Kami harus meraih hasil,” tuturnya saat itu.
Hal itu kembali ditegaskannya ketika Spurs menang susah payah 2-1 atas Tottenham Hotspur di Anfield, kemarin dini hari WIB. Mereka kurang agresif dan atraktif menyerang. Gol kemenangannya, yang tercipta dramatis di menit ke-90, bahkan dibuat lawannya, yaitu gol bunuh diri bek Spurs Toby Alderweireld. “Ada 500 cara memenangi laga. Hari ini dapat dikatakan sedikit jelek. Tapi, siapa peduli?” ucap Klopp seusai laga itu.
Berkat kemenangan itu, Liverpool kembali merebut puncak klasemen Liga Inggris dengan keunggulan dua poin dari rival terberatnya, Manchester City. Southampton, Chelsea, Cardiff City, Huddersfield Town, Newcastle United, dan Wolverhampton Wanderes menjadi enam rintangan terakhir mereka dalam ambisi mengakhiri puasa trofi Liga Inggris. Adapun City masih menyisakan tujuh laga di Liga Inggris.
Klopp pun tidak keberatan jika kini disebut sebagai oportunis, karakter yang melekat pada jajaran pelatih juara seperti Jose Mourinho, Claudio Ranieri dan Antonio Conte. Bagi dia, Liverpool boleh saja tampil jelek dalam situasi tertentu asalkan menang. Tampil lebih hati-hati, terukur, dan taktis memang lebih sering terlihat di Liverpool musim ini.
Diburu janji lama
Mereka acapkali menang tipis seperti kontra Spurs. Pengalaman menunjukkan, tim-tim yang lebih sering menang tipis, ketimbang bombastis, justru lebih sering menjadi juara Liga Inggris. Itu antara lain dibuktikan Leicester City di musim 2015-2016 dan Chelsea pada musim berikutnya. Mereka menyelaraskan antara kebutuhan menjaga energi dengan tuntutan hasil positif di tengah padatnya serta ketatnya persaingan di Liga Inggris.
Ada alasan lain Klopp juga menanggalkan idealismenya akan sepak bola agresif dan oktan tinggi. Ia diburu waktu dan dikejar janji. Pada Oktober 2015 silam, saat diperkenalkan pertama kali sebagai manajer Liverpool, ia berkata bahwa Liverpool akan meraih trofi paling lambat empat tahun dalam kepemimpinannya. Saat ini adalah 2019, persis tenggat janjinya.
“Tiga poin adalah hal terpenting, bukan perkara saya membuat gol atau hal lainnya. Mereka (fans Liverpool) hanya ingin kami meraih trofi Lga Inggris. Kami akan melakukan segala hal untuk mewujudkan itu,” ujar Mohamed Salah, bintang Liverpool. (AP)