Merawat Kekayaan Nusantara
Bumi Nusantara kaya sumber daya alam, seperti emas, perak, tembaga, dan nikel. Memiliki sejarah panjang eksplorasi sumber daya alam, Indonesia masih harus belajar merawat dan memanfaatkan kekayaan tak terbarukan itu secara bijak.
Jean Jacques Dozy, geolog muda asal Belanda, menemukan Ertsberg dalam ekspedisi tahun 1936. Hamparan gunung di pedalaman Papua yang kini terletak di Kabupaten Mimika itu menyimpan mineral tembaga. Tak jauh dari Ertsberg, Dozy juga menemukan Grasberg, gunung harta karun lainnya.
Ekspedisi yang dilakukan Dozy berakhir dalam sebuah jurnal di perpustakaan Belanda. Dalam sebuah perjalanan ke Eropa akhir 1950-an, Forbes Wilson menemukan laporan Dozy tersebut. Wilson, yang saat itu menjabat manajer eksplorasi Freeport Sulphur, terkesima setelah membaca jurnal itu. Ia pun ingin membuktikan laporan itu.
Pada 1960, setelah mendapat dukungan dari perusahaan, Wilson mengemas ekspedisi ke Papua. Ia membuktikan kebenaran tulisan Dozy dan merekomendasikan agar Freeport masuk ke Indonesia. Tahun 1967, diteken kontrak karya PT Freeport Indonesia, sebuah perusahaan tambang asal Amerika Serikat, yang lantas menjadi tulang punggung utama Freeport McMoran Inc.
Ertsberg diproduksi pertama kali tahun 1973 dan habis ditambang tahun 1989. Hingga 1980 saja, tambang Ertsberg menghasilkan 23 juta ton bijih, diolah menjadi 520.000 ton tembaga, 600 ton perak, dan 46,3 ton emas.
Pada 1988, Freeport juga menggarap Grasberg, gunung dengan cadangan emas terbesar di dunia, yang letaknya 1 kilometer dari Ertsberg. Tambang terbuka (open pit mining) Grasberg dimulai akhir 1989.
Saat mulai ditambang, kandungan tembaga pada bijih Grasberg adalah 1,65 persen dan mengandung 1,4 gram emas di setiap ton bijihnya. Setelah puluhan tahun penambangan terbuka, cadangan bijih permukaan Grasberg habis dan berakhir tahun ini. Selama periode itu, Grasberg menghasilkan 1,3 miliar ton bijih atau memproduksi 11,8 juta ton tembaga dan 4.600 ton emas.
Setelah era Ertsberg dan Grasberg berakhir, kini perusahaan melanjutkan penambangan di dalam tanah (underground mining). Berbeda dengan open pit mining, penambangan bawah tanah lebih rumit, berisiko tinggi, dan memakan biaya lebih besar.
Dengan potensi kandungan mineral tembaga yang cukup besar di bawah tanah, PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum berani mengakuisisi saham PT Freeport Indonesia hingga 51 persen, Desember 2018.
”Bahkan, sampai operasi Freeport selesai di Papua tahun 2041, baik potensi maupun sumber daya mineral yang tersisa masih cukup banyak.
Itu bergantung pemerintah yang akan datang, mau diapakan semua potensi dan sumber daya itu,” ujar Kepala Teknik Tambang PT Freeport Indonesia Zulkifli Lambali di Timika, akhir Februari. Seandainya operasi Freeport selesai tahun 2041, diperkirkan masih tersisa 1 miliar ton bijih.
Eksplorasi
Kisah Freeport di Papua hanyalah sebagian dari kisah perusahaan tambang raksasa yang bercokol di Indonesia. Selain Freeport, ada perusahaan tambang terkemuka, seperti Newmont di Nusa Tenggara Barat, Vale di Sulawesi Selatan, dan J Resources di Sulawesi Utara. Itu belum termasuk ribuan perusahaan berskala menengah sampai kecil di Nusantara.
”Indonesia beruntung lantaran terletak dalam deretan cincin api. Mineral berharga, seperti emas, perak, tembaga, dan nikel, terbentuk melalui proses panjang gunung api, terutama gunung api yang tidak aktif,” kata Adi Maryono, pengurus Ikatan Ahli Geologi Indonesia, dalam sebuah diskusi di Jakarta.
Indonesia beruntung lantaran terletak dalam deretan cincin api.
Potensi mineral nikel Indonesia, misalnya, menempati posisi ketiga teratas. Untuk produk emas, Indonesia berkontribusi sekitar 39 persen dalam cadangan dunia atau kedua setelah China.
Hasil tambang Indonesia hampir selalu masuk peringkat 10 besar dunia. Besarnya potensi mineral tersebut, lanjut Adi, harus dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pemerintah bersama dengan semua pemangku kepentingan harus dapat menciptakan inovasi pengelolaan sumber daya mineral yang dapat memberikan manfaat berkelanjutan bagi generasi mendatang.
Ketua Indonesian Mining Institute Irwandy Arif mengatakan, hanya perusahaan raksasa yang bisa bertahan di bisnis pertambangan dunia mengingat risiko dan kebutuhan biayanya amat besar. Sementara keberhasilan penemuan cadangan mineral tambang kurang dari 10 persen.
Dengan kondisi itu, diperlukan kepastian hukum dalam investasi tambang. Perubahan kebijakan, termasuk perundang-undangan di sektor tambang, akan membingungkan investor dan menciptakan ketidakpastian berinvestasi.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menjadi salah satu acuan pertambangan di Tanah Air. Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jakarta, Ahmad Redi, menilai, UU tersebut sudah membawa semangat positif di dunia pertambangan Indonesia.
Selain mengatur adanya kewajiban meningkatkan nilai tambah mineral dan batubara di dalam negeri, UU ini juga mengubah rezim pertambangan dari kontrak karya menjadi perizinan. Di situ posisi negara menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan tambang dan dapat mencabut izin jika perusahaan melanggar hukum.
Namun, sejumlah peraturan pemerintah yang menjadi turunan dari UU tersebut kini tengah direvisi. Adi berpendapat, perubahan cepat dalam regulasi bisa membingungkan investor.
Tidak hanya soal kepastian hukum, penegakan hukum di sektor tambang juga harus dilakukan. Kepatuhan perusahaan untuk mereklamasi lahan bekas tambang harus dilaksanakan. Tanpa penegakan hukum, eksplorasi kekayaan alam itu hanya akan membawa kutukan berupa bencana alam dan kerusakan lingkungan. (APO/ICH/ENG/FLO/DKA)