Saat para pelukis lain sibuk mengguratkan kuas dan pensil ke kanvas atau kertas, Atno S (60) berdiam saja di lapaknya. Sesekali dia berdiri, sesekali duduk. Sepuluh lukisan Atno dengan berbagai ukuran disandarkan di pagar mal.
Siang itu, Atno, pelukis potret dan karikatur di emperan Blok M Square, Jakarta Selatan, tak membawa perkakas melukisnya. Dia masih lelah. Pagi hari, Atno baru menuntaskan pesanan lukisan kenalan untuk diboyong ke Pontianak. Hari ini, dia hanya membuka lapak untuk menerima pesanan. Syukur-syukur ada pelanggan yang tercantol meskipun nyatanya rezeki belum berpihak.
”Sebenarnya ada beberapa pesanan yang mesti dikerjakan, tapi lagi malas saja. Saya tidak mau forsir tenaga. Pengin santai-santai dulu. Tenggatnya masih lama,” kata Atno, Sabtu (30/3/2019).
Selain Atno, sedikitnya ada 25 pelukis di Blok M Square. Akan tetapi, hanya sepuluh pelukis yang membuka lapak pada Sabtu itu. Mereka berasal dari berbagai latar belakang, antara lain seniman, pekerja serabutan, hingga orang yang benci pekerjaan formal.
Lukisan potret wajah ataupun karikatur yang sudah jadi atau model dipajang di sekeliling mal. Wajah-wajah yang diabadikan di lukisan mulai dari tokoh tenar, seperti Insinyur Soekarno, Benyamin S, Indro Warkop, Basuki Tjahaja Purnama, Cristiano Ronaldo, dan wajah pacar ataupun pelukis itu sendiri.
Harga lukisan di Blok M Square dipatok Rp 400.000 hingga Rp 5 juta, tergantung ukuran, tingkat kerumitan, dan jenis medianya. Untuk lukisan tertentu, harganya bisa belasan hingga puluhan juta rupiah.
Atno termasuk pelukis paling senior di kawasan Blok M. Separuh usianya telah dihabiskan di sana. Pria asal Wonogiri, Jawa Tengah, itu berpindah-pindah beberapa kali, mulai dari Aldiron Plaza (sudah dirobohkan dan masuk kawasan Blok M Square), Jalan Melawai, hingga menetap di Blok M Square.
Jauh sebelum merantau di Jakarta pada 1989, Atno merintis karier sebagai pelukis di kampung halaman. Dia ke Ibu Kota untuk mengadu nasib. Pikir Atno, di kota yang lebih besar penghasilannya sebagai pelukis akan lebih baik. Kesempatan untuk menjadi pelukis terkenal yang karyanya lebih dihargai juga terbuka.
Namun, impian yang terakhir disebut itu urung diraih Atno. Dia tidak kunjung bisa meninggalkan zona nyaman agar bisa lebih berkembang. Tuntutan ekonomi dan persaingan yang ketat membuatnya lebih realistis dengan berkesenian di kaki lima.
”Sebenarnya kalau gini-gini (di kaki lima) terus tidak berkembang. Ingin sih melukis di studio dan majang karya di galeri. Sayangnya, belum kesampaian. Di galeri, karya lebih dihargai tinggi, tapi, ya, sulit laku dan sewa tempat mahal. Kalau di kaki lima, tiap hari ada saja duit masuk walapun enggak besar,” ujar Atno.
Lain Atno, lain pula Aris Saripin (52), pelukis lainnya di Blok M Square. Meskipun sama-sama punya bakat menggambar sejak kecil, keduanya punya motif berbeda. Sebelum berujung di kaki lima, Aris menghabiskan waktu bertahun-tahun bekerja sebagai desainer interior.
Bosan jadi ”pesuruh”, pada 2012 pria asal Padang, Sumatera Barat, itu banting setir jadi pelukis, pekerjaan yang pernah digelutinya selama kuliah di Institut Kesenian Jakarta, yang tidak dituntaskannya. Di kaki lima, Aris menemukan kebebasannya. Baginya, kekayaan paling tinggi di dunia adalah kebebasan.
”Antara saya dan pelanggan statusnya mitra, sejajar. Saya bisa saja menolak pelanggan yang kaya karena perlakuannya tidak baik ke saya. Begitu pula sebaliknya,” kata Aris.
Selain kebebasan, melukis di kaki lima juga membuat Aris bisa menghargai kesederhanaan. Meskipun penghasilan dari melukis tidak besar dan naik-turun, dia mengaku tidak pernah memaksakan harga tertentu bagi pelanggan. Semuanya disesuaikan dengan kemampuan keuangan pelanggan.
Lain lagi halnya dengan Rahmansyah (56), pelukis lainnya di Blok M Square. Walaupun punya bakat dan sering juara melukis semasa sekolah, pria asal Balikpapan, Kalimantan Timur, itu sebenarnya terpaksa menjadi pelukis. Bukan soal pendapatan, tetapi keyakinan. ”Kalau bisa memilih, saya lebih suka berdagang makanan saja,” kata Rahman, panggilan akrabnya.