Triwulan I-2019, Tingkat Hunian Ruang Bisnis Ritel Turun 1,2 Persen di Jakarta
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perkembangan teknologi membuat sejumlah pusat perbelanjaan yang tidak mampu beradaptasi harus menutup gerainya. Meski demikian, besarnya populasi penduduk Indonesia membuat bisnis mal dan pusat perbelanjaan tetap menjanjikan untuk dikembangkan.
Dalam laporan triwulan I-2019 Colliers International Indonesia yang dipaparkan di Jakarta, Selasa (2/4/2019), disebutkan bahwa belum ada pusat perbelanjaan baru yang beroperasi. Dibandingkan dengan kuartal I-2018, tingkat hunian ruang bisnis ritel pun turun 1,2 persen di Jakarta.
Proyeksi tahun ini, dari akumulasi ruang kosong tahun 2018 ditambah dengan proyeksi tambahan ruang ritel tahun 2019, akan ada sekitar 1 juta ruang ritel sewa yang tersedia. Sebesar 55 persen dari total ruang ritel yang tersedia berlokasi di Jakarta.
Terkait hal ini, Senior Associate Director for Research Colliers International Indonesia Ferry Salanto menyampaikan, besarnya jumlah populasi Indonesia masih menjadi alasan utama mengapa para pebisnis ritel memutuskan untuk tetap mengembangkan bisnis ritel melalui pusat perbelanjaan.
Badan Pusat Statistik mencatat, jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 305,6 juta pada tahun 2035. Sebesar 50 persen dari total jumlah penduduk berada di usia produktif 15-64 tahun.
Ferry menyampaikan, pebisnis ritel harus berfokus untuk menjual produk pada satu segmen tertentu. Dalam hal ini, ia menilai, makanan dan minuman merupakan sektor ritel yang paling berpotensi untuk dikembangkan.
”Kami melihat pemilik properti akan memberikan porsi lebih besar kepada penyewa ruang ritel bagi sektor makanan dan minuman. Sebab, kecenderungan masyarakat yang berkunjung ke pusat perbelanjaan saat ini adalah untuk berbisnis, rapat, hingga mencari hiburan bagi keluarga,” ujar Ferry.
Dalam kesempatan yang sama, Senior Associate Director for Retail Services Colliers International Indonesia Steve Subadi J Sudijanto menyampaikan pandangan lain terhadap bisnis ritel. Ia menilai, jika tidak berusaha untuk memanfaatkan teknologi, bisnis ritel akan sulit untuk bertahan.
”Saat ini, melalui adanya perdagangan elektronik atau e-dagang (e-commerce), dari sisi konsumen, perkembangan ini memudahkan layanan belanja. Sementara dari sisi produsen, keadaan ini merupakan ruang kreasi untuk menciptakan kenyamanan bagi konsumen,” tutur Steve.
Memang, tak dimungkiri, sejumlah gerai ritel modern telah menutup bisnisnya karena tidak mampu bersaing dengan e-dagang. Hal itu ditambah pula dengan beragam promosi dari e-dagang yang menarik bagi konsumen, termasuk pemberian diskon.
Sebagai contoh, pada Januari 2019, Grup Hero mengurangi gerainya hingga 26 toko dan ada 532 karyawan yang terdampak dari kebijakan efisiensi tersebut. Selain itu, 7 Eleven, Matahari di Pasaraya Blok M dan Manggarai, Lotus Department Store, Debenhams, dan GAP juga telah menutup sejumlah gerainya (Kompas.id, 14 Januari 2019).
”Beradaptasi dengan teknologi adalah kunci agar bisnis ritel dapat tetap bertahan. Sebab, sekarang perkembangan bisnis sudah mengarah ke sana. Penting juga untuk mencari tahu apa kebutuhan konsumen saat ini,” kata Aldi.