JAMBI, KOMPAS — Kehadiran puluhan industri pengolahan hasil tambang minyak ilegal di Kabupaten Batanghari, Jambi, dikeluhkan warga. Selain mencemari lingkungan, industri itu juga mematikan perekonomian masyarakat setempat.
Warga Desa Batin, Kecamatan Bajubang, Widi, mengatakan, sejak usaha pengolahan minyak hasil tambang ilegal marak enam bulan terakhir, masyarakat mengeluhkan kondisi udara tercemar limbah asap.
”Udara semakin kotor. Lantai rumah juga cepat berdebu,” ujar Widi, Selasa (2/4/2019).
Selain itu, tanaman karetnya pun tak lagi menghasilkan banyak getah. ”Produksi getah sekarang ini turun drastis,” lanjutnya.
Usaha-usaha pemasakan minyak hasil tambang ilegal banyak dibangun di perkebunan karet rakyat di Bajubang. Karena dianggap menguntungkan, para pemilik tanah pun rela menyewakan lahannya untuk dibuka.
Terlebih lagi, harga karet akhir-akhir ini masih lemah. Baru belakangan petani menyadari produksi getah karet terdampak usaha tersebut.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Batanghari Parlaungan Nasution menyatakan, usaha-usaha pemasakan minyak tersebut tak punya izin alias ilegal. Aktivitas produksinya juga tidak memperhatikan keselamatan manusia dan lingkungannya.
Karena pemasakannya tidak sesuai standar, kerap terjadi ledakan selama proses produksi berjalan. Limbah asap dan limbah cair sisa pemasakan pun terbuang langsung ke lingkungan sekitarnya sehingga mematikan beragam mikroorganisme di dalam tanah.
Paparan asap pembakaran pun mengakibatkan tanaman stres sehingga produktivitasnya rentan menurun. Hal itu berdampak pada karet, sawit, dan tanaman buah. Jika dibiarkan berlanjut, tanaman akan mati.
Ujilaboratorium
Hasil uji laboratorium sampel air dari lokasi tambang minyak ilegal di Desa Pompa Air dan Desa Bungku di Bajubang menunjukkan kerusakan lingkungan.
Pengujian sampel yang diambil di 4 lokasi, yakni Danau Merah, Sungai Berangan Hulu, Sungai Berangan Hilir, dan air sumur warga, menunjukan tingginya pencemaran.
Di Danau Merah, tingkat kekeruhan dan kepekatan sangat tinggi melampaui ambang batas toleransi. Kadar minyak dan lemak bahkan mencapai 10.824 mg/l, melebihi ambang batasnya sebesar 1 mg/l.
Begitu pula kadar hidrogen sulfida mencapai 0,800 mg/l atau jauh melampaui ambang batas 0,02. Berlebihnya kadar gas beracun itu akan mengganggu kesehatan manusia dan juga memicu terjadinya kebakaran.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Jambi Evi Primawaty mengatakan, secara kasatmata saja sudah terlihat beratnya pencemaran yang terjadi di sana. ”Dengan kondisi tercemar separah ini, akan sangat berat upaya pemulihan lingkungannya,” ujarnya.
Akan tetapi, lanjutnya, pemulihan lingkungan tidak mungkin dapat dilakukan selama penegakan hukum tidak berjalan. Ia menilai, upaya itu harus dilakukan secara terpadu.
Atas dasar itu, Gubernur Jambi pada Oktober 2018 menyurati Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan agar segera turun tangan. Namun, aktivitas tambang liar di sana belakangan semakin parah.
Lebih dari 1.500 sumur pengeboran minyak ilegal beroperasi di Kecamatan Bajubang. Aktivitas tambang liar itu berlangsung terorganisasi dan merambah wilayah kerja pertambangan PT Pertamina (Persero), termasuk kawasan Taman Hutan Raya Sultan Thaha Syaifuddin. Hasil tambang dipasok ke usaha-usaha pemasakan minyak, lalu didistribusikan ke berbagai sektor usaha, khususnya pada pengecer bahan bakar minyak.