Empati Masyarakat terhadap Penyandang Autisme Perlu Didorong
Empati masyarakat luas dalam memandang anak-anak penyandang autisme masih dinilai kurang. Padahal, rasa empati masyarakat harus terus dibangun agar anak-anak penyandang autisme dapat bersosialisasi di lingkungan lebih luas.
Oleh
AYU SULISTYOWATI
·2 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Empati masyarakat luas dalam memandang anak-anak autis masih dinilai kurang. Padahal, rasa empati masyarakat harus terus dibangun agar anak-anak autis dapat bersosialisasi di lingkungan lebih luas.
Pengelola Yayasan Bali Permata Hati I Gusti Agung Ayu Dwi mengapresiasi dunia usaha dan siapa pun di lingkungan masyarakat luas yang bersedia memberikan ruang khusus kepada anak-anak autis ini.
”Tidak mudah meyakinkan masyarakat agar tidak memandang aneh kepada anak-anak autis ini. Mereka hanya perlu pemahaman dan hal itu membantu anak-anak berbaur dengan lingkungan di mana pun berada,” kata Dwi, di Denpasar, Rabu (3/4/2019).
Tidak mudah meyakinkan masyarakat agar tidak memandang aneh kepada anak-anak autis ini. Mereka hanya perlu pemahaman dan hal itu membantu anak-anak berbaur dengan lingkungan di mana pun berada.
Perjuangan menyebarluaskan tentang cara menghadapi serta menyikapi anak-anak autis, menurut Dwi, masih cukup panjang. Bahkan, katanya, tidak sedikit pula para orangtua anak-anak autis yang masih minim pemahamannya.
Oleh sebab itu, bagi Dwi, pengetahuan tentang autisme dan pemahaman terhadap karakter anak-anak penyandang autisme masih sangat perlu untuk disosialisasikan secara meluas dan masif.
Anak-anak autis juga merupakan anak-anak yang mampu berpikir dan berinteraksi dengan lingkungan di luar mereka. Tentu saja, tambahnya, kesabaran dan empati harus selalu melingkupi anak-anak ini, baik di sekolah, di rumah, maupun di mana saja.
Ia mengapresiasi dunia usaha yang ditemuinya menyediakan ruangan khusus untuk anak-anak autis. Ruangan tersebut berupa fasilitas seperti ruang untuk tantrum healing bagi pengunjung dengan kebutuhan khusus seperti autisme.
Terapis untuk anak autis serta berkebutuhan khusus juga butuh diperbanyak. Meskipun demikian, orangtua tetap menjadi terapis terbaik bagi anak-anak ini. Orangtua harus lebih memahami dan berempati terhadap kemampuan anaknya.
”Ada sebagian orangtua belum menerima keadaan anaknya. Semakin dini mereka terapi, potensi kesembuhannya semakin cepat. Namun, ada saja orang tua yang kurang bersabar dengan kondisi anak-anaknya. Mereka selalu ingin kesembuhan yang instan. Padahal, anak-anak autis ini membutuhkan kesabaran yang maksimal,” ujar Dwi.
Senior Manager Operational Secret Garden Village (SGV) Group Dicky Prasetyo bersama Creative Marketing Manager SGV Group Eugene Kwan menyatakan, tempat rekreasi dan restonya terbuka untuk menyambut dan melayani setiap kunjungan dari keluarga yang memiliki anak-anak penyandang autisme.
Mereka menyediakan ruangan khusus serta memberikan pemahaman kepada seluruh karyawannya agar berempati dan menjaga kesabaran melayani tamu-tamu yang memiliki anak-anak tersebut.
Menurut dia, ketidakpahaman mengenai autisme berpotensi membentuk kondisi diskriminasi. Padahal, lanjutnya, hal itu karena minimnya pemahaman serta memunculkan reaksi dan persepsi yang berbeda. Karena itu, SGV mencoba untuk berupaya memahami keadaan tersebut dan menyediakan ruangan khusus bagi mereka jika dirasa diperlukan.
Terbukanya ruangan tersebut, katanya, bertepatan dengan Hari Peduli Autisme Sedunia dengan tujuan untuk menambah pengetahuan yang lebih spesifik terutama dalam melayani anak-anak penyandang autisme.