JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum berupaya mendekati pemilih untuk mencapai target partisipasi pemilih 77,5 persen. Keterlibatan pemilih dalam pemilu menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan dan kualitas pemilu. Sebab, pemilih yang terlibat dalam tahapan pemilu menandakan aktivitas penyaluran dan ekspresi kedaulatan rakyat yang menjadi inti proses demokrasi.
Di sisi lain, upaya untuk mendekati pemilih itu juga harus didasari pemahaman mengenai kondisi sosiologis yang melatarbelakangi pemilih untuk memberikan atau tidak memberikan pilihannya di bilik suara. Dengan mengetahui latar belakang sosiologis itu, penyelenggara pemilu diharapkan mampu melaksanakan strategi yang tepat untuk mengajak warga menyalurkan hak pilihnya.
Angka pemilih yang termasuk dalam golong putih (golput) atau yang tidak menggunakan hak pilih sebenarnya turun. Data dari Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) menunjukkan, angka golput pada Pemilu 2009 ke Pemilu 2014 menurun. Tren ini seharusnya juga bisa dipertahankan KPU guna menjaga antusiasme dan keterlibatan pemilih dalam setiap tahapan pemilu.
”Pada Pemilu 2014, angka golput sebenarnya lebih rendah apabila dibandingkan dengan angka golput pada Pemilu 2009. Pada 2009, angka golput 29,0 persen, sedangkan pada tahun 2014, angka itu turun menjadi 24,8 persen. Artinya, penurunan partisipasi pemilih itu bisa diatasi oleh penyelenggara pemilu,” kata Alwan Ola Riantoby, Manajer Pemantauan JPPR, Rabu (3/4/2019), di Jakarta.
Kedua, mereka yang memang tidak datang ke TPS karena alasan politis, yakni sebagai bagian dari sikap memberikan kritik kepada para peserta pemilu yang dianggap tidak berkualitas atau kurang mewadahi aspirasi mereka.
”Bahkan, ada juga yang memang datang ke TPS, tetapi mereka di bilik suara tidak memberikan suaranya,” kata Alwan.
Berkaca dari jenis-jenis golput tersebut, KPU selaku penyelenggara bisa melakukan upaya-upaya untuk mengantisipasi warga yang belum memutuskan untuk memberikan pilihan atau tidak memberikan pilihan dalam pemilu. Sosialisasi dan pendidikan pemilih harus semakin gencar dilakukan pada hari-hari terakhir kampanye sebelum pemungutan suara.
Anggota KPU, Pramono Ubaid Tanthowi, mengatakan, KPU memberi perhatian besar pada tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu. Dalam konteks Indonesia, memilih dalam pemilu menjadi satu-satunya bentuk keterlibatan masyarakat dalam politik yang menentukan arah masa depan kepemimpinan nasional.
”Mereka (pemilih) tidak terlibat dalam demonstrasi, penandatanganan petisi, diskusi atau seminar politik, apalagi advokasi kebijakan dan legislasi. Oleh karena itu, penting bagi KPU untuk memastikan semakin besar jumlah pemilih yang menggunakan hak suaranya dalam pemilu. Karena memilih merupakan satu-satunya bentuk partisipasi politik mereka dalam lima tahun ke depan,” katanya.
Berkaca dari hasil survei Center for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta yang diluncurkan 28 Maret 2019, sebanyak 83,7 persen pemilih sudah mengetahui hari pemungutan suara dilakukan 17 April 2019. Dengan angka itu, menurut Pramono, sosialisasi yang dilakukan oleh KPU ataupun kampanye peserta pemilu terbukti efektif dalam meningkatkan pengetahuan pemilih.
”Apalagi dari survei CSIS juga didapatkan data bahwa 97 persen dari responden punya rencana untuk memilih. Meskipun faktanya di lapangan mungkin tidak setinggi itu, tetapi setidak-tidaknya ada nada optimistis dari publik kita untuk memberikan hak suaranya dalam Pemilu 2019,” katanya.
Pramono optimistis, target 77,5 persen tingkat partisipasi pemilih yang dicanangkan oleh KPU bisa tercapai. Angka itu bisa dicapai melalui sejumlah kegiatan sosialisasi KPU yang kreatif dan menyasar kelompok-kelompok strategis secara spesifik.
Mereka yang menjadi sasaran sosialisasi KPU antara lain ialah pemilih pemula, pemilih muda, perempuan, kelompok pemilih disabilitas, berkebutuhan khusus, kelompok marjinal, anggota komunitas, kelompok keagamaan, pegiat internet (netizen), keluarga, serta sukarelawan demokrasi.
Selain itu, KPU mendorong masa kampanye yang tinggal tersisa beberapa hari ini dimanfaatkan seluruh peserta pemilu untuk menyebarluaskan visi-misi dan gagasan secara konstruktif dan edukatif, baik melalui kampanye rapat umum maupun debat kandidat.
”Dengan demikian, pengetahuan publik meningkat, yakni secara teknis, dengan sosialisasi yang dilakukan KPU, dan secara substanstif, yakni dengan kampanye yang dilakukan peserta pemilu,” kata Pramono.
Anggota KPU, Wahyu Setiawan, menambahkan, semua sarana dipakai oleh KPU untuk melakukan sosialisasi dan pendidikan pemilih. Media sosial termasuk sarana yang juga dipakai oleh KPU untuk mendekati kelompok pemilih pemula. Di sisi lain, media konvensional berupa iklan layanan masyarakat juga dimanfaatkan oleh KPU.
”Sosialisasi kita lakukan melalui berbagai sarana, baik pertemuan tatap muka maupun melalui internet, antara lain dengan memanfaatkan website KPU di daerah di semua tingkatan,” kata Wahyu.
Kelompok-kelompok keagamaan dan pertemuan keagamaan yang melibatkan pemuka agama dan tokoh masyarakat juga dimanfaatkan KPU untuk menyosialisasikan Pemilu 2019. Aliran kepercayaan terhadap Tuhan YME tidak terkecuali berupaya disentuh oleh KPU. KPU berharap semua basis pemilih bisa tersentuh oleh sosialisasi dan pendidikan pemilih.
”Forum-forum RT, pengajian, kelompok hobi, kelompok tani, semuanya kita garap. Harapannya mereka bisa mengetahui seluk-beluk terkait dengan Pemilu 2019,” kata Wahyu.
Menurut Wahyu, pada prinsipnya, KPU ingin meraih partisipasi publik setinggi-tingginya karena memilih atau memberikan suara dalam pemilu merupakan ekspresi penyaluran kedaulatan rakyat. Tanpa partisipasi publik, kedaulatan rakyat yang merupakan pengejawantahan demokrasi tidak akan berlangsung dengan baik.