Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, kehilangan salah satu ikon wisatanya, yakni Batu Payung di Pantai Tanjung Aan.
Oleh
KHAERUL ANWAR
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS - Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, kehilangan salah satu ikon wisatanya, yakni Batu Payung di Pantai Tanjung Aan. Menara alam itu runtuh pada Senin (1/4/2019). Pemda setempat berencana menyatukan kembali batuan itu, tapi hal tersebut dinilai tak memungkinkan oleh geolog.
Menurut Herman, pemilik warung di Tanjung Aan, Rabu (3/4), runtuhnya objek wisata itu terjadi sekitar pukul 22.00 Wita, Senin. Saat itu, terdengar suara gemuruh beberapa saat. “Pikiran kami saat itu suara ombak. Tetapi, sebulan terakhir perairan Tanjung Aan tenang sekali,” ujarnya.
Keesokan harinya, warga yang berupaya mencari tahu asal suara gemuruh tersebut kemudian dikejutkan ketika mendapati Batu Payung telah runtuh. Pecahan Batu Payung berserakan di sekitar pantai yang berpasir putih. Bongkahannya menutupi bagian utara dan timur bukit di tapak pantai yang kerap dijadikan titik berfoto wisatawan. Hanya bagian dasar Batu Payung yang tersisa.
Hari ini ada lima wisatawan dari Jakarta ke Batu Payung, padahal saya sudah bilang sudah roboh.
Kimen, pemilik penginapan di Pantai Kute, mengatakan, perkiraan sementara robohya Batu Payung karena faktor alam akibat terus diterjang ombak dan gelombang. Kimen pun mengaku belum tahu langkah konkret penanganan Batu Payung dari Indonesia Tourism Development Corporation sebagai pengelola KEK Mandalika, Pemprov NTB, maupun Pemkab Lombok Tengah.
Sementara itu, Herman mengatakan, tetap berkomitmen untuk menjaga agar aktivitas wisata ke Batu Payung tetap berjalan karena sudah menjadi sumber pengasilan para pedagang kelapa muda, usaha kerajinan, dan pemilik perahu yang mengantar wisatawan pergi-pulang rute Tanjung Aan-Batu Payung.
“Saya mau berembuk dengan teman-teman, mau diapakan Batu Payung nanti. Hari ini ada lima wisatawan dari Jakarta ke Batu Payung, padahal saya sudah bilang sudah roboh,” ujarnya.
Kepala Dinas Pariwisata Lombok Tengah M Putria mengatakan, runtuhnya Batu Payung karena faktor alam. Menurut rencana, bongkahan batu itu akan disatukan kembali dengan teknik sambung. Dana pengerjaannya diusulkan lewat ABPD Perubahan Lombok Tengah tahun 2019. Selain Batu Payung, dia mengatakan masih banyak objek pilihan wisatawan di KEK Mandalika.
Geolog dan Vulkanolog Indyo Pratomo di Bandung, saat dihubungi, mengatakan, Batu Payung tidak bisa direkonstruksi ulang seperti semula. Robohnya batuan itu merupakan proses alamiah yang berlangsung selama jutaan tahun.
“Kayaknya sulit kalau menyusun kembali yang sudah runtuh. Tetapi, bisa dibuat replikanya. Sebaiknnya libatkan geolog yang mau memetakan susunan lapisan dan menyimpan contoh batuan setiap lapisan sebagai pembuatan replikanya,” ujar Heryadi Rachmat, dari Museum Geologi Bandung.
Sejarah geologi
Pantai Kute, Tanjung Aan, dan kawasan sekitarnya menyimpan sejarah geologi yang panjang. Hasil penelitian geologi terhadap bukit-bukit yang miskin vegetasi di dua lokasi itu adalah singkapan letusan kompleks gunung api purba bawah laut "Old Andesit" yang melingkari barat daya-selatan-tenggara Sundaland semasa Oligo-Miosen (30 juta tahun).
Endapan letusan gunung api itu salah satunya menghasilkan Batu Payung. Heryadi mengatakan, ada pula bukit-bukit kerucut (tubuh gunung api) yang utuh terangkat ke permukaan pantai di Lombok bagian selatan.
Pasir putih sebesar biji merica di Pantai Kute dan sekitarnya merupakan fosil foraminifera yang terbentuk oleh adanya tekanan hidrostatik saat erupsi. Lalu, ada kontak antara tubuh lava dengan material panas dan air laut yang dingin. Akibatnya, butiran hamburan material itu membeku dan menjadi fosil dalam ukuran halus maupun bongkahan.