Penolakan warga pendatang akibat perbedaan keyakinan di Dusun Karet, Desa Pleret, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, telah selesai. Aturan dusun yang dinilai diskriminatif dicabut. Persoalan ini diharapkan jadi pembelajaran daerah lain dalam upaya merawat kebinekaan.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
BANTUL, KOMPAS - Penolakan warga pendatang akibat perbedaan keyakinan di Dusun Karet, Desa Pleret, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, telah selesai. Aturan dusun yang dinilai diskriminatif dicabut. Masalah ini diharapkan jadi pembelajaran daerah lain dalam upaya merawat kebinekaan.
"Masalahnya sudah selesai. Tidak ada lagi permasalahan," ungkap Kepala Desa Pleret, Nurman Afandi, saat ditemui di Dusun Karet, Rabu (3/4/2019).
Sebelumnya diberitakan, seorang warga bernama Slamet Jumiarto (42) mendapat penolakan saat hendak mengontrak rumah di Dusun Karet karena persoalan perbedaan keyakinan. Slamet mengontrak rumah di Dusun Karet sejak akhir Maret 2019 bersama istri dan dua orang anaknya. Namun, kehadiran Slamet, seorang non-Muslim, terganjal adanya aturan di Dusun Karet tentang pendatang baru.
Aturan itu tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Kelompok Kegiatan (Pokgiat) Dusun Karet Nomor 03/POKGIAT/Krt/Plt/X/2015 tentang Persyaratan Pendatang Baru di Pedukuhan Karet. SK tertanggal 19 Oktober 2015 itu menyatakan, pendatang baru di Dusun Karet harus beragama Islam. Selain itu, SK tersebut juga menyebut, penduduk Dusun Karet keberatan menerima pendatang baru yang menganut aliran kepercayaan atau agama selain Islam.
Karena aturan itu, Slamet sempat membuat video mengenai persoalan yang dialami. Video itu lalu menyebar melalui media sosial dan mendapat banyak tanggapan. Akibat masalah itu, Slamet sempat berniat pindah dari rumah kontrakannya di Dusun Karet. Padahal, ia sudah membayar lunas uang sewa sebesar Rp 4 juta untuk mengontrak rumah itu selama setahun.
Setelah persoalan itu terungkap dan mendapat perhatian luas berbagai pihak, serangkaian mediasi dilakukan. Akhirnya, Selasa siang, aturan tentang pendatang baru di Dusun Karet itu pun akhirnya dicabut. Oleh karena itu, tak ada lagi larangan bagi pendatang yang beragama selain Islam tinggal di dusun tersebut.
Nurman menyatakan, Slamet dan keluarganya dipersilakan mengontrak rumah dan tinggal di Dusun Karet. Dia menambahkan, masyarakat Dusun Karet sudah sepakat menerima kehadiran Slamet. "Kesepakatannya (Slamet) bisa tinggal di sini. Seluruh tokoh masyarakat sudah menerima kesepakatan ini," ujar dia.
Saat ditemui Kompas, Rabu sore, Slamet membenarkan permasalahan yang dihadapinya sudah selesai. Hal ini karena aturan yang melarang non-Muslim tinggal di Dusun Karet telah dicabut. Dengan begitu, dia dan keluarganya bisa tinggal di tempat tersebut.
"Masalah yang menimpa saya sudah selesai. Peraturannya sudah dicabut," ungkap Slamet yang sehari-hari berprofesi sebagai pelukis.
Slamet mengatakan, merasa bahagia karena aturan diskriminatif di Dusun Karet sudah dicabut. Dia berharap, tidak ada lagi peraturan serupa di wilayah-wilayah lain. "Semoga saja ke depan tidak ada lagi hal serupa yang menimpa orang lain," tutur dia.
Menurut Slamet, masyarakat Indonesia semestinya mampu menjaga persatuan dan kesatuan serta bersikap toleran kepada semua pihak. Apalagi, Indonesia merupakan negara dengan masyarakat yang sangat majemuk.
"Sebagai warga negara yang baik, persatuan dan kesatuan mesti dijaga, pupuk sikap toleransi dan saling menghormati. Jadi, jangan sampai masalah ini terjadi lagi," katanya.
Slamet pun meminta masalah yang menimpanya tidak dipolitisasi untuk kepentingan apapun. Baginya, masalah tersebut merupakan masalah pribadi dan tidak berkait kepentingan politik apapun.
"Saya berharap semua ini tidak dipolitisasi, tidak ditambahi, dan tidak dikurangi. Jangan sampai ada yang menggoreng," tutur dia.
Kesepakatannya (Slamet) bisa tinggal di sini. Seluruh tokoh masyarakat sudah menerima kesepakatan ini
Hati-hati
Sementara itu, Rabu (4/3) siang, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama DIY Edhi Gunawan berkunjung ke Dusun Karet untuk mengatahui duduk soal dan memantau situasi terkini persoalan tersebut. Dalam kesempatan itu, dia juga menyampaikan bantuan dari Menteri Agama untuk Slamet.
Edhi meminta masyarakat dan aparatur pemerintahan di tingkat dusun hingga desa berhati-hati saat membuat aturan yang berkait dengan masalah suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA).
"Harapan kami, ke depan, aturan-aturan yang bernuansa SARA tolong diperhatikan karena sangat sensitif. Kalau ada masalah yang bersinggungan dengan SARA, saya khawatir cepat sekali berkembang," ujar Edhi.
Sementara itu, Direktur Riset Setara Institute, Halili, dalam keterangan tertulisnya mengatakan, aturan tentang pendatang baru di Dusun Karet bisa dikatakan telah mendorong eksklusi sosial berupa peminggiran kelompok tertentu. Menurut dia, aturan itu juga bisa dianggap melegalisasi praktik intoleransi, melanggar hak, dan memunculkan luka di kalangan kelompok minoritas.
"Setara Institute mendesak pemerintah menghentikan eksklusi terhadap minoritas dengan melakukan tindakan progresif untuk mengatasi regulasi lokal yang diskriminatif," jelas Halili.