Pesona Holtekamp, Alam Eksotis, dan Korban Banjir Papua
Oleh
Stefanus Ato
·5 menit baca
Pembangunan infrastruktur yang kian masif di Papua tidak hanya perlahan membuka akses warga di sana. Kehadiran Jembatan Holtekamp yang menawan dan padu dengan pesona alam lautan biru, bakau yang terbentang menghijau, dan polesan tangan manusia pada konstruksi artistik jembatan memanjakan mata.
Malam itu, sekitar pukul 20.00 waktu setempat, Minggu (31/3/2019), Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono meninjau proyek Jembatan Holtekamp, Kota Jayapura. Kehadiran Basuki yang didampingi rombongan dari Jakarta dan para pegawai Dinas PUPR Provinsi Papua berubah menjadi ajang berburu titik menarik dan unik untuk berswafoto.
Dari warga biasa hingga Menteri Basuki tak lupa mengabadikan momen di atas jembatan itu. Jembatan merah yang bermandikan cahaya lampu menggoda siapa pun di sana untuk mengabadikan momen malam, hening nan sepi.
Jembatan yang dikerjakan pada 2015 dan rampung Maret 2019 itu dibangun untuk memangkas jarak tempuh dari Jayapura ke perbatasan Papua Niugini di Distrik Muara Tami, dari 2 jam menjadi hanya 30 menit. Namun, lengkungan dua rangka beton di atas bentang jembatan sepanjang 732 meter dan berdiri di atas perairan Teluk Jayapura itu membuat setiap pengunjung di sana sejenak lupa fungsi utama dari konstruksi penghubung tersebut.
Hal itu tidak lepas dari pesona teluk yang diapit beberapa bukit indah nan eksotis. Pemandangan itu kian lengkap dengan adanya rumah apung warga dan air teluk yang membiru. Air itu setiap saat bergoyang pelan tertiup angin sepoi.
Setelah puas berfoto, kepada wartawan, Basuki mengumumkan, proyek tersebut sudah rampung. Jika tak ada aral melintang, Juli 2019, Presiden Joko Widodo akan meresmikannya. Jembatan itu akan diusulkan ke Presiden untuk diberi nama Jembatan Youtefa.
”Karena ini memang ada di Teluk Youtefa, jadi sangat relevan sekali usulan nama itu,” ucap Basuki.
Dua rangkaian beton melengkung di atas bentang jembatan dibuat oleh PT PAL di Surabaya, Jawa Timur. Anggaran yang dihabiskan membangun jembatan dan pelengkung itu mencapai Rp 900 miliar. Biaya keseluruhan jika ditambah jalan pendekat dan jalan akses ke jembatan merah mencapai Rp 1,3 triliun.
Namun, pembangunan jalan pendekat masih terkendala pembebasan lahan. Masyarakat setempat mengklaim bahwa jembatan itu dibangun di atas tanah ulayat. Mereka meminta kompensasi pembebasan lahan ke pemerintah.
”Saya kira, di mana pun pembebasan lahan ada pernak-perniknya, itu bukan masalah. Harus ada dialog untuk menggapai kesepakatan,” ucap Basuki.
Jalan pendekat dari Jembatan Holtekamp ke Distrik Skouw sepanjang 7 kilometer belum selesai diaspal dan saat ini pengerjaannya terus dikebut. Pemerintah pusat dan daerah bertekad merampungkan keseluruhan proyek itu sebelum Juli 2019.
Rehabilitasi dan relokasi
Sementara itu, berjarak 20-an kilometer dari pesona Jembatan Holtekamp, suasana duka masih menyelimuti warga Kota Sentani, Kabupaten Jayapura. Jejak banjir bandang yang menewaskan 105 orang dengan kerugian mencapai Rp 506 miliar dan rusaknya sejumlah fasilitas publik menimbulkan pemandangan memilukan.
Di kompleks permukiman Nauly, Doyo Baru, Senin (1/4/2019), rumah warga pun tanpa penghuni. Setengah dari bangunan rumah di sana tertimbun pasir, batu, dan kayu gelondongan. Perumahan itu luluh lantak diterjang banjir Sungai Dobokurung yang membuat aliran baru melewati permukiman.
Material itu datang dari Gunung Cycloop yang kian kritis. Data WWF pada akhir 2018 menunjukkan, 9.470 hektar (ha) kawasan Cycloop, yang memiliki luas keseluruhan 31.479,9 ha, dinyatakan kritis. Kerusakan di daerah itu terus meluas dibandingkan tahun 2015 yang seluas 1.500 ha.
Presiden Joko Widodo, saat meninjau warga terdampak banjir bandang di posko pengungsian Gelanggang Olahraga Toware, Kabupaten Jayapura, Senin, dengan tegas menyatakan, Gunung Cycloop harus direhabilitasi.
Permintaan Presiden itu diikuti dengan penandatanganan kerja sama yang melibatkan 17 lembaga, mulai dari sejumlah kementerian, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, pemerintah provinsi, kota, dan kabupaten di Papua, PT Freeport Indonesia, Universitas Cenderawasih, Dewan Adat Suku Sentani, Lembaga Musyawarah Adat Port Numbay, hingga Dewan Persekutuan Gereja. Mereka sepakat bersama-sama merehabilitasi dan memulihkan Gunung Cycloop.
Presiden juga meminta kepada pemerintah setempat untuk merelokasi warga korban bencana ke tempat yang lebih aman. Kawasan itu dinilai sudah tidak layak dijadikan permukiman.
Gubernur Papua Lukas Enembe menuturkan, pemerintah daerah sedang mencari lokasi yang aman untuk membangun kembali perumahan warga. Permukiman akan dibangun di sekitar wilayah Waena, di dekat Jalan Trans-Papua.
Jauh dari gunung
Menanggapi instruksi Presiden, warga setuju. Mereka tak ingin lagi tinggal di kaki Gunung Cycloop, apalagi di tepi sungai. Warga masih trauma dengan peristiwa banjir bandang mengerikan pada 16 Maret 2019.
Emilira (39), warga pengungsian GOR Toware, kepada Kompas, berkisah sembari bercucur air mata. Didampingi tiga anaknya yang masih bersekolah, ia berharap permukiman baru yang akan ditempati tidak jauh dari tempat anak-anaknya bersekolah.
”Sudah dua minggu anak-anak saya diliburkan. Bangunan sekolah, kursi, meja, buku rusak semua. Saya tidak mau mereka putus sekolah karena musibah ini,” ucap perempuan Daerah Sosial, Sentani, itu.
Koordinator pengungsian GOR Toware, Andreas Wajobo, menuturkan, mereka meminta kepada Presiden agar dibangunkan hunian sementara dalam waktu dua bulan. Dalam jangka panjang, perumahan warga dibangun dengan konstruksi beton.
Rehabilitasi Cycloop dan relokasi warga korban banjir Sentani mutlak dilakukan menyeluruh. Kehadiran Jembatan Holtekamp merupakan infrastruktur yang tidak sekadar membuka akses warga di Papua. Ikon wisata baru itu akan menjadi penghibur bagi masyarakat Sentani untuk menghapus duka bencana. Namun, jembatan tersebut akan lebih bermakna setelah kebutuhan dasar korban banjir bandang juga dipenuhi.