Momentum emas sulit terulang lagi. Ketika desakan publik menginginkan kehadiran moda raya terpadu (MRT) di Jakarta begitu kuat, Gubernur DKI Jakarta (ketika itu) Joko Widodo menangkap kegelisahan warga. Karena itu, pada Kamis, 2 Mei 2013, Jokowi ”nekat” meluncurkan pengerjaan proyek raksasa justru ketika banyak hal belum siap.
Orang-orang di sekitar Gubernur Jokowi pun belum banyak yang yakin proyek itu perlu segera dikerjakan. Saat itu, Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama belum berani memutuskan. Sikapnya serupa dengan sikap Direktur Utama PT MRT Jakarta (ketika itu) Dono Boestami. Dono memilih sikap diplomatis. Ia tahu banyak hal belum siap, tetapi dia mendukung keputusan Jokowi.
Kontrak kerja sama antara Indonesia dan lembaga donor Jepang, Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA), belum semuanya beres. Pembebasan lahan pun belum semua selesai. Sementara mobilisasi alat-alat berat belum berjalan. Tidak ada dana awal yang cukup untuk memulai proyek. Namun, Jokowi memutuskan tetap ada peluncuran proyek.
Acara sederhana
Kamis sore itu, Biro Kepala Daerah Kerja Sama Luar Negeri DKI Jakarta menggelar acara sederhana di sisi selatan Tugu Selamat Datang di Jalan MH Thamrin. Di tempat yang lebih dikenal sebagai Bundaran Hotel Indonesia itu, Jokowi meresmikan dimulainya proyek senilai Rp 17 triliun (untuk fase 1). Tidak ada ingar-bingar, hanya ada spanduk bertuliskan ”MRT Jakarta Dimulai”.
Dengan kemeja putih, Jokowi berdiri di depan spanduk berwarna merah dan putih itu didampingi sejumlah orang. Mereka antara lain Dono Boestami, Komisaris Utama PT MRT Jakarta Erry Riyana Hardjapamekas, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah DKI Sarwo Handayani, Asisten Gubernur Bidang Transportasi Fransiskus Trisbiantara, serta beberapa orang pejabat Pemprov DKI.
Tidak banyak seremonial sore itu. Setengah berbisik, Jokowi menanyakan kepada Dono, mengapa acaranya sangat sederhana. Panggung acara tidak ada, paparan detail dari direksi juga tidak ada, dan lokasi acara berada di tengah-tengah keramaian lalu lintas kendaraan di sekitar Bundaran HI. ”Pak, kok, begini acaranya?” tanya Jokowi kepada Dono.
Dono tidak tahu jawabannya karena dia pun datang selaku tamu undangan. Lantas, dia menunjukkan surat undangan kepada Jokowi. Dono menjelaskan, yang punya acara adalah Biro Kepala Daerah yang saat itu dijabat Heru Budi Hartono. Kini, Heru bertugas sebagai Kepala Sekretariat Presiden sejak Kamis, 20 Juli 2017.
Peluncuran proyek ketika itu dilakukan ketika masih ada penolakan dari sebagian warga. Salah satunya datang dari warga di Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan, yang mempersoalkan desain jalur MRT layang di kawasan itu. ”Kalau ground breaking, seharusnya langsung kerja. Ada alatnya, ada aktivitas kerjanya,” kata Dono saat ditemui Kompas, Selasa (23/3/2019).
Keputusan penting
Pada kesempatan lain, Dono menyampaikan tentang tahapan pengerjaan proyek. Ada kemungkinan proyek ini tidak akan selesai di akhir masa jabatan Jokowi sebagai Gubernur DKI (jabatan gubernur berakhir 2017). Jika itu terjadi, yang akan meresmikan proyek fase pertama bukan Jokowi.
”Jika tidak terpilih lagi, bagaimana Pak? Konsekuensinya, jika selesai sesuai jadwal, yang meresmikan proyek ini bukan Bapak,” ujar Dono mengulangi kata-katanya kepada Jokowi ketika itu.
”Tidak apa-apa, yang penting diresmikan dulu,” kata Jokowi kepada Dono.
Pernyataan ini melegakan Dono. Pernyataan ini membuat dia semangat untuk bekerja meskipun pada 2017 dia melepas jabatannya selaku Dirut MRT Jakarta. Masa-masa kritis itu, lanjut Dono, ada di awal pengerjaan proyek. ”Saya salut, hal-hal yang belum selesai saya cari solusinya,” kata Dono.
Menurut Dono, paling tidak, ada enam payung hukum yang harus diselesaikan mendesak saat itu. MRT yang sebagian beroperasi di dalam tanah adalah hal baru di Indonesia. Hal lain yang perlu dibuat landasan hukumnya adalah skema pendanaan yang berubah dari 58 persen DKI dan 42 persen pusat menjadi 51 persen DKI dan 49 persen pusat. Semua hal itu harus diselesaikan dalam sesegera mungkin.
Keberanian menangkap momentum peluncuran proyek menurut Dono penting. Tanpa peristiwa sederhana itu, tanpa mengecilkan peran semua pihak lain yang terlibat dalam proyek, proyek ini sulit terwujud seperti saat ini. Langkah Jokowi untuk meresmikan peluncuran proyek melengkapi langkah-langkah lain mewujudkan moda tersebut.
Wacana lama
Proyek MRT sudah diwacanakan sejak pertengahan dekade 1970-an. Wacana itu muncul dari hasil penelitian periset Jerman Barat di Jakarta selama 2 tahun 6 bulan. Hasil penelitian menyebutkan bahwa Jakarta membutuhkan angkutan massal dan cepat(Kompas, 24/7/1974).
Sebelas tahun kemudian, wacana ini semakin mengerucut pada munculnya gagasan mewujudkan mass rapid transit (MRT). Pemerintah melalui Departemen Pekerjaan Umum menyampaikan, untuk mengurai kemacetan lalu lintas pada jam sibuk di Jakarta, dibutuhkan sistem angkutan massal cepat MRT.
Gagasan ini dilanjutkan pada tahun 1995, ketika Gubernur DKI Soerjadi Sudirdja membuat rencana detail pembangunan MRT. Selain desain, sudah ada konsorsium investor yang ditunjuk sebagai pendana proyek ini. Mereka tergabung dalam Indonesia Jepang Germany (IJEG) (Kompas, 10/7/1995). Adapun payung hukum terkait rencana ini tertuang dalam Keputusan Gubernur Nomor 413 tentang Pembentukan unit Manajemen Proyek Pengembangan Sistem Angkutan Umum Massal di Jakarta (Saumaja). Dokumen dan rencana ini tertuang dalam buku Saumaja yang diterbitkan tahun 1997.
Dalam keputusan itu, dilampirkan susunan unit manajemen pengembangan yang terdiri dari kalangan kampus, pemerintah pusat, dan Pemprov DKI. Melengkapi hal itu, pada 1 Agustus ditandatangani kesepakatan bersama proyek angkutan massal (ketika itu rutenya Blok M-Kota). Lalu, mengapa proyek ini baru bisa dikerjakan pada tahun 2013 dan selesai fase pertama tahun 2019?
Mantan Komisaris Utama PT MRT Jakarta Erry Riyana Hardjapamekas memandang pencapaian ini karena adanya komitmen yang kuat. Ia melihat, Gubernur Jokowi tidak ingin proyek tertunda lebih lama lagi. Perkembangan prakonstruksi yang dilakukan di era Gubernur Sutiyoso dan Gubernur Fauzi Bowo harus dilanjutkan. Pada saat yang sama, desakan publik untuk mewujudkan MRT semakin kuat. Saat Jokowi menjabat presiden ke-7 RI (sejak Oktober 2014), ia memantau langsung perkembangan proyek ini.
”Pak Jokowi menganggap proyek ini seperti bayi yang sedang dia tunggu-tunggu kelahirannya. Setiap saat dia cek, sampai beroperasi sekarang,” kata Erry. Itu namanya komitmen.