JAKARTA, KOMPAS - Kualitas beras yang tidak sesuai standar serta mundurnya masa panen raya menjadi tantangan penyerapan gabah dan beras dalam negeri oleh pemerintah melalui Perum Bulog. Oleh karena itu, panen pada April dan Mei 2019 menjadi ujung tombak pengadaan beras dari dalam negeri.
Pada awal April 2019 ini, serapan beras/gabah dalam negeri oleh Perum Bulog berkisar 8.000 ton setara beras per hari. "Jika dibandingkan tahun lalu, serapan harian pada April dapat mencapai 11.000 ton. Tahun ini lebih sulit karena terkendala kualitas beras yang ditemui di lapangan serta musim panen yang mundur," kata Kepala Departemen Humas Perum Bulog Teguh Firmansyah saat dihubungi, Rabu (3/4/2019).
Tidak optimalnya penyerapan beras oleh pemerintah melalui Bulog juga tercermin dari realisasi pada Januari-Maret. Berdasarkan data dari Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, per 31 Maret 2019, penyerapan pemerintah dari dalam negeri sepanjang 2019 mencapai 72.821 ton. Padahal, realisasi serapan dalam negeri, Januari - Maret 2018, mencapai 247.446 ton.
Realisasi serapan dari Januari hingga akhir Maret 2019, mayoritas berasal dari sentra-sentra di Pulau Jawa. Teguh menyebutkan, sumber terbesar berasal dari Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan.
Berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah, kualitas kadar air gabah yang diserap maksimal 25 persen dan kadar hampa (kotoran) maksimal 10 persen. Teguh mengatakan, gabah yang ditemui selama Maret 2019 di luar ketentuan tersebut karena sejumlah sentra mengalami kebanjiran sehingga tidak bisa diserap.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dari 2.135 transaksi yang diobservasi, sebanyak 21,97 persen merupakan gabah kualitas rendah. Gabah kualitas rendah ini memiliki kualitas kadar air lebih dari 25 persen dan kadar hampa lebih dari 10 persen.
Dari transaksi gabah kualitas rendah itu, harga terendah berada di Nusa Tenggara Barat, yakni sebesar Rp 3.300 per kg. Adapun gabah kualitas rendah paling banyak ditemui di Jawa Timur.
Selain itu, Teguh menambahkan, panen raya yang diprediksi mundur ke April 2019 turut menjadi tantangan penyerapan pada Maret 2019. Imbasnya, jumlah gabah yang berpotensi diserap pada Maret 2019 tidak sebanyak tahun lalu.
Oleh karena itu, Bulog menjadikan panen pada April-Mei 2019 sebagai ujung tombak pengadaan beras dalam negeri.
"Kami akan melanjutkan strategi yang sudah berjalan selama ini. Misalnya, berkoordinasi dengan aparat yang tergabung dalam Tim Sergap (Tim Khusus Serapan Gabah Petani) serta berkoordinasi dengan Dinas Pertanian di daerah untuk mengetahui lokasi-lokasi yang produksinya surplus," tutur Teguh.
Bulog menargetkan serapan harian oleh Bulog dapat mencapai 20.000 ton setara beras. Jika ditilik dari neraca stok cadangan beras pemerintah (CBP) berjalannya, stok Bulog dapat menyentuh angka 2 juta ton pada panen April-Mei 2019 tersebut. Saat ini stok CBP berkisar 1,85 juta ton.
Sementara Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud meminta Bulog mengantisipasi rendahnya kualitas gabah sebagai imbas dari musim hujan yang masih berpotensi terjadi. "Perlu ada optimalisasi dryer (mesin pengering) baik yang ada di Bulog maupun kelompok tani," ucapnya.
Di sisi lain, menurut Peneliti Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) M Husein Sawit, target dengan mengandalkan panen April-Mei 2019 mendatang menghadapi tantangan. Salah satunya, harga pembelian pemerintah (HPP) yang dinilai tak mampu bersaing di lapangan.
Pemerintah menetapkan HPP untuk panen saat ini sebesar Rp 4.070 per kilogram (kg) berdasarkan Inpres Nomor 5 Tahun 2015 yang sebesar Rp 3.700 per kg dengan kelenturan 10 persen di atasnya. Husein berpendapat, pada April-Mei mendatang harga di tingkat petani akan berada di atas HPP sehingga Bulog berpotensi tertinggal dibandingkan penggilingan-penggilingan swasta dalam hal penyerapan.
Di hilir, Husein mengatakan, kanal penyaluran Bulog menyempit akibat peralihan bantuan sosial beras sejahtera (bansos rastra) menjadi bantuan pangan nontunai (BPNT). "Akibatnya, Bulog tidak memiliki gairah karena jumlah yang akan disalurkan sedikit. Kalau penyerapannya terlalu banyak, Bulog mesti mengeluarkan tambahan biaya untuk penyimpanan. Hal ini berpotensi menimbulkan kerugian bagi Bulog," ujarnya.