WELLINGTON, KAMIS — Terdakwa kasus terorisme di Selandia Baru, Brenton Tarrant (28), akan dijerat sedikitnya 90 dakwaan oleh pengadilan Selandia Baru. Dakwaan tambahan akan dibacakan dalam sidang pada Jumat (5/4/2019).
Dalam pengumuman pada Kamis (4/4/2019), kepolisian Selandia Baru menyebut Tarrant akan dijerat 50 dakwaan pembunuhan dan 39 dakwaan percobaan pembunuhan dalam sidang Jumat. Sebelumnya, dalam sidang pada 16 Maret 2019, ia sudah dijatuhi satu dakwaan. Bahkan, kepolisian masih mempertimbangkan dakwaan tambahan bagi warga Australia yang menembak puluhan jamaah dua masjid di Christchurh, Selandia Baru, pada 15 Maret 2019 itu.
Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern sudah menyatakan bahwa serangan oleh Tarrant sebagai terorisme. Sejumlah pakar hukum di negara itu menyebut Tarrant bisa dijerat dengan undang-undang antiteror di sana.
Sidang pada Jumat ini akan fokus pada prosedur peradilan. Tarrant dimungkinkan untuk tidak mengajukan pembelaan. ”Tujuan utama sidang pada 5 April adalah memastikan posisi hukum terdakwa terkait dengan kuasa hukum dan menerima informasi dari pemerintah terkait tahapan prosedural dan perkiraan kapan selesai,” ujar Cameron Mander, salah satu hakim di pengadilan tinggi setempat.
Sejak dakwaan pertama, Tarrant tidak mengajukan pembelaan atas kekejamannya. Bahkan, ia memecat kuasa hukumnya dan menyatakan akan mengurus sendiri pembelaan di persidangan.
Denda
Terkait dengan serangan Tarrant, Australia menyiapkan aturan baru kepada pengelola media sosial. Australia akan menjatuhkan denda senilai hingga 10 persen pendapatan global perusahaan media sosial dan penjara hingga tiga tahun bagi pejabatnya. Hukumnya itu akan dijatuhkan jika pengelola media sosial gagal bertindak cepat menghapus unggahan mengandung materi kekerasan seperti serangan Tarrant.
Kala menyerang dua masjid di Selandia Baru, Tarrant merekam dan menyiarkannya secara langsung melalui media sosial. Cuplikan rekaman itu beredar luas ke berbagai pelantar media sosial hingga berminggu-minggu selepas penyerangan.
Rancangan undang-undang baru soal sanksi bagi media sosial itu diajukan ke parlemen Australia, Kamis (4/4/2019). ”Penting bagi kita menyampaikan pesan jelas kepada perusahaan media sosial bahwa kita berharap perilaku mereka berubah,” kata Menteri Komunikasi dan Seni Australia Mitch Fifield.
Partai Buruh yang di kubu oposisi Australia mendukung RUU itu. Akan tetapi, mereka akan mendengar pendapat pelaku industri teknologi soal kemungkinan perubahan UU itu jika Partai Buruh menang pemilu pada Mei nanti.
Sejumlah pihak menilai RUU itu terburu-buru diajukan. Hal itu menimbulkan kekhawatiran RUU tidak dibahas dengan layak. ”Hukum dirumuskan secara terburu-buru setelah kejadian tragis tidak benar-benar menguatkan perundang-undangan dan bisa membawa banyak dampak yang tidak terduga,” kata kepala Dewan Hukum Australia Arthur Moses.
Jika RUU itu disahkan, Pemerintah Australia akan meminta pengelola media sosial memberikan kerangka waktu untuk menghapus materi kekerasan dari pelantar mereka. Selanjutnya, juri akan menilai apakah perusahaan bertindak sesuai dengan kerangka waktu itu atau tidak. (REUTERS)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.