JAKARTA, KOMPAS — Nilai ekspor industri alas kaki Indonesia pada 2018 dilaporkan tumbuh, namun pertumbuhannya tidak mencapai target. Lemahnya daya saing dan kurangnya insentif pajak bagi industri alas kaki dinilai menjadi faktor penyebab terjadinya pelambatan ekspor.
Badan Pusat Statistik mencatat, ekspor alas kaki nasional meningkat 4,13 persen, yaitu dari 4,91 miliar dollar AS pada 2017 menjadi 5,11 miliar dollar AS pada 2018. Dari data ini, Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) menyatakan, nilai ekspor 5,11 miliar dollar AS merupakan yang tertinggi sejak 1997.
Kendati menunjukkan tren pertumbuhan, Ketua Pengembangan Sport Shoes dan Hubungan Luar Negeri Aprisindo Budiarto Tjandra menyampaikan, peningkatan masih di bawah target. ”Sebenarnya kami menargetkan pertumbuhan ekspor hingga 10 persen,” ujarnya, di Jakarta, Kamis (4/4/2019).
Menurut Budiarto, target ekspor tidak tercapai diakibatkan oleh, antara lain, alotnya perjanjian ekonomi komprehensif antara Indonesia dan negara-negara Uni Eropa (I-EU CEPA). Padahal, negara-negara di kawasan Eropa merupakan pasar terbesar bagi industri alas kaki Indonesia.
Aprisindo mencatat, pada 2018, negara-negara Eropa, khususnya kawasan Eropa Barat, mengambil porsi 32 persen dari total tujuan ekspor industri alas kaki. Kemudian diikuti oleh kawasan Amerika Utara (29 persen), Asia Timur (22 persen), Amerika Tengah (7 persen), Asia Selatan dan Tenggara (3 persen), Eropa Timur (2 persen), Australia dan Oceania (2 persen), Asia Barat (2 persen), dan Afrika (1 persen).
”Pemerintah seharusnya dapat mempercepat perjanjian kerja sama perdagangan bebas, khususnya dengan Uni Eropa. Memang saat ini fokus sedang ke persoalan sawit, namun pemerintah perlu mempertimbangkan komoditas lain, jangan sampai alas kaki menjadi korban,” ujar Budiarto.
Dengan tidak adanya perjanjian dagang tersebut, produk alas kaki Indonesia dikenai tarif bea masuk hingga 11 persen. Hal ini berdampak pada rendahnya daya saing dengan negara lain, terutama Vietnam yang telah memiliki perjanjian perdagangan dengan Uni Eropa.
Meskipun cenderung meningkat, ekspor alas kaki Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan Vietnam. Secara rata-rata, pertumbuhan ekspor produk alas kaki Indonesia dari 1999 hingga 2018 sebesar 8,47, sementara dalam periode yang sama, pertumbuhan di Vietnam mencapai 15,96 persen.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Aprisindo Firman Bakri mengatakan hal senada. Selain melalui perjanjian perdagangan, Firman menyampaikan adanya peluang dalam meningkatkan ekspor produk alas kaki melalui investasi asing.
”Kita harus mengambil peluang dari perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Dari perang dagang ini, kita dapat menarik investasi pabrik dari China untuk relokasi ke Indonesia,” ujar Firman.
Namun, untuk dapat menarik investasi diperlukan paket kebijakan yang menarik, salah satunya pemberian tax holiday bagi investor asing. Saat ini, sektor alas kaki memang sudah mendapat insentif berupa tax allowance, tetapi masih dirasakan kurang menarik oleh pelaku industri.
”Sebab, melalui tax holiday, perusahaan akan dibebaskan pajak penghasilan badan selama lebih kurang 5 tahun. Sementara kebijakan yang berlaku saat ini, tax allowance hanya memberikan potongan pajak sebesar 30 persen,” kata Firman.
Apabila perjanjian perdagangan serta pembebasan pajak dapat diimplementasikan, Aprisindo optimistis nilai ekspor dapat meningkat. Dalam lima tahun ke depan, nilai ekspor ditargetkan meningkat dua kali lipat dari tahun 2018.
”Untuk mencapai target tersebut, berarti tahun ini harus meningkat 10 persen. Sementara pada tahun-tahun berikutnya, harus lebih dari 10 persen untuk mencapai nilai ekspor sekitar 10 miliar di tahun 2023,” ujar Budiarto.
Target ini pun didukung oleh permintaan terhadap produk alas kaki di tingkat global yang terus meningkat, termasuk juga di dalam negeri. Maka, industri alas kaki harus tetap dijadikan sebagai industri unggulan Indonesia.