Konflik Rohingya Sangat Kompleks, namun Dapat Ditangani
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Bagi Myanmar, konflik Rohingya di Negara Bagian Rakhine bukan satu-satunya kekerasan yang harus ditangani pemerintah. Isu yang dihadapi warga minoritas itu memang sangat kompleks dan menjadi topik diskusi yang tak ada habisnya. Namun, Myanmar yakin konflik itu dapat ditangani dan perdamaian bisa dicapai secara bertahap.
Pesan tersebut dinyatakan oleh Duta Besar Myanmar untuk ASEAN Min Lwin dalam seminar bertajuk ”Committee of Permanent Representatives to ASEAN” di Universitas Indonesia, Depok, Kamis (4/4/2019). Acara yang pertama kali digelar di Indonesia itu menghadirkan semua 10 wakil tetap negara anggota ASEAN.
”Konflik di Negara Bagian Rakhine bukan satu-satunya konflik yang ada di Myanmar. Sejak memperoleh kemerdekaan, Myanmar masih dilanda banyak konflik,” kata Min Lwin. Beberapa wilayah lain yang ia sebut masih dalam keadaan konflik adalah Negara Bagian Kachin dan Shan.
Min Lwin menambahkan, Pemerintah Myanmar berupaya keras untuk melakukan rekonsiliasi dan membangun perdamaian di area konflik. ”Konflik di area (Rakhine) ini bukan apa-apa bagi kami dibandingkan dengan wilayah lain. Isu ini bukan ancaman bagi kawasan kami,” ujar Min Lwin.
Menanggapi upaya ASEAN dalam menangani konflik di Rakhine yang tampak minim di mata publik, Min Lwin menekankan salah satu prinsip utama diplomasi ASEAN.
”Kami (negara anggota ASEAN) tidak ikut campur dalam urusan internal negara lain. Jadi, kami mendukung dan membantu negara lain secara diam-diam,” tuturnya.
Negara-negara anggota ASEAN memberikan bantuan dalam menangani isu Rohingnya di Rakhine, di antaranya adalah bantuan kemanusiaan dan repatriasi.
”Kami semua (ASEAN) datang dari latar belakang yang sangat beragam. Tidak hanya bahasa, tetapi juga dari segi agama dan etnis. Oleh karena itu, kami memegang prinsip tidak ikut campur dengan urusan internal negara lain,” ucap Duta Besar Indonesia untuk ASEAN Ade Padmo Sarwono.
Ade menambahkan, ASEAN tidak menerapkan diplomasi ”megafon” atau dengan suara keras, tetapi dengan suara yang lebih tenang. ”Kami tidak menyatakan sejumlah hal secara publik yang dapat menciptakan suasana yang tidak kondusif,” katanya.
ASEAN mencari solusi melalui dialog. Solusi itu pun diterapkan secara bertahap dan tidak bisa secara langsung. ”Perdamaian dan stabilitas tercapai setelah beberapa tahun,” kata Ade.
Pada Maret 2019, militer Myanmar mengatakan, telah membentuk pengadilan militer terkait dugaan kekerasan atas warga Rohingya. Kekerasan itu, menurut sejumlah laporan organisasi internasional, telah mengakibatkan setidaknya 730.000 warga Rohingya ke Bangladesh.
Pada bulan itu pula, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengatakan, ASEAN telah mengirim tim ke Negara Bagian Rakhine untuk menilai keadaan di sana. Dalam pertemuan para Menlu ASEAN di Thailand, Januari 2019, diputuskan bahwa ASEAN akan bantu Myanmar dalam proses repatriasi warga Rohingya kembali ke Rakhine (Kompas, 14/3/2019).
Bangladesh dan Myanmar sebelumnya turut sepakat untuk melakukan hal itu. Namun, saat dimulai pada Desember 2018, warga Rohingya menilai Rakhine tidak aman dan menolak kembali ke sana.
”Ada agenda yang tersembunyi di balik itu semua. Seperti yang saya katakan, isu ini bisa saya diskusikan selama setidaknya tiga jam,” kata Min Lwin.