Malu Bertanya, Sesat di Hutan
Malu bertanya sesat di jalan. Tepatnya, dalam kasus saya, sesat di hutan, seperti yang saya alami saat meliput acara doa bersama bertajuk “Selametan Puser Bumi Merawat NKRI Menjaga Indonesia” di puncak Gunung Tidar, Kota Magelang, Jawa Tengah, Minggu (24/3/2019).
Memang, tidak persis seperti pepatah, karena "kesesatan” yang saya alami bukan mutlak akibat malu bertanya. Melainkan, lebih karena mengabaikan apa yang ada di kiri dan kanan jalan sehingga tidak melihat papan larangan.
Semua hal tadi berkontribusi pada peristiwa “horor” yang saya alami saat kebingungan menemukan jalan pulang di tengah gelap hutan. Akibatnya, saya sempat dilaporkan sebagai orang hilang dan baru berhasil pulang setelah dijemput relawan dari Komunitas Tanggap darurat.
Gunung Tidar sebenarnya berada di tengah Kota Magelang. Berada di ketinggian 503 meter di atas permukaan laut (mdpl), kawasan gunung ini sering dipakai untuk latihan dan berbagai kegiatan militer yang diselenggarakan oleh Akademi Militer (Akmil). Di gunung ini juga terdapat sejumlah situs makam sehingga menjadi kawasan wisata religi.
Akibatnya, saya sempat dilaporkan sebagai orang hilang dan baru berhasil pulang setelah dijemput relawan Komunitas Tanggap Darurat.
Pengalaman "horor" ini bermula saat saya datang meliput sebuah acara pada hari Minggu pukul 16.30 WIB. Sebenarnya dalam undangan disebutkan, acara dimulai pada pukul 14.00 WIB. Namun, karena berdasarkan pengalaman, kebanyakan acara mulainya molor, maka saya memilih datang lebih sore agar sempat setidaknya menulis satu berita.
Insting saya bahwa acara akan molor dari jadwal ternyata tepat. Ketika saya datang, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga baru saja datang. Sebagai undangan utama, kedatangan gubernur menjadi penentu dimulainya acara.
"Selametan Puser Bumi Merawat NKRI Menjaga Indonesia" adalah doa bersama yang diselenggarakan warga Kota dan Kabupaten Magelang. Acara yang baru dimulai pukul 17.00 ini, digelar untuk mendoakan situasi Indonesia menjelang Pemilu.
Kegiatan kemudian diisi dengan beragam acara lainnya. Tidak hanya doa bersama, di dalamnya juga ada seremonial sambutan dari pejabat dan panitia, pentas tari, lalu ditutup dengan makan bersama.
Setelah merasa cukup banyak memotret dan mengumpulkan data dari wawancara, saya mulai merasa gelisah. Pasalnya, waktu sudah menunjukkan pukul 17.41 WIB. Namun, acara belum juga berakhir. Banyak orang masih sibuk menyantap tumpeng yang disediakan oleh warga yang datang dari berbagai desa dan kelurahan.
Baca juga: Diteror Saat Meliput Tambang Emas Liar di Pulau Buru
Oleh karena hari sudah petang dan masih ada kewajiban mengetik berita, saya beranggapan saat itulah waktu yang tepat untuk pulang. Meskipun ternyata tidak ada orang lain yang hendak pulang, saya tetap nekat berjalan turun sendirian dari atas gunung.
Saya akui, saya pelupa. Meski belum lama berselang, saya sulit mengingat jalan mana yang tadi saya lewati saat naik gunung. Namun, karena kemudian saya melihat ada celah jalan untuk turun, saya langsung berpikir bahwa itulah jalan yang bisa mengantar saya pulang.
Sebenarnya, saya sudah beberapa kali naik ke Gunung Tidar. Namun baru kali itu sampai ke bagian puncaknya. Ada tiga pilihan jalan, namun saat itu saya kurang memahaminya. Oleh karena buru-buru ingin pulang, saya jadi berpikiran, kalaupun ada beberapa pilihan jalan, masing-masing nantinya akan saling berhubungan.
Saya terus berjalan turun menyusuri tangga. Namun, di tengah jalan, saya mulai merasa bahwa jalan tersebut berbeda dengan jalan saat naik. Saat turun, saya hanya bertemu tangga. Sementara saat naik, saya sempat melihat ada beberapa titik peristirahatan yang ramai oleh lapak pedagang minuman. Saya panik karena langit semakin gelap dan berangsur gulita tanpa lampu penerangan di kanan kiri jalan.
Di tengah kebingungan, saya menelepon teman. Saat itu sudah pukul 18.00 WIB. Saya mengatakan, saya tersesat. Teman itu menyarankan saya segera naik kembali ke puncak karena masih ada panitia acara dan teman-teman di sana.
Saya panik karena langit semakin gelap dan berangsur gulita tanpa lampu penerangan di kanan kiri jalan.
Dengan terengah-engah, saya kembali naik ke atas. Terdapat 564 anak tangga menuju puncak Gunung Tidar dan saya tidak tahu posisi saya di anak tangga ke berapa.
Sembari berjalan, saya sempat beberapa kali menelepon teman tersebut. Namun, saya kesulitan melaporkan posisi karena tidak ada sesuatu yang spesifik untuk dijadikan penanda. Meski begitu, saya berangsur sedikit lega karena teman di ujung telepon mengabarkan, ada relawan yang bergerak mencari saya.
Saya terus berjalan untuk mencari lokasi yang kira-kira mudah ditemukan. Ketika itulah, saya melihat satu lampu kecil bercahaya kuning. Saya kembali menelepon teman dan mengatakan saya di dekat lampu tersebut. Di telepon, ia mengatakan bahwa jalur yang saya lalui adalah jalur menuju Akademi Militer (Akmil) Magelang yang tertutup untuk umum. “Sudah, kamu diam di situ saja. Ada relawan bergerak ke sana,” ujarnya.
Mendengar itu, tidak ada lagi yang bisa saya lakukan kecuali tetap berdiri di lokasi tersebut. Perasaan saya campur aduk ketika harus berdiam di tengah hutan pada ketinggian 1.650 kaki itu. Diperparah dengan situasi gelap di antara rimbun pepohonan besar dan ditingkahi suara gemerisik yang tidak jelas sumbernya.
Bagi saya yang boleh dibilang penakut, terutama dengan hal-hal mistis. Itulah saat paling “horor” yang pernah saya alami. Meski sudah berdoa, pikiran saya tetap dipenuhi cerita-cerita tentang orang hilang, kawasan hutan angker, dan sebagainya.
Untungnya, saya hanya perlu menunggu sekitar 10 menit. Namun, rasanya itulah 10 menit terlama dalam hidup saya. Dari balik pepohonan, dua relawan Komunitas Tanggap Darurat muncul dengan sepeda motor menerobos hutan. Seorang di antaranya meminta saya duduk di boncengan. Seorang lainnya membantu membukakan jalan dengan mengesampingkan ranting-ranting yang menjuntai.
Akhirnya, kami tiba di satu titik peristirahatan yang masih ramai orang. Beberapa pedagang menawari saya untuk minum. Namun, saya lebih memilih untuk segera turun dan pulang. Beberapa peserta acara doa yang kebetulan adalah perangkat desa di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, mengenali saya sebagai wartawan. Mereka pun tertawa.
“Biasa keluyuran di desa yang luas, tidak pernah tersesat. Kok di sini, di tengah kota, malah tersesat, Mbak,” ujar seorang perangkat.
Saya pun membalasnya dengan ikut tertawa. Relawan yang menjemput saya pun penasaran kenapa saya sampai salah jalan ke jalur yang menuju Akmil. “Jalur menuju Akmil itu tertutup, Mbak. Ada tanda larangan untuk masuk. Masyarakat umum tidak boleh masuk ke sana,” ujarnya.
Baca juga: Nyaris Hilang Saat Liputan di Pulau Enggano
Saya kemudian mengingat-ingat lagi. Mungkin saya tidak sadar telah salah memilih jalur turun karena mengabaikan tanda-tanda di kanan kiri jalan yang saya lewati.
Keesokannya, saya ceritakan pengalaman ini ke sejumlah teman. Untung saja saya tidak keburu meneruskan perjalanan dan sampai di Kompleks Akmil. Saya bisa dituduh sebagai penyusup kawasan militer. “Urusannya bisa panjang,” ujar seorang teman.
Mendengar itu, saya merasa kapok. Apalagi jika ingat kemungkinan terjadi peristiwa mistis. Tambah kapok. Saya kapok untuk terburu-buru bergerak tanpa banyak bertanya dan mengumpulkan informasi. Bagi saya, ini pelajaran berharga dalam bekerja, baik dalam kondisi terdesak tenggat waktu maupun tidak. Malu bertanya, "horor" akibatnya.