TANGERANG, KOMPAS — Suara generasi milenial menentukan hasil Pemilu 2019. Oleh karena itu, mereka diharapkan ikut memilih, tetapi tidak asal memilih. Di sisa waktu sekitar dua minggu sebelum tiba waktu pemungutan suara 17 April 2019, mereka diharapkan mencermati tawaran gagasan ataupun rekam jejak dari setiap kandidat ataupun partai politik peserta Pemilu 2019.
Hal itu mengemuka dalam Festival Muda Memilih 2019 di Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Tangerang, Banten, Kamis (4/4/2019). Hadir sebagai pembicara antara lain Ketua Komisi Pemilihan Umum Arief Budiman, pengamat komunikasi politik Gun Gun Heryanto, Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo, Rektor UMN Ninok Leksono, dan Putri Indonesia 2019 Frederika Alexis Cull.
Gun Gun menilai, suara generasi milenial signifikan dalam menentukan pemenang pemilu serentak 17 April mendatang. Pasalnya, dari total sekitar 192 juta pemilih, sekitar 80 juta di antaranya merupakan pemilih milenial.
Oleh karena itu, dia mengajak generasi milenial untuk ikut berpartisipasi di pemilu. Dia pun menyarankan generasi muda untuk tidak asal memilih. Pilihan diharapkan dijatuhkan pada kandidat yang memiliki gagasan untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.
Berkait dengan pemilu, lanjut Gun Gun, generasi milenial terbagi atas tiga golongan, yakni milenial rasional, milenial psikologis, dan milenial sosiologis.
Milenial rasional, lanjutnya, mempertimbangkan gagasan kandidat yang dekat dengan diri maupun kelompoknya. Misalnya saja tentang ekonomi digital.
Selanjutnya, milenial psikologis cenderung menilai kandidat berdasarkan informasi yang ia terima tentang kandidat tersebut. Komunikasi yang bersifat resiprokal menjadi kunci untuk menggaet pemilih tipe ini.
Terakhir, milenial sosiologis yang menjatuhkan pilihan berdasarkan seberapa dekat identifikasi dirinya dengan kandidat. Hal ini mencakup kesamaan hobi, daerah, dan agama. ”Mungkin ada pertimbangan agama dan etnis dalam memilih pemimpin untuk kategori milenial sosiologis, tetapi jumlahnya tidak banyak,” katanya.
Dalam forum tanya jawab, peserta diskusi menanyakan tentang golput atau mereka yang memilih tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu.
Pada kesempatan ini, mahasiswa UMN Nathanael Pribady mempresentasikan hasil survei penggunaan hak pilih di antara mahasiswa UMN yang dibuatnya. Dari 52 responden, sebanyak 19,2 persen memilih golput. Kemudian di antara yang golput, sekitar 80 persen beralasan golput karena karena tidak mau mengurus dokumen pindah memilih. Sisanya beralasan karena idealisme.
Budiman Tanuredjo mengaku pernah golput semasa Orde Baru. Saat itu, kata dia, penyelenggaraan pemilu tidak sebaik hari ini. ”Untuk apa ikut memilih dalam pemilu yang pemenangnya sudah diketahui terlebih dahulu?” katanya.
Namun, lanjut Budiman, penyelenggaraan pemilu kali ini lebih demokratis. Di antara pasangan calon presiden dan wakil presiden, misalnya, tak ada yang bisa memastikan pasangan mana yang akan menang pada Pemilu 2019.
Pemilu yang demokratis ini, lanjutnya, juga telah melahirkan sejumlah pemimpin muda. Di DKI Jakarta ada Anies Rasyid Baswedan, di Jawa Barat ada Ridwan Kamil, dan ada Khofifah Indar Parawansa di Jawa Timur.
Oleh karena itu, Budiman mengajak generasi milenial untuk menjadi pemilih yang kritis. Jangan terjebak pada slogan dan materi kampanye saja. Rekam jejak kandidat ataupun partai politik juga perlu diteliti.
Arief Budiman menambahkan, di Indonesia memilih adalah hak. Artinya, warga Indonesia bisa menggunakan hak pilih tersebut maupun tidak menggunakan.
Meski demikian, bagi yang akan menggunakan hak pilihnya, Arief mengajak milenial untuk terlebih dulu menanyakan ke diri sendiri mengenai apa yang dibutuhkannya. Kemudian, cermati setiap kandidat, dan pilih kandidat yang dengan tawaran programnya mampu menjawab kebutuhannya.
Arief melanjutkan, pemilu merupakan hal paling mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui pemilu, akan terpilih pemimpin yang melanjutkan cita-cita bangsa Indonesia. ”Pemilu sangat menentukan perjalanan bangsa Indonesia ke depan,” katanya.