NAYPYIDAW, KAMIS — Dua jurnalis Reuters, Wa Lone dan Kyaw Sow Oo, ditahan di Myanmar sejak 12 Desember 2017 atau lebih dari 15 bulan. Mereka ditangkap ketika sedang menyelidiki pembantaian warga etnis minoritas Islam Rohingya yang melibatkan tentara Myanmar dan dituduh pemerintah melanggar peraturan mengenai rahasia negara. Tahun lalu, pengadilan di Yangon menjatuhkan hukuman penjara selama 7 tahun kepada kedua jurnalis.
Pemerintah Amerika Serikat, Kanada, dan sejumlah negara Eropa serta organisasi internasional telah mendesak Myanmar untuk membebaskan kedua jurnalis. Mereka menekankan, kebebasan pers merupakan salah satu fondasi utama negara demokrasi dan hak asasi manusia.
Saat Mahkamah Agung Myanmar mendengarkan pernyataan banding di Naypyidaw, Selasa (26/3/2019) pekan lalu, pengacara kedua jurnalis, Khin Maung Zaw, menekankan kurangnya bukti kejahatan yang dilakukan kedua jurnalis. Ia juga mengungkapkan, bukti kejahatan mereka merupakan hasil rancangan polisi.
Wa Lone dan Kyaw Sow Oo tidak hadir saat sidang banding pekan lalu. Namun, keluarga mereka menyempatkan diri untuk hadir.
”Kami berharap keluarga kami dapat bersatu kembali sesegera mungkin,” kata istri Kyaw Soe Oe, Chit Su Win, kepada jurnalis di luar gedung Mahkamah Agung Myanmar.
Sebelumnya, petugas hukum yang mewakili Pemerintah Myanmar, Ko Ko Maung, mengatakan, kedua jurnalis Reuters ditemukan memiliki dokumen rahasia yang membahayakan keamanan nasional. Pada September 2018, hakim Pengadilan Distrik Yangon menyatakan kedua jurnalis itu bersalah berdasarkan undang-undang tentang rahasia negara dan menjatuhkan hukuman penjara selama 7 tahun.
Pada April 2018, seorang polisi bernama Moe Yan Naing mengungkapkan dalam sidang bahwa petugas kepolisian telah menyelipkan dokumen rahasia kepada kedua jurnalis itu untuk menjebak mereka. Tidak lama kemudian, polisi itu ditahan selama hampir 1 tahun karena melanggar undang-undang tentang disiplin polisi. Ia dibebaskan pada Februari 2019.
”Undang-undang tentang disiplin polisi ini adalah salah satu undang-undang yang harus kami ubah saat kami sedang mengarah menuju demokrasi,” ucap Moe Yan Naing kepada media saat keluar dari penjara Insein di pinggiran kota Yangon. Ia pun menyesalkan kedua jurnalis Reuters yang masih ditahan hingga kini.
”Mahkamah Agung Myanmar memiliki kesempatan untuk memperbaiki ketidakadilan yang dialami Wa Lone dan Kyaw Soe Oo selama 15 bulan terakhir. Mereka adalah jurnalis yang jujur, mengagumkan, tidak melanggar hukum, dan harus dibebaskan,” kata Pemimpin Redaksi Reuters Stephen J Adler dalam sebuah pernyataan.
Aung San Suu Kyi ditekan
Pemimpin Pemerintahan Myanmar Aung San Suu Kyi pada September 2018 menyatakan bahwa keputusan pengadilan yang memberikan hukuman penjara kepada kedua jurnalis itu adil. ”Mereka tidak dihukum penjara karena menjadi jurnalis, tetapi karena pengadilan memutuskan bahwa mereka telah melanggar Undang-Undang Rahasia Resmi,” ujarnya.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres menyerukan kepada komunitas internasional untuk mendukung dan membantu pembebasan kedua wartawan Reuters. Ia menekankan, hal itu penting demi memastikan kebebasan pers di Myanmar.
Mantan Presiden AS Bill Clinton turut menyerukan pembebasan kedua jurnalis. ”Kebebasan pers penting demi kebebasan masyarakat. Penahanan jurnalis di mana saja tidak dapat diterima,” ujarnya.
Pada Oktober 2018, parlemen Kanada mencabut status warga kehormatan yang pernah diberikan kepada Suu Kyi. Ia dianggap melakukan kesalahan karena tidak menyebut bahwa tindakan keras militer terhadap minoritas Rohingya merupakan kejahatan. Menurut PBB, aksi keras militer di Negara Bagian Rakihne telah mendorong hampir 700.000 warga Islam Rohingya melarikan diri dan mencari perlindungan di Bangladesh.
Status warga kehormatan itu sebelumnya diberikan karena perjuangan Suu Kyi dalam mewujudkan demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia di negaranya. Pada 1991, ia juga mendapat Nobel Perdamaian. (REUTERS)