Biaya pembangunan rumah contoh bakal hunian tetap penyintas gempa bumi di Sulawesi Tengah melampaui pagu yang disiapkan sebesar Rp 50 juta per unit. Para penyintas berharap hal ini tidak mengurangi aspek ketahanan rumah menghadapi gempa bumi.
Oleh
Videlis Jemali
·2 menit baca
PALU, KOMPAS — Biaya pembangunan rumah contoh bakal hunian tetap penyintas gempa bumi dan likuefaksi di Sulawesi Tengah melampaui pagu yang disiapkan sebesar Rp 50 juta per unit. Para penyintas berharap hal itu tidak mengurangi aspek ketahanan rumah menghadapi gempa bumi.
Pembangunan rumah di lahan relokasi ditargetkan dimulai tahun ini. Saat ini, sebagian lahan relokasi telah dibersihkan. Di Palu, lahan relokasi ada di dua daerah, yakni Kelurahan Duyu dan Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore.
Masing-masing satu lahan relokasi disediakan di Kabupaten Sigi dan Donggala. Selain pemerintah, rumah untuk penyintas ini nanti dibangun juga oleh pihak swasta atau lembaga sosial. Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, misalnya, akan membangun 1.000 rumah dari proyeksi kebutuhan 4.000 rumah.
Rumah contoh yang hampir rampung dikerjakan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat ada di Kelurahan Duyu, Kecamatan Tatanga, Kota Palu, Sulteng. Hunian itu dinamai Rumah Unggul Sistem Panel Instan (Ruspin). Rumah berukuran 36 meter persegi itu dibangun di lahan seluas 150 meter persegi.
Pola tahan gempa sangat jelas. Ada dua rangka disambung baut di setiap sudutnya. Hampir semua elemen rumah telah dikerjakan. Hanya keramik yang belum dipasang dan dinding masih belum diplester.
Ketua Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Sulteng Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Arie Setiadi Moerwanto di Palu, Jumat (5/4/2019), mengatakan, awalnya anggaran yang disediakan untuk satu rumah mencapai Rp 50 juta. Namun, biaya pembangunan rumah contoh ternyata mencapai Rp 60 juta per unit.
”Kami masih perlu menyesuaikan lagi sejumlah elemen rumah. Namun, penyesuaian itu tak akan memengaruhi struktur rumah yang bercorak tahan gempa. Elemen itu misalnya jendela dan dinding rumah,” katanya.
Marwan Angku, penyintas likuefaksi di Kelurahan Balaroa, Kecamatan Palu Barat, Palu, menyatakan, penyesuaian biaya pembangunan rumah jangan mengabaikan aspek ketahanan rumah terhadap gempa. ”Membangun Sulteng pascagempa berarti membangun sesuai dengan kerentanannya terhadap risiko bencana,” katanya.
Ia menambahkan, jika memang pembangunan satu rumah untuk penyintas melebihi pagu yang disiapkan, semestinya hal itu tetap diakomodasi. Penyintas yang rumahnya hilang di zona merah berhak mendapatkan rumah yang layak huni dan lengkap.