Di Balik Aliran Kayu Ilegal
Pembalakan liar dalam hutan gambut di perbatasan Jambi-Sumatera Selatan terus berlangsung. Tanpa tindakan antisipatif, bukan tak mungkin kebakaran besar seperti tahun 2015 terulang.
Kabut asap dari hamparan hutan gambut di perbatasan Jambi-Sumatera Selatan menyita perhatian publik pada 2015. Terungkap titik-titik api muncul seiring maraknya pembalakan liar. Kini, empat tahun berselang, praktik serupa kembali marak. Siap menyulut bencana baru.
Deru mesin perahu memecah kesunyian di tengah kanal yang membelah hutan wilayah Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, Sabtu (16/3/2019) siang. Sepuluh meter di belakang perahu, tampak ratusan batang kayu olahan berbaris panjang. Kayu-kayu itu dikawal sejumlah pria menuju ujung kanal.
Tak lama berselang, tampak lagi iring-iringan kayu. Kali ini, barisannya lebih panjang. Sejauh mata memandang, hanya terlihat kayu mengisi sepanjang permukaan kanal. Kayunya kebanyakan gelondongan berdiameter di atas 30 sentimeter. Di ujung kanal, operator ekskavator telah menunggu. Alat berat itu mengangkat perahu menuju kanal lain. Kayu-kayu di belakangnya ikut ditarik.
Dari situ, perjalanan kayu berlanjut hingga keluar hutan. Di ujung kanal kedua, kayu mulai melintasi Sungai Kumpeh. Di sepanjang tepian sungai berdiri tempat-tempat penampungan untuk menerima pasokan kayu. Sebagian kayu lain dipasok ke industri pengolahan di sejumlah daerah, mulai dari Muaro Jambi, Kota Jambi, hingga Palembang, Lampung, Banten, dan Semarang.
Menurut pekerja kayu setempat, kanal dibangun PT Pesona Belantara Persada (PBP) selaku pemegang izin hak penguasaan hutan (HPH). Namun, siapa pun bebas melansir kayu hasil tebangan melewati kanal.
Dari mana asal kayunya tak pernah dipertanyakan. Bahkan, operator alat berat selalu berjaga membantu pekerja kayu melansir hasil tebangan dari satu kanal ke kanal lain. ”Siapa pun bebas mengambil kayu dari hutan di ujung sana. Namanya juga mencari makan,” ujar warga tersebut.
Leluasa
Perjalanan dari lokasi tebangan menuju titik terluar di Sungai Kumpeh sebenarnya cukup jauh. Jaraknya lebih dari 40 kilometer. Karena ditempuh dengan perahu motor, memakan waktu sekitar 6 jam.
Pencurian kayu dari hutan itu berlangsung leluasa. ”Memangnya siapa yang mau mengawasi? Lokasinya jauh di dalam areal izin perusahaan dan tidak mudah untuk diakses,” ujar Arpi, warga setempat.
Padahal, sejak tahun 2015, PT PBP tak pernah lagi mengantongi izin rencana kerja tahunan (RKT) dari pemerintah. Tanpa RKT, perusahaan tak boleh menebang kayu. Tanpa RKT pula, perusahaan tidak akan mendapatkan izin mengangkut hasil kayu yang kini menggunakan sistem informasi penatausahaan hasil hutan (SIPUHH) berbasis daring.
”Jadi, kalau ada kayu keluar dari kawasan hutan perusahaan itu, sudah pasti kayu ilegal,” kata Sodiq, Kepala Seksi Pemantauan dan Evaluasi Hutan Produksi Balai Pengelolaan Hutan Produksi Jambi.
Praktik liar dalam hutan itu pun belakangan menimbulkan kekhawatiran pada Donny Osmond, Kepala Seksi Kebakaran Hutan dan Lahan Dinas Kehutanan Jambi. Ia mencermati besarnya ancaman kebakaran lahan di balik maraknya pembalakan liar.
”Perlu dikendalikan agar ancaman kebakaran hutan dan lahan tidak kembali berulang,” katanya. Areal PBP berada di Kecamatan Kumpeh Ilir, Kabupaten Muaro Jambi, yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. PBP mengantongi Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 674 Tahun 2010 pada 8 Desember 2010. Areal izinnya seluas 21.315 hektar.
Kebakaran lahan
Tahun 2015, kebakaran lahan dan hutan menimbulkan kabut asap pekat. Pemandangan kota tertutupi asap selama hampir lima bulan lamanya. Tahun itu merupakan masa paling kelam bagi masyarakat Jambi karena besarnya dampak dan korban.
Berdasarkan hasil identifikasi, salah satu penyumbang asap adalah akibat kebakaran gambut dari kawasan hutan bergambut tersebut. Lebih dari 3.000 hektar hutan hangus di dalam areal kerja PBP. Pemerintah pun membekukan izin lingkungan perusahaan.
Kala mengikuti upaya pemadaman dari udara bersama tim siaga kebakaran hutan dan lahan Jambi saat itu, Kompas mendapati pembalakan liar ternyata marak.
Kayu-kayu yang telah ditebangi dialirkan oleh para pelaku lewat kanal dan parit. Dua pintu utama membuka jalan keluar kayu curian dari hutan tersebut. Pintu yang satu mengarah ke Sungai Kumpeh. Jalan lain menembus perbatasan Jambi-Sumsel.
Donny menilai, maraknya aktivitas dalam hutan bisa menjadi pemicu kebakaran. ”Dalam kondisi gambut mengering, aktivitas manusia di dalam hutan itu bisa memicu kebakaran hingga meluas,” ujar Donny.
Ancaman bencana serupa dapat terjadi kembali jika tidak ada penanganan antisipatif. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya terkejut mendapati pencurian kayu marak sewaktu memantau situasi kebakaran hutan dan lahan dari udara pertengahan 2015.
Saat itu, Siti langsung menginstruksikan aparat daerah segera menggelar operasi. Ironisnya, praktik serupa hingga kini masih terus berulang. (Irma Tambunan)