JAKARTA, KOMPAS — Para dokter muda yang telah menyelesaikan pendidikan profesi ko-asisten di rumah sakit meminta ijazah dokter mereka diberikan. Tanpa ijazah itu, mereka tidak bisa mencari pekerjaan di bidang apa pun. Aturan pemerintah mensyaratkan mereka harus mengikuti ujian kompetensi mahasiswa program profesi dokter terlebih dahulu.
Ujian kompetensi mahasiswa program profesi dokter (UKMPPD) dilakukan sejak Agustus 2014 berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Peserta yang lulus UKMPPD mendapatkan sertifikat profesi dari perguruan tinggi dan sertifikat kompetensi dari organisasi profesi.
”Ijazah dokter yang didapat setelah program ko-as adalah hak setiap dokter. Tidak ada kaitannya dengan uji kompetensi," kata Haswan, Ketua Pergerakan Dokter Muda Indonesia, di sela-sela unjuk rasa di teras Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi di Jakarta, Jumat (5/4/2019).
Ijazah dokter yang didapat setelah program ko-as adalah hak setiap dokter. Tidak ada kaitannya dengan uji kompetensi.
Ia mengatakan, pendidikan dokter memakan waktu enam tahun. Pada empat tahun pertama adalah proses perkuliahan yang ketika tuntas mahasiswa mendapat ijazah sarjana kedokteran. Setelah itu, mereka wajib mengikuti ko-as di rumah sakit selama dua tahun. Seusai menjalankan program tersebut, sarjana kedokteran mengikuti yudisium agar resmi menjadi dokter dan mendapat ijazah dokter.
”Bukti seseorang dinyatakan lulus dari fakultas kedokteran adalah dari keberadaan ijazah dokter, bukan dari gelar sarjana kedokteran karena waktu enam tahun itu adalah kesatuan yang utuh,” ujar Haswan.
Menurut dia, setelah menerima ijazah dokter, pemegang ijazah tersebut bisa memutuskan untuk mengikuti uji kompetensi. Apabila lulus, yang bersangkutan menerima sertifikat bukti layak melakukan praktik di rumah sakit, puskesmas, ataupun klinik pribadi. Adapun izin praktiknya dikeluarkan oleh dinas kesehatan dan Ikatan Dokter Indonesia.
Akan tetapi, tidak semua individu berminat berprofesi sebagai dokter. Mungkin yang bersangkutan lebih berminat menjadi pegawai negeri sipil atau masuk ke lembaga nonmedis. Untuk itu, tidak perlu mengambil uji kompetensi. Ijazah dokter sebagai bukti lulus kuliah kemudian digunakan untuk melamar pekerjaan lain.
Tidak semua individu berminat berprofesi sebagai dokter. Mungkin yang bersangkutan lebih berminat menjadi pegawai negeri sipil atau masuk ke lembaga nonmedis.
Permasalahannya, sejak tahun 2014, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang saat itu masih di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan syarat bahwa ijazah dokter hanya bisa diperoleh jika yang bersangkutan sudah mengikuti uji kompetensi pasca ko-as.
”Akibatnya, kami dinyatakan belum lulus dari fakultas kedokteran karena ijazah dokter selepas ko-as tidak ada. Kami tidak bisa mencari pekerjaan di sektor lain karena semua bidang pekerjaan mensyaratkan ijazah dokter sebagai bukti kelulusan,” tutur Haswan.
Hak
Ia mengungkapkan, sebelum mengambil uji kompetensi, status seorang dokter tetap sebagai mahasiswa dan wajib membayar uang kuliah serta biaya mengikuti uji kompetensi. Apabila tidak lulus ujian, ijazah dokter tidak akan diberikan sehingga ia tetap dianggap mahasiswa dengan segala kewajiban administrasinya. Hal ini melanggar hak lulusan fakultas kedokteran untuk mencari pekerjaan di sektor umum. Sejak tahun 2014, sebanyak 2.000 dokter muda terdampak aturan ini.
Ketua Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia Mahmud Ghaznawie mengatakan, ko-as bukan pendidikan profesi kedokteran. Ko-as adalah pendidikan akademik sebagai bagian dari kurikulum fakultas kedokteran. Artinya, ijazah dokter seusai ko-as tidak bisa disamakan dengan sertifikasi profesi.
Ko-as bukan pendidikan profesi kedokteran. Ko-as adalah pendidikan akademik sebagai bagian dari kurikulum fakultas kedokteran.
”Definisi pendidikan profesi adalah diselenggarakan oleh organisasi profesi, dalam hal ini Ikatan Dokter Indonesia, bukan oleh perguruan tinggi,” katanya.
Menristek dan Dikti Mohammad Nasir pernah mengatakan, UKMPPD merupakan hasil dialog Kemristek dan Dikti bersama 31 pemimpin perguruan tinggi pemilik fakultas kedokteran, Kementerian Kesehatan, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Asosiasi Institut Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI), Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, dan Panitia Nasional UKMPPD. Tujuannya untuk menjamin mutu lulusan pendidikan dokter dan melindungi masyarakat (Kompas, 29/9/2015).
Hasil UKMPPD akan dipakai Kemristek dan Dikti membina pendidikan di fakultas kedokteran yang bermasalah, terutama yang hasil UKMPPD di bawah 50 persen. Pengawasan dan evaluasi serta pembinaan dilakukan enam bulan sekali.