Fasilitasi Antusiasme Warga
Sebagian warga yang antusias mengurus pindah memilih pada Pemilu 2019 terbentur pemenuhan syarat keadaan tertentu. KPU didorong untuk tetap memfasilitasi mereka.
SURABAYA, KOMPAS Calon pemilih di sejumlah daerah antusias mengurus pindah memilih di kantor Komisi Pemilihan Umum setempat. Namun, sebagian dari mereka terbentur ketentuan tentang siapa saja yang boleh mengurus pindah memilih hingga tujuh hari sebelum pemungutan suara Pemilu 2019. Para calon pemilih ini mesti difasilitasi oleh KPU dengan cara tidak membuat batasan terlalu ketat yang bisa menghalangi warga memakai hak pilihnya.
Tenggat untuk mengurus pindah memilih bagi warga yang sudah terdaftar di daftar pemilih tetap (DPT) semula maksimal 30 hari sebelum hari pemungutan suara 17 April 2019. Namun, Mahkamah Konstitusi pada 28 Maret lalu memutuskan, tenggat itu diperpanjang menjadi maksimal tujuh hari sebelum hari pemungutan suara.
Akan tetapi, ketentuan pindah memilih hingga H-7 itu hanya berlaku bagi pemilih dengan keadaan tertentu. Kriterianya adalah pemilih dalam keadaan sakit, tertimpa bencana alam, menjadi tahanan, serta menjalankan tugas saat pemungutan suara.
Pengaturan ini lalu dituangkan dalam Surat Edaran KPU yang disebar ke KPU di daerah pada 29 Maret 2019. Kondisi ini membuat ratusan warga yang hendak mengurus formulir A5 untuk pindah memilih di Kantor KPU Kota Surabaya, Kamis (4/4/2019) pukul 11.00-14.30, harus kecewa lantaran tidak termasuk dalam kriteria keadaan tertentu.
Mayoritas dari warga itu adalah pekerja swasta dan mahasiswa di Surabaya yang berasal dari luar daerah. Mereka yang tidak bisa mengurus formulir A5 marah-marah ke petugas KPU Surabaya, baik langsung maupun melalui telepon.
”Saya ingin sekali bisa ikut mencoblos saat pemilu. Kata petugas KPU, saya sudah terlambat mengurus formulir A5,” kata mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Wildan Manggara (25).
Kekecewaan juga disampaikan warga Surabaya lainnya, Nayaka Budianto (54). ”Saya bekerja juga bagian dari tugas, tetapi, kok, tidak bisa mengurus (formulir A5),” kata pegawai swasta yang berencana memilih di Bekasi, Jawa Barat, ini.
Anggota KPU Surabaya, Robiyan Arifin, menuturkan, untuk kelompok mahasiswa dan pekerja swasta, masa pengurusan formulir A5 sudah berakhir pada 16 Maret.
Di Semarang, Jawa Tengah, sejumlah mahasiswa yang belum sempat mengurus formulir A5 juga masih berusaha mengurus pindah memilih. Frenki Pratama (19), mahasiswa Universitas Diponegoro yang berasal dari Kota Subulussalam, Aceh, menuturkan, belum sempat mengurus formulir A5 karena kesibukan.
Saat mendengar ada perpanjangan batas pengurusan pindah memilih hingga 10 April, ia berencana mengurusnya ke KPU. ”Soal syaratnya saya belum tahu, tetapi saya berharap bisa mengurus secepatnya ke KPU agar tidak golput,” kata Frenki.
Patuhi putusan MK
Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, mahasiswa tak termasuk dalam kategori keadaan tertentu yang memungkinkan mengurus perpindahan memilih hingga H-7 hari pemungutan suara. ”Kita mengikuti saja putusan MK,” ujarnya.
Meski layanan pindah memilih diperpanjang, lanjut Arief, putusan MK menyebutkan ada keadaan tertentu yang menjadi batasan. Terkait hal itu, ia menyarankan agar mahasiswa memakai hak pilih di tempat mereka terdaftar.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini mengatakan, untuk ketentuan menjalankan tugas, sebagian KPU di daerah mengartikan ketentuan itu berarti hanya berlaku bagi petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang bertugas di hari pemungutan suara. Sementara KPU daerah lainnya memberi tafsir berbeda.
Dia mendorong perbedaan pemahaman dan tafsir mengenai putusan MK ini diperjelas sehingga tak ada beda perlakuan terhadap pemilih di daerah. Titi memaknai putusan MK terkait ketentuan pindah memilih itu tidak dibatasi hanya bagi petugas KPPS, tetapi semua orang yang bekerja pada hari pemungutan suara.
”Mereka yang harus bekerja pada hari pemungutan suara, seperti pilot, petugas medis, jurnalis, atau pekerja swasta dan negeri lainnya, termasuk mereka yang belajar seperti mahasiswa, seharusnya dilindungi haknya untuk pindah memilih. Alasannya, mereka termasuk yang harus bertugas di saat hari pemungutan suara,” kata Titi.
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Fritz Edward Siregar, mengatakan, putusan MK pada dasarnya ingin menjamin hak pilih warga. Oleh karena itu, pengaturan oleh KPU semestinya tidak membatasi hak pilih tersebut.
Menurut dia, makna ”tugas” terkait dengan ketentuan lainnya yang diputuskan oleh MK. ”Misalnya, orang sakit, itu berarti ada petugas medisnya yang harus bekerja di rumah sakit. Dengan demikian, petugas medis yang bekerja pada hari pemungutan suara boleh mengurus pindah memilih H-7. Begitu pula untuk penjaga rumah tahanan yang tetap bekerja pada hari-H. Jenis pekerjaan lain juga dimungkinkan untuk pindah memilih asalkan ada surat tugasnya,” kata Fritz.
Pengajar pada Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Wawan Mas’udi, mendorong KPU memfasilitasi mahasiswa dari luar daerah untuk mengurus pindah memilih.
Sementara itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menemukan potensi ancaman hilangnya ribuan hak pilih warga pada Pemilu 2019. Hal itu diketahui dari pemantauan Tim Pemantau Pileg dan Pilpres 2019 di Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Selatan pada 18-29 Maret lalu.
Temuan tersebut diungkapkan dalam keterangan bersama yang dipaparkan oleh Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, Wakil Ketua Internal sekaligus Ketua Tim Pemantau Pileg dan Pilpres 2019 Hairansyah, Koordinator Subkomisi Penegakan Amiruddin, dan Koordinator Sub-Komisi Pemajuan HAM Beka Ulung Hapsara, kemarin, di Kantor Komnas HAM, Jakarta. (SYA/NCA/DIT/INK/RAM/REK)