JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah lembaga berkolaborasi membentuk Komite Keselamatan Jurnalis. Komite dibentuk untuk memperluas sekaligus memperkuat advokasi terhadap jurnalis yang mengalami kekerasan karena menjalankan tugasnya. Hal ini penting karena dari tahun ke tahun kasus kekerasan terhadap jurnalis masih terus terjadi.
Komite Keselamatan Jurnalis terdiri atas Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Safenet, dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI). Kemudian ada Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Amnesty International Indonesia, dan Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI).
”Komite ini bertugas memantau kasus kekerasan terhadap wartawan. Jika terjadi kasus kekerasan, komite ini akan melakukan advokasi, mulai dari memverifikasi kasus, mendampingi kalau jurnalis menjadi korban, melaporkannya ke polisi kalau kasusnya harus ditangani hukum, hingga mendampingi sampai pengadilan,” kata Ketua AJI Abdul Manan saat peluncuran Komite Keselamatan Jurnalis di Kantor Dewan Pers, Jakarta, Jumat (5/4/2019).
Dengan lembaga-lembaga berkolaborasi, kesulitan dalam memantau hingga mengadvokasi kasus kekerasan terhadap wartawan yang selama ini kerap dihadapi di berbagai daerah di Indonesia bisa teratasi.
”Masing-masing organisasi ini mempunyai kapasitas berbeda-beda, ada lembaga yang punya cabang dan tidak. Oleh karena itu, kolaborasi ini akan memungkinkan kami mengcover area yang lebih luas kalau ada kekerasan. Ini untuk mengantisipasi situasi terburuk,” katanya.
Menurut dia, advokasi pada kasus kekerasan jurnalis penting karena kekerasan menjadi ancaman terhadap kebebasan pers dan membuat jurnalis tidak bisa menjalankan fungsinya dalam memberikan informasi kepada publik, sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Pers.
”Kami berpandangan, semua jenis kekerasan, mulai dari pengusiran hingga pembunuhan, itu berbahaya bagi kebebasan pers dan kita harus mencegahnya bersama-sama,” ujarnya.
Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo menilai positif kolaborasi tersebut. Sebagai mitra, Dewan Pers juga akan turut membantu kerja komite itu.
”Kami akan mencoba menaungi komite ini. Kalau ada kasus-kasus kekerasan, biasanya laporan yang masuk ke Dewan Pers akan ditindaklanjuti dengan menurunkan Tim Satuan Tugas ke lapangan dan berkoordinasi dengan aparat penegak hukum, termasuk dengan Panglima TNI dan Polri karena kami mempunyai MoU dengan mereka,” kata Yosep.
Pendataan kasus
Yosep pun berharap, Komite Keselamatan Jurnalis memiliki kemampuan untuk memantau kasus-kasus kekerasan jurnalis di Indonesia sehingga kasus itu bisa segera ditindaklanjuti.
Abdul Manan mengamini hal ini. ”Kami akan lebih condong memakai pendekatan berdasarkan standar penanganan kasus yang dibuat Dewan Pers. Dengan demikian, kasus mulai dari pengusiran, penghalang-penghalangan kerja pers, sampai pemidanaan dan tuntutan bisa tercatat dan ditangani jika perlu,” tambahnya.
Berdasarkan data AJI Indonesia, pada 2018 setidaknya ada 64 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Peristiwa yang dikategorikan sebagai kekerasan itu meliputi pengusiran, kekerasan fisik, hingga pemidanaan terkait karya jurnalistik. Jumlah ini lebih banyak dari tahun 2017 dengan 60 kasus. Kekerasan terhadap jurnalis paling banyak terjadi tahun 2016 dengan 81 kasus.