Mulai Hilirisasi, Pemerintah Bangun Pabrik Sabut Kelapa
Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan akan membangun pabrik pengolahan sabut kelapa untuk menyerap limbah kelapa yang selama ini tidak terserap. Sabut kelapa ini diharapkan bisa menjadi pendapatan tambahan di tengah harga komoditas kelapa yang sedang anjlok. Pabrik ini rencannya akan mulai beroperasi pada Agustus 2019 mendatang.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan akan membangun pabrik pengolahan sabut kelapa untuk menyerap limbah kelapa yang selama ini tidak terserap. Sabut kelapa ini diharapkan bisa menjadi pendapatan tambahan di tengah harga komoditas kelapa yang sedang anjlok. Menurut rencana, pabrik ini akan mulai beroperasi pada Agustus 2019.
Kepala Seksi Industri Kimia Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Banyuasin Ardiyanson, Jumat (5/4/2019), di Palembang, mengatakan, pembangunan pabrik sabut kelapa merupakan bagian dari visi utama Sumatera Selatan untuk membuat sentra produksi kelapa hingga tahun 2022. Pabrik ini akan mulai beroperasi pada Agustus 2019 dan menghasilkan produk setengah jadi, yakni coco peat dan coco fiber. Coco fiber digunakan sebagai bahan untuk membuat jok dan bangku, sementara coco peat digunakan untuk media tanam.
Pembangunan pabrik ini menggunakan dana alokasi khusus tahun 2019 sebesar Rp 16 miliar. Dana tersebut digunakan untuk pembangunan pabrik, mesin pengolah sabut kelapa, dan sejumlah peralatan lainnya. Ide tersebut muncul saat tim dari Kementerian Perindustrian melihat banyaknya limbah sabut kelapa yang ditumpuk . ”Daripada dibakar, lebih baik digunakan untuk menghasilkan produk tertentu sehingga petani mendapatkan nilai tambah,” ucapnya.
Daripada dibakar, lebih baik digunakan untuk menghasilkan produk tertentu sehingga petani mendapatkan nilai tambah
Terkait pasar, ujar Ardiyanson, sebagai langkah awal akan digunakan untuk kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu. Namun, tidak tertutup kemungkinan akan di ekspor ke beberapa negara. Coco fiber akan dipasarkan ke Korea Selatan dan China, sementara coco peat akan diekspor ke Jepang. ”Bahkan, beberapa di antara pelaku pasar sudah bertanya kapan produk tersebut mulai dipasarkan. Ini menandakan kebutuhan produk dari sabut kelapa cukup besar,” ungkapnya.
Dalam pengelolaannya, ujar Ardiyanson, pihaknya akan membentuk unit pelaksana teknis dan BUMDes. ”Mereka akan mengelola ini sehingga memberikan nilai tambah bagi masyarakat sekitar,” ucapnya. Sebelum pembangunan pabrik ini, pihaknya sudah melakukan studi banding ke beberapa daerah yang sudah menghasilkan kedua produk ini, seperti di Cilacap, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Lampung.
Pembangunan pabrik, lanjut Ardiyanson, akan dilakukan di wilayah Teluk Payo, Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin. Kawasan ini dipilih karena merupakan salah satu sentra kelapa di Sumatera Selatan. Dalam satu hari, dibutuhkan sekitar 16 ton sabut kelapa yang akan diolah. ”Untuk itu, kami akan berkoordinasi dengan dinas perkebunan untuk mencari penyerapan sabut sehingga kebutuhan itu terpenuhi,” kata Ardiyanson.
Wakil Ketua Dewan Pengurus Nasional Perhimpunan Petani Kelapa Indonesia (Perpekindo) Muhammad Ashri menyambut baik rencana tersebut, tetapi dirinya pesimistis pembangunan pabrik tersebut memberikan pengaruh pada harga kelapa. ”Karena yang diolah bukan kelapa, tetapi limbah dari kelapa yang tidak lagi dipergunakan,” ujarnya.
Sebagian besar petani kelapa hanya membuang sabut kelapa dan membakarnya. ”Apalagi sampai saat ini petani kesulitan untuk membakar sabut karena masih musim hujan. Tidak heran banyak sabut yang menumpuk,” ujarnya.
Pembangunan pabrik ini juga akan memberikan penghasilan tambahan bagi petani di tengah keterpurukan harga kelapa. Saat ini harga kelapa bulat sekitar Rp 1.100 per butir, meningkat dibandingkan dengan awal tahun 2019 yang sebesar Rp 700 per butir. Namun, ini bukan harga terbaik lantaran harga kelapa pernah Rp 3.000 per butir.
Ashri optimistis kebutuhan sabut kelapa di Sumsel bisa terpenuhi karena produksi kelapa di Sumsel 46.000 ton pada tahun 2018. Tentu akan melebihi kebutuhan sabut kelapa yang sebanyak 5.840 ton per tahun.
Ashri menerangkan, sebenarnya sebelum pemerintah membangun pabrik ini, ada tiga pabrik swasta lain yang sudah membangun pabrik sabut terlebih dulu hanya saja ada satu pabrik yang tutup karena biaya operasional yang melebihi pendapatan. ”Hal ini yang perlu diperhatikan agar pabrik yang dikelola tidak memiliki nasib yang sama,” katanya.
Biaya operasional di Sumsel akan lebih tinggi karena sebagian besar lahan kelapa di Sumsel ada di perairan sehingga untuk mengangkut sabut harus menggunakan kapal. ”Kami berharap hilirisasi ini tidak hanya berhenti di pengolahan sabut, tetapi juga sampai ke pengelolaan kelapa,” kata Ashri.
Kami berharap hilirisasi ini tidak hanya berhenti di pengolahan sabut, tetapi juga sampai ke pengelolaan kelapa
Kepala Bidang Pemasaran dan Pengolahan Hasil Perkebunan Dinas Perkebunan Sumsel Rudi Arpian menyambut baik rencana ini. Menurut dia, keberadaan pabrik sabut kelapa ini akan menjadi tunas pembangunan sentra produksi kelapa di Sumsel. ”Ini merupakan langkah awal dari rencana pembangunan sentra kelapa terpadu di Sumsel,” kata Rudi.
Tahun 2017 sudah dikucurkan dana sekitar Rp 9 miliar untuk pembangunan fasilitas sentra kelapa. Tahun 2019, dikucurkan lagi DAK untuk pembelian mesin dan peralatan sebesar Rp 16 miliar. Dana tersebut digunakan untuk membeli sejumlah peralatan seperti mesin pengolah sabut, peralatan elektrikal, genset, dan gedung untuk tempat penyimpanan peralatan.
Pembangunan sentra kelapa akan dilanjutkan hingga tahun 2022. Selanjutnya tidak hanya pengolahan sabut kelapa, tetapi juga pengolahan produk kelapa. Dengan ini, ketergantungan petani pada ekspor kelapa bisa dikurangi dan akan berdampak pada harga. ”Jika ini berhasil, tentu akan menjadi sentra kelapa terbesar di Indonesia,” ujarnya.