Sultan HB X Keluarkan Instruksi Cegah Diskriminasi dan Intoleransi
Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X mengeluarkan instruksi kepada bupati/wali kota di DIY untuk mengambil berbagai langkah guna mencegah terjadinya diskriminasi, intoleransi, dan konflik sosial. Instruksi itu dikeluark
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X mengeluarkan instruksi kepada bupati/wali kota di DIY untuk mengambil berbagai langkah guna mencegah terjadinya diskriminasi, intoleransi, dan konflik sosial. Instruksi itu dikeluarkan setelah adanya kasus penolakan pendatang karena perbedaan agama di sebuah dusun di Kabupaten Bantul, DIY, beberapa waktu lalu.
Perintah kepada bupati/wali kota itu tercantum dalam Instruksi Gubernur DIY Nomor 1/INSTR/2019 tentang Pencegahan Konflik Sosial yang ditandatangani pada Kamis (4/4/2019).
”Ada tujuh perintah yang diberikan Bapak Gubernur kepada bupati dan wali kota melalui instruksi tersebut,” kata Sekretaris Daerah DIY Gatot Saptadi dalam konferensi pers, Jumat, di Yogyakarta.
Dalam poin pertama pada instruksi itu, Sultan HB X memerintahkan bupati/wali kota di DIY untuk melakukan pembinaan dan pengawasan guna mewujudkan kebebasan beragama dan beribadat menurut agama dan keyakinan masing-masing warga.
Sultan juga menginstruksikan agar bupati dan wali kota menjamin kebebasan warga untuk memilih pendidikan dan pengajaran serta memilih pekerjaan dan tempat tinggal.
Pada poin kedua, bupati dan wali kota diperintahkan mencegah praktik diskriminasi dan menjunjung tinggi sikap saling menghormati serta menjaga kerukunan hidup beragama dan aliran kepercayaan.
Di poin ketiga, mereka diinstruksikan untuk merespons secara cepat dan tepat semua permasalahan di masyarakat yang berpotensi menimbulkan intoleransi dan konflik sosial guna mencegah tindak kekerasan.
Poin keempat, tercantum perintah untuk meningkatkan efektivitas pencegahan potensi intoleransi dan konflik sosial secara terpadu serta sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan yang dimiliki.
Poin kelima, bupati dan wali kota diperintahkan mengambil langkah cepat, tepat, tegas, dan proporsional untuk menghentikan tindak kekerasan akibat intoleransi dan konflik sosial. Namun, langkah yang diambil harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan menghormati nilai-nilai hak asasi manusia.
Pada poin enam, bupati dan wali kota diinstruksikan menyelesaikan berbagai permasalahan yang disebabkan oleh persoalan suku, agama, ras, antargolongan (SARA) serta politik yang timbul dalam masyarakat. Penyelesaian yang diambil itu harus bisa menguraikan dan menuntaskan akar masalah.
Pada poin terakhir, bupati dan wali kota diminta melakukan pembinaan dan pengawasan kepada organisasi perangkat daerah, kepala desa, hingga masyarakat dalam penanganan konflik sosial. Upaya pembinaan dan pengawasan itu harus mengacu pada Peraturan Gubernur DIY Nomor 107 Tahun 2015 tentang Penanganan Konflik Sosial.
Keprihatinan
Gatot menyatakan, Instruksi Gubernur DIY Nomor 1/INSTR/2019 merupakan respons atas kasus penolakan pendatang karena perbedaan agama di Dusun Karet, Desa Pleret, Bantul. ”Kami menyayangkan dan prihatin ada kejadian seperti itu,” katanya.
Penolakan itu dialami seorang warga bernama Slamet Jumiarto (42) yang mengontrak rumah di Dusun Karet bersama keluarganya sejak akhir Maret 2019. Penolakan muncul karena adanya aturan di Dusun Karet tentang pendatang baru.
Aturan tersebut menyatakan, pendatang baru di Dusun Karet harus beragama Islam. Dalam aturan itu juga dinyatakan, penduduk Dusun Karet keberatan menerima pendatang baru yang menganut aliran kepercayaan atau agama selain Islam. Namun, setelah persoalan ini terungkap, aturan tersebut akhirnya dicabut.
Gatot memaparkan, masalah di Dusun Karet itu menunjukkan adanya proses penyelenggaraan pemerintah yang kurang pas. Apalagi, aturan ihwal pendatang di Dusun Karet itu ada sejak tahun 2015.
”Ini ada penyelenggaraan pemerintahan yang mungkin kurang tepat. Untuk itu, Bapak Gubernur, yang mempunyai kewajiban melakukan pembinaan wilayah kepada kabupaten/kota, langsung mengeluarkan instruksi,” ujarnya.
Gatot menuturkan, melalui instruksi tersebut, bupati dan wali kota di DIY diperintahkan untuk mencermati kembali aturan-aturan yang ada di masyarakat. Apabila ditemukan aturan yang diskriminatif seperti di Dusun Karet, bupati dan wali kota diminta mencabut aturan-aturan tersebut.
Direktur Riset Setara Institute Halili menilai Instruksi Gubernur DIY Nomor 1/INSTR/2019 sebagai langkah maju dalam penanganan intoleransi di DIY. Instruksi tersebut diharapkan bisa mencegah dan meminimalkan praktik intoleransi dan potensi konflik sosial di DIY.
Apalagi, Sultan HB X tidak hanya memegang jabatan politik sebagai Gubernur DIY, tetapi juga memiliki posisi kultural yang sangat kuat sebagai Raja Keraton Yogyakarta.
”Di dalam diri Sultan melekat dua otoritas yang barangkali tidak dimiliki figur-figur lain, yaitu otoritas politik sebagai gubernur dan otoritas kebudayaan sebagai raja,” kata Halili yang juga dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.
Salah satu yang harus dibenahi adalah munculnya permukiman eksklusif (untuk pemeluk agama tertentu). Permukiman semacam itu memunculkan segregasi (pemisahan) sosial.
Ia menambahkan, setelah terbitnya instruksi itu, bupati dan wali kota di DIY diharapkan segera melakukan tindak lanjut dengan mengatasi persoalan yang memungkinkan terjadinya intoleransi dan diskriminasi.
”Salah satu yang harus dibenahi adalah munculnya permukiman eksklusif (untuk pemeluk agama tertentu). Permukiman semacam itu memunculkan segregasi (pemisahan) sosial,” ujar Halili.