Anom Darsana Mengikis Stigma dengan Musik
Anom Darsana bukan musisi. Tetapi, ia ingin musik menjadi pencerah orang-orang yang sedang dilanda masalah. Alasan itulah yang membuatnya serius menjadi produser grup band Antrabez, sebuah kelompok musik yang terbentuk di dalam penjara. Para penghuni penjara, punya kesempatan yang sama untuk kehidupan yang lebih baik, karena mereka bukan sampah.
“Saya berharap musik akan membebaskan mereka dari stigma sebagai sampah masyarakat,” kata Anom Darsana, bulan Februari 2019 di Denpasar. Ketika mendapat telepon dari Oktav, salah seorang penggagas Antabez, yang meminta rekaman, Anom tidak tidak percaya.
“Bagaimana mungkin orang yang di dalam penjara bisa rekaman lagu dan musik. Pasti sesuatu yang sulit,” tutur lelaki yang mendirikan studio rekaman Antida tahun 2004 di Bali. Jika Oktav serius, saran Anom, dia harus membentuk grup musik. “Dan, saya tahu pasti itu takkan mudah,” katanya.
Tak berapa lama, Oktav tiba-tiba hadir di studio Antida dan bersiap rekaman. Waktu itu, ujar Anom, lima orang personal Antrabez, dikawal oleh lima orang petugas keamanan dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas II Krobokan Denpasar.
Awalnya, mereka cuma ingin merekam lagu ciptaan Slamet Prihantara, Kalapas Kelas II Krobokan waktu itu. Slamet secara khusus menciptakan lagu berjudul “Semua tak Berharap” yang kemudian diaransemen oleh Oktav. Pada akhirnya, Antrabez melahirkan album pertama bertajuk Saatnya Berubah yang berisi lima lagu.
“Selama rekaman para personelnya selalu dijaga ketat,” kata Anom. Secara perlahan, Anom mulai menyadari bahwa Antrabez bisa jadi duta untuk berkampanye bahwa betapa pun kejamnya kehidupan di dalam penjara, para penghuninya tetap manusia yang membutuhkan manusia lainnya.
“Mereka manusia, bukan buangan seperti sampah. Mereka juga ingin menjadi manusia yang lebih baik,” ujar Anom.
Antida, katanya, menyediakan diri menjadi mediator, untuk mengantarkan para personel Antrabez, menuju pencerahan. “Saya berharap musik mengantarkan mereka menjadi lebih baik,” tambahnya.
Tidak berhenti pada album, Antida kemudian menjadi produser Antrabez untuk melakukan konser dalam berbagai festival musik di Tanah Air. Anom tidak pernah berhitung soal uang. Padahal untuk proses rekaman sampai kemudian melahirkan album, tak kurang ia harus menyiapkan dana sekitar Rp 80 juta.
“Saya tidak berharap kembali secara cash. Mungkin benefitnya, liputan media yang membuat Antrabez jadi booming,” kata lelaki yang menempuh pendidikan sastra Perancis di Swiss.
Pengalaman pribadi
Anom punya pengalaman pribadi soal stigma terhadap narapidana. Tahun 1960-an, ayahnya Oka Darsana, pernah ditahan sebagai tahanan politik (tapol). Ketika kemudian dibebaskan tahun 1970-an, Oka mengalami trauma politik. Selain mengalami kekerasan di dalam penjara, ayahnya juga menyaksikan pembantaian membabi-buta yang terjadi di Denpasar.
“Ayah saya trauma, ia seperti disampahkan, lebih jelek dari narapidana. Padahal sudah bebas dari penjara,” kata Anom.
Stigma itulah yang kemudian membuat Oka menjadi eksil di Swiss. Ketika Oka memutuskan eksil, Anom masih berusia 6 bulan. “Jadi saya tidak pernah mengenal bapak saya, selalu dikatakan bapak sudah meninggal,” tutur Anom.
Ketika Oka pulang saat Anom berusia 7 tahun, dia juga tidak merasa Oka sebagai ayahnya. “Kami seperti orang asing,” kata Anom.
Saat berusia 19 tahun, Oka meminta Anom kuliah di Swiss. Meski bekerja sebagai sopir bus di Swiss, Oka bersikeras menyekolahkan Anom di Ecole De Francais Modern Universite Lausanne Suisse. “Saya kuliah di sastra Perancis bagian lingustik selama 5 tahun, sembari jadi volunter sebagai sound engineer di televisi setempat,” kata Anom.
Ketika tamat kuliah, sebagai orang asing (bukan native speaker), Anom tidak boleh mengajar Bahasa Perancis di Swiss. Ia memutuskan kuliah di CFMS (Centre de Formation aux Metiers du Son di Lausanne Suisse. CFMS tak lain adalah sekolah sound engineer terbaik di Swiss. “Kuliah teorinya 2 tahun, kemudian 2 tahun bekerja sebagai sound engineer di berbagai konser dan pertunjukan di Eropa,” kata lelaki bernama lengkap Anak Agung Anom Wijaya Darsana.
Ketika menguasai ilmu sound system, Anom membangun studio rekaman bersama istrinya Tiziana Carla Darsana di Swiss. Nama Antida merupakan kependekan dari nama Anom dan Tiziana Darsana. Selama di Swiss, Anom malang-melintang dalam dunia penataan sound di televisi, konser musik, pentas teater, dan pentas tari.
Ia pernah menjadi sound engineer kelompok balet terbesar di Eropa bernama Ballet Bejart, yang melakukan tour di Perancis dan Italia. Anom juga dikontrak selama 6 bulan untuk menjadi sound engineer Expo National Suisse yang diselenggarakan keliling Swiss. Dalam ekspo itu di antaranya pentas kelompok-kelompok musik kelas dunia.
Tahun 2004 pasangan ini memutuskan pindah ke Bali dengan maksud menularkan ilmu penataan sound system yang belum banyak dikembangkan di Indonesia. Mereka kemudian membangun studio Antida di Denpasar. Dari studio inilah kemudian lahir band-band seperti Navicula, Dialog Dini Hari, dan Nosstress. Ketiganya bahkan melejit menjadi band-band yang banyak mengundang penggemar di Tanah Air. Terakhir Antida menjadi produser grup musik yang lahir dalam “kegelapan” penjara Antrabez.
“Saya tak pernah berharap mendapatkan in return secara cash. Misi pertamanya banyak orang yang tercerahkan karena mendengarkan musik,” kata Anom, yang kemudian akrab disapa Anom Antida.
Secara bisnis sangat tidak mungkin mengharapkan kembali modal dari hasil penjualan album. Ketika kelompok-kelompok musik ini dikenal publik secara luas, “Secara otomatis Antida pun makin dikenal. Itu saja sudah cukup,” kata Anom. Padahal, sekali lagi, pada setiap proses pembuatan album baru, Antida tidak kurang mengeluarkan dana sebesar Rp 80 juta.
Saya tak pernah berharap mendapatkan in return secara cash. Misi pertamanya banyak orang yang tercerahkan karena mendengarkan musik.
“Nanti Antida akan dihidupi oleh pemasukan lain, misalnya penyewaan studio rekaman dan menggelar festival,” ujar Anom.
Sebenarnya, beberapa tahun lalu Antida memiliki Serambi Antida yang mewadahi seni sastra, musik, dan film. Belakangan mengingat kebutuhan pelibatan publik yang makin luas, Anom bersama beberapa musisi melahirkan Ubud Village Jazz Festival, yang digelar setiap bulan Agustus di Ubud, Gianyar, Bali.
Selain itu, dalam memperkuat misinya, mencerahkan banyak orang dengan musik, Anom juga membawa band-band Indonesia untuk pentas di ajang APAMM (Asia Pasific Music Meeting) di Korea Selatan. Dalam ajang ini, Anom banyak bertemu para penggagas festival dari seluruh dunia. Ia kemudian memboyong kelompok-kelompok musik Indonesia untuk pentas di India dan beberapa negara lain.
“Kepuasannya, saya makin banyak membersihkan orang dengan musik,” kata Anom.
Stigma bahwa para narapidana sebagai sampah masyarakat, akan terkikis secara perlahan berkat musik. Anom berharap para personel Antrabez pertama-tama membersihkan dirinya dari stigma itu, baru kemudian membersihkan nama Lapas Kelas II Krobokan Denpasar sebagai sarang para penyamun kelas wahid. Apa yang ia perbuat pada akhirnya memberikan pencerahan pula kepada diri dan ayahnya, seorang tapol yang derajatnya dianggap lebih rendah dari narapidana.
Anom Darsana
Nama asli : Anak Agung Ketut Anom Wijaya Darsana
Lahir: Denpasar, 31 Mei 1972
Istri: Tiziana Carla Darsana
Anak-anak:
Neyja Darsana
Tara Darsana
Pendidikan:
1. Ecole De Francais Modern Universite Lausanne Suisse
2. CFMS (Centre de Formation aux Metiers du Son) Lausanne Suissane