Indira Gandhi (1917-1984) berkata simpel, ”Menang atau kalah dalam pemilihan itu tidak lebih penting dibanding memperkuat negara.” Kata-kata wanita keras ini terasa begitu pas tatkala hari-hari pemilihan umum terkhusus pilpres pada 17 April 2019 sudah di depan mata. Mungkin kata-kata pemegang posisi empat menteri dan puncaknya Perdana Menteri India dua kali (1966-1977 dan 1980-1984) ini tak bisa mendinginkan suhu politik yang sudah begitu mendidih akibat rivalitas politik, yang membuat negeri ini ”terbakar”. Namun, setidaknya kata-kata itu dapat menyadarkan kita untuk bertafakur tentang centang-perenang panggung politik akibat kontestasi pilpres yang membelah publik.
Andai saja tiada yang tergugah juga, maka setidaknya dua hal yang terbaca. Pertama, tipikal begitu termasuk bukan pengabdi demokrasi, tetapi penunggang demokrasi. Mereka terlihat kentara mengumbar nafsu kuasa. Kekuasaan menjadi tujuan, bukan sarana. Mereka bisa menghalalkan segala cara, watak-watak Machiavellian. Kedua, watak egois, dalam makna mengutamakan kepentingan kelompok. Mereka bisa tak hirau dengan konsensus bangsa. Mereka bisa tak peduli walaupun bangsa terbelah. Malah negara bisa diubah sesuai ideologi dan tujuan mereka.
Jika memandang pilpres selalu dengan kacamata biner: menang-kalah, maka demokrasi cuma arena pertempuran orang-orang besar yang berkedudukan tinggi. Kalau sudah begitu, ibarat pepatah ”gajah bertarung, pelanduk mati di tengah-tengah”. Rakyat cuma jadi korban: korban kebohongan, korban agitasi, korban kebencian, dan sejenisnya. Inilah fase ketika demokrasi tidak menyemai watak-watak mulia. Politik menjadi virus jahat yang merusak watak bangsa. Begitu susah payah para pejuang bersatu meneguhkan diri menjadi bangsa besar dan sekaligus membangun negara.
Itu yang tak boleh dilupakan, apalagi dikhianati generasi sekarang. ”Janganlah pemilihan umum ini nanti menjadi arena pertempuran politik, demikian rupa, hingga membahayakan keutuhan bangsa,” ujar Soekarno dalam pidato peringatan 17 Agustus 1954. Sejarah itu memang kerap berulang (histoire se repete). ”Gejala-gejala akan timbulnya pertajaman pertentangan-pertentangan antara kita sama kita telah ada, gejala-gejala akan karamnya semangat toleransi sudah muncul. Ai, tidaklah orang sadar, bahwa zonder toleransi maka demokrasi akan karam, oleh karena demokrasi itu sendiri adalah penjelmaan daripada toleransi? Apakah Saudara menghendaki, di dalam kampanye pemilihan umum ini lahir hantu-hantu yang amat berbahaya, yaitu hantu-hantu kebencian dan hantu panas-panasan hati? Lahirkankah hantu-hantu itu, dan saudara nanti akan melihat, bahwa demokrasi akan ditelan bulat-bulat oleh anak-anak durhakanya sendiri. Demokrasi yang Saudara cita-citakan itu akan musnalah,” kata Soekarno menjelang Pemilu 1955 itu.
”Demokrasi, kataku tempo hari, adalah alat. Alat untuk mencapai masyarakat adil-makmur yang sempurna.... Kalau hantu kebencian dan hantu panas-panasan hati lahir dan merajalela karena pemilihan umum itu, kalau keutuhan bangsa berantakan karena pemilihan umum itu, kalau tenaga bangsa remuk-redam karena pemilihan umum itu, maka benarlah apa yang kukatakan tempo hari, bahwa di sini ’alat lebih jahat daripada penyakit yang hendak disembuhkannya’—bahwa di sini het middel is erger dan de kwaal,” tandas Bung Karno.
Tokoh bangsa sehebat Natsir juga mewanti-wanti. ”Seluruh pendukung demokrasi yang memikul tanggung jawab, baik yang berada dalam lapangan perlengkapan negara dari atas sampai ke bawah, ataupun pemikul tanggung jawab di partai-partai, baiklah sama-sama kita mencari bahwa pokok persoalan tidak akan terjawab dengan menunjuk-nunjuk. Pihak lain seolah-olah yang mempunyai telunjuk itu terlepas dari kesalahan dan keliruan.... Kita berkeyakinan bahwa sistem demokrasi di Indonesia ini cukup mempunyai antitoksin (obat penawar) dalam dirinya sendiri untuk memberantas penyakit-penyakit....” tegas Natsir saat berpidato memperingati 11 tahun Masyumi pada 7 November 1956.
Natsir, Soekarno, dan Gandhi mengingatkan, demokrasi dengan pemilunya bukanlah tujuan akhir. Menjaga bangsa agar tak terbelah dan merawat negara agar terus kokoh menjadi tanggung jawab bersama kita. Itulah antitoksin yang wajib disebarkan di negeri ini. Kalau pasca-17 April nanti kita masih terbelah dan masih ada provokasi, itu benar-benar petaka.