Cinta Mati pada Kereta Rel Listrik
Kesabaran dan kegigihan adalah bekal penting penumpang kereta rel listrik. Jika tidak, Sudarsono dan keluarganya tak akan tahan menggunakan moda angkutan itu.
Pada Jumat (5/4/2019) siang itu, ia harus rela menunggu kereta rel listrik (KRL) relasi Jakarta-Bekasi di Stasiun Manggarai, Jakarta Selatan. Bersama istri dan anaknya yang berusia 9 bulan, ia berdiri di antara ribuan orang yang hendak masuk ke KRL. Penantian 10 menit berakhir, kini ia berjuang masuk ke dalam kereta.
Sesaat setelah pintu terbuka, penumpang yang menunggu menyerbu masuk. Sementara penumpang di dalam kereta belum sempat keluar. Sudarsono ikut arus. Dia bergegas mengambil koper, memegang tangan istrinya, lalu berdesakan berebut tempat duduk di kereta pertama, kereta khusus penumpang perempuan.
Baca juga: Tiga Hari, Ada 13 Gangguan KRL
Setelah memastikan istri dan anaknya mendapatkan tempat duduk, dia terjebak di kereta khusus perempuan. Dengan nada tinggi, petugas kereta mengingatkan agar ia pindah kereta. Namun, Sudarsono tetap bertahan. Tak ada pilihan pindah kereta lain karena padatnya penumpang.
”Sudah siang (pukul 12.40) begini juga masih saja padat. Bagaimana kalau pagi,” kata lelaki yang mengakhiri perjalanan di Stasiun Tambun, Bekasi, Jawa Barat, itu.
Kepadatan penumpang berangsur berkurang saat kereta tiba di Stasiun Klender. Sudarsono bersama belasan lelaki lain pindah ke kereta kedua. Untuk sementara pekerja pabrik ini terpisah dengan istri dan anaknya. Namun, perjalanan Sudarsono kembali tertahan di Stasiun Cakung sekitar 5 menit menunggu kereta jarak jauh melintas.
Perjalanan siang itu tergolong normal tanpa gangguan yang datang tiba-tiba. Jika terjadi 14 kali gangguan seperti pada 1 sampai 4 April lalu, ”penderitaan” Sudarsono bisa makin bertambah.
Bersiasat
Tingginya minat penumpang pada KRL memicu kepadatan setiap hari. Sebagian orang mengatur siasat agar dapat sedikit kenyamanan berada dalam kereta yang sesak. Sumarni (38), warga Bekasi, contohnya, dirinya memilih kereta campuran (laki-laki dan perempuan) daripada kereta khusus perempuan. Di kereta khusus itu, kondisinya sering kali lebih padat. ”Tidak hanya sesak napas, sesama penumpang kadang berantem di dalam kereta,” kata Sumarni.
Menurut Sumarni, kereta gabungan lebih ramah daripada di kereta khusus perempuan. Meski harus berdesakan, kondisi di dalam kereta tetap tenang. Kesempatan duduk lebih mudah karena kaum pria lebih banyak mengalah untuk berdiri.
Dalam kondisi penuh sesak, ia mewaspadai terjadi pelecehan seksual oleh penumpang lain. Namun, dia bersyukur belum pernah mengalaminya. Mengutip data PT Kereta Commuter Indonesia, kasus pelecehan seksual cenderung meningkat. Sepanjang 2018 terjadi 34 kasus pelecehan seksual. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2017 sebanyak 25 kasus.
Baca juga: Anggaran Pemeliharaan KRL Minim
Tak jarang penumpang KRL mengalami naas saat dalam perjalanan. Novi Dyan (30), warga Pekayon, Kota Bekasi, misalnya, Selasa (2/4/2019), terjebak dalam kereta karena rel kereta patah di antara Stasiun Cakung dan Stasiun Bekasi. Saat kejadian, dia tertahan selama total 1,5 jam di tiga stasiun, Gambir, Manggarai, dan Jatinegara.
”Saya tidak punya banyak pilihan. Sejak di Bekasi tahun 2015, saya mengandalkan KRL. Mau pindah angkutan bingung karena harus berganti-ganti,” kata Novi.
Karena gangguan perjalanan itu, dia dan ribuan orang lain lebih lama tiba di rumah, banyak tenaga terkuras karena berdiri di tengah kepadatan penumpang. Tidak sedikit penumpang yang terpaksa melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Sementara aplikasi ojek daring sulit diakses saat pemesanan melonjak tiba-tiba pada waktu bersamaan.
Tetap cinta
Walau demikian, KRL tetap menjadi moda andalan bagi banyak orang. Hal ini ditandai dengan terus meningkatnya jumlah penumpang KRL dari tahun ke tahun. Catatan Kompas, jumlah penumpang terbanyak hingga pertengahan tahun 2018 mencapai 1.154.080 orang per hari.
Saking seringnya menggunakan KRL, terjalin ikatan komunikasi sesama pengguna. Mereka kemudian membentuk forum silaturahmi, seperti yang dilakukan Pandu Aji Prakoso (21) dengan membuat Forum Pengguna dan Pencinta Kereta Api.
Forum itu menjadi wadah bercerita suka dan duka. Tak hanya itu, forum yang dibentuk Pandu menyediakan bantuan sukarela saat terjadi gangguan kereta. Forum itu juga aktif berkampanye cara yang baik menggunakan KRL.
”Kami sering menyosialisasikan etika naik KRL, misalnya jangan makan, minum, dan duduk di lantai. Hal yang paling utama adalah kami berikan pertolongan pertama saat terjadi gangguan,” ucap mahasiswa Universitas Gunadarma, Depok, ini.
Kampanye seperti itu sangat dibutuhkan bagi penyandang disabilitas seperti Juanda (27), warga Jakarta Timur. Ketika berada di tengah ribuan orang, dia tidak cukup bergantung pada prasarana penunjang di sekitar stasiun. Juanda membutuhkan bantuan petugas keamanan untuk menyibak kepadatan penumpang.
”Tujuan saya Depok, Stasiun Universitas Indonesia,” Kata Juanda kepada petugas Stasiun Juanda, Jakarta Pusat, beberapa hari lalu.
Saat ditemui di sana, dia tidak berani naik kereta karena desakan penumpang yang luar biasa. ”Kami tunggu kereta selanjutnya saja, Pak. Sudah terlalu padat di dalam,” kata petugas kepada Juanda.
Kompetisi berebut tempat duduk di situasi seperti itu bukan hal yang mudah bagi Juanda. Ia terpaksa mengalah, mencari sela kesempatan naik KRL di perjalanan berikutnya. Kenyataan yang tidak mengenakkan, tetapi harus dihadapi Juanda hampir setiap hari.
Juanda dan juga 1 juta penumpang KRL lainnya memaklumi kondisi ini. Betapa pun tak nyamannya, mereka membutuhkan moda ini.