Stok perikanan nasional diklaim terus meningkat, seiring pemberantasan praktik penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur atau IUU Fishing empat tahun terakhir. Pemerintah menyatakan stok ikan di perairan Indonesia mulai pulih di tengah kemerosotan stok di negara-negara tetangga.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) merilis sumber daya ikan lestari tahun 2017 mencapai 12,5 juta ton dan meningkat jadi 13,1 juta ton pada 2018. Seiring dengan pulihnya sumber daya ikan, Indonesia dihadapkan pada tantangan meningkatkan kesejahteraan dan ekonomi perikanan.
Nyatanya, produksi perikanan tangkap tumbuh tipis, yakni 6,42 juta ton tahun 2017 menjadi 6,72 juta ton tahun 2018. Jumlah kapal ikan berukuran besar menyusut. Dari sekitar 500.000 unit armada perikanan nasional, kapal penangkapan ikan berukuran di atas 30 gros ton (GT) yang sudah mengantongi izin per 4 April 2019 hanya 4.344 unit, sedangkan kapal pengangkutan ikan baru 297 unit.
Polemik pun muncul karena pelaku usaha mengeluhkan rumitnya proses perizinan kapal yang memakan waktu berbulan-bulan kendati proses perizinan dilaksanakan secara daring. Persyaratan yang ketat dan kewajiban ukur ulang kapal yang melibatkan dua kementerian, yakni KKP dan Kementerian Perhubungan, dituding membuat proses makin lama.
Di lain pihak, 2.397 kapal ikan ukuran besar hingga kini belum diperpanjang izinnya, beberapa di antaranya bahkan tidak diperpanjang lebih dari dua tahun. Pemerintah menyinyalir, sebagian kapal itu tetap melaut meski tidak berizin. Penertiban kapal terus digencarkan dan kapal-kapal yang dibiarkan mangkrak dicabut izinnya.
Pemerintah membatasi ukuran kapal penangkap ikan maksimum 150 GT dan kapal pengangkut ikan maksimum 200 GT guna mencegah masuknya modal asing di sektor perikanan tangkap. Di masa lalu, kapal-kapal berukuran ratusan GT leluasa menangkap ikan di perairan teritorial hingga laut lepas yang ditengarai sebagian didanai asing dan ikannya dilarikan ke luar negeri.
Pembatasan ukuran kapal di lain pihak memunculkan persoalan dalam pemanfaatan perikanan di laut lepas.
Pembatasan ukuran kapal di lain pihak memunculkan persoalan dalam pemanfaatan perikanan di laut lepas, meliputi Samudera Hindia dan Pasifik. Jumlah armada kapal nasional yang beroperasi di laut lepas, berikut hasil tangkapannya, menurun drastis.
Indonesia tak mampu memanfaatkan kuota tangkapan tuna yang diberikan organisasi pengelolaan perikanan regional (RFMO) akibat minimnya operasional kapal di laut lepas. Sementara, negara-negara maju sektor perikanan kian berebut memperbesar kuota tangkapan untuk bahan baku industrinya.
Kuota Indonesia untuk tangkapan tuna mata besar (big eye) 5.889 ton dari Komisi Perikanan Pasifik Tengah dan Barat (WCPFC) dalam tahun 2016-2017 hanya mampu dimanfaatkan kurang dari 0,5 persen. Demikian pula, hasil tangkapan tuna sirip biru dalam beberapa tahun terakhir tak memenuhi kuota yang ditetapkan Komisi Konservasi Tuna Sirip Biru Selatan (CCSBT).
Akhir tahun ini, penentuan kuota tangkapan tuna mata besar akan ditinjau lagi oleh WCPFC, menempatkan Indonesia dalam posisi rawan untuk mempertahankan kuota tangkap yang tidak dimanfaatkan.
Akhir tahun ini, penentuan kuota tangkapan tuna mata besar akan ditinjau kembali oleh WCPFC, menempatkan Indonesia dalam posisi rawan untuk mempertahankan kuota tangkap yang tidak dimanfaatkan.
Sementara itu, diplomasi Indonesia untuk memperjuangkan kuota tangkapan di laut lepas belum optimal karena minimnya pencatatan yang dilaporkan. Indonesia masih tertinggal dibandingkan Jepang dalam hal pendataan tangkapan tuna.
Di masa lalu, kapal-kapal ikan yang beroperasi di Samudera Pasifik rata-rata mencapai ukuran 800 GT dengan hasil tangkapan mencapai ribuan ton per tahun. Namun, sebagian besar kapal itu dimodali asing. Akibatnya, sebagian tangkapan dilarikan ke luar negeri.
Perlu armada perikanan yang lebih besar untuk memperkuat penangkapan di laut lepas. KKP mengakui bahwa butuh armada minimal ukuran 250 GT untuk ke Samudra Pasifik, tetapi belum ada regulasi yang memungkinkannya.
Inilah saatnya berbenah. Pemerintah telah memastikan bahwa usaha perikanan tangkap sepenuhnya dikuasai anak bangsa. Terobosan ini perlu ditopang penguatan investasi dalam negeri melalui instrumen pengawasan yang ketat sehingga tidak lagi berulang penyalahgunaan izin dan terkurasnya sumber daya ikan.
Upaya menertibkan usaha perikanan menuju perikanan yang lestari harus seirama dengan penguatan daya saing. Kebangkitan usaha perikanan adalah kunci. Namun, usaha perikanan yang bertanggung jawab adalah harga mati.
Kini saatnya pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan sektor perikanan untuk bahu-membahu dan memperkuat jati diri bangsa bahari guna meningkatkan daya saing dan memenangkan persaingan global.