Gonggongan Itu Akhirnya Menggema di Aljazair
Selamat dari gelombang musim semi Arab, Aljazair kemudian dijuluki sebagai anjing yang tak ikut menggonggong, dog that did not bark. Setelah reda gelombang musim semi Arab yang berhasil menumbangkan pemerintahan di Tunisia, Mesir, Suriah, Libya, maupun Yaman, giliran kaum muda Aljazair bangkit menyerukan perombakan pemerintahan di negaranya.
Negeri yang baru lepas dari kolonialisme Perancis pada 1962 ini masih dihantui oleh kekacauan pasca perang saudara satu generasi yang lalu. Akibatnya, selama 15 tahun terakhir, generasi yang mengalami sengitnya perang saudara terkesan lebih ingin merasakan stabilitas daripada konflik. Hal tersebut membentuk suasana perpolitikan di Aljazair terasa lebih tenang pasca perjanjian damai tahun 2005.
Di Bawah Rezim Militer
Ketika gelombang musim semi Arab dimulai di Tunisia, negara tetangga Aljazair, protes terhadap pemerintah Aljazair juga terjadi. Akan tetapi, demonstrasi yang terjadi pada 2011 tersebut tak berhasil membesar. Padahal, sama seperti pemerintahan negara-negara lain yang berhasil tumbang di masa itu, syarat-syarat bagi terwujudnya perombakan pemerintahan juga tersedia di Aljazair: rezim otoriter dan kemiskinan yang meluas di seantero negeri.
Secara politik, sejak merdeka, Aljazair diperintah oleh rezim otoriter yang menekankan stabilitas dan keamanan daripada memberi ruang bagi kebebasan politik. Rezim tersebut didukung oleh Partai National Liberation Front (FLN) yang dibentuk semenjak perang melawan Perancis bersama dengan sayap militernya, National Liberation Army (ALN). ALN berhasil mengusir Perancis keluar dari Aljazair, kemudian tampil sebagai partai yang berhasil membawa Aljazair lepas dari kolonialisme Perancis pada 1962.
Di belakang layar, Aljazair dikuasai oleh lingkaran penentu kekuasaan yang disebut sebagai “Le Pouvoir”. Mereka terdiri dari golongan militer dan pebisnis. Kekuasaan kelompok “Le Pouvoir” ini sedemikian besar, bahkan disebut sebagai penentu siapa yang berhak mencalonkan diri sebagai presiden.
Sejak merdeka hingga tahun 1989, pemerintahan Aljazair dikelola dengan sistem satu partai di bawah kontrol militer. Pada 1989, di Parlemen, FLN membuka ruang bagi berbagai partai untuk ikut serta dalam pemilihan legislatif. Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh golongan Islam di Aljazair untuk tampil dan bergabung dalam Islamic Salvation Front (FIS). Pada Pemilu 1991, Partai FIS langsung dapat merebut suara mayoritas.
Akan tetapi, pihak militer yang masih menguasai Aljazair menganulir kemenangan tersebut pada 1992. Sejak saat itu, Aljazair didera perang saudara.
Stabilitas sebagai Panglima
Pada 1994, Le Pouvoir membujuk Abdelaziz Bouteflika, mantan menteri luar negeri Aljazair, untuk maju sebagai presiden. Abdelaziz Bouteflika sebelumnya melarikan diri ke luar negeri karena terlibat korupsi dan baru kembali ke Aljazair pada 1987. Ia melihat bahwa militer baru saja menunjukkan kekuatannya pada 1991 dengan mengintervensi hasil pemilu. Oleh karena itu, Bouteflika menolak tawaran elite penguasa tersebut untuk maju dalam pilpres.
Pertimbangan praktis Bouteflika saat itu adalah bahwa kekuasaan militer dan Le Pouvoir masih terlalu besar. Walaupun juga berlatar belakang militer, Bouteflika pun merasa belum sanggup membebaskan diri dari hegemoni Le Pouvoir.
Setelah merasa mampu masuk dan “mengendalikan” kelompok berpengaruh tersebut, Bouteflika bersedia maju berebut kursi presiden pada 1999 dan menang. Masa pemerintahannya banyak diwarnai dengan usaha untuk menyelesaikan perang saudara atau dekade gelap di Aljazair. Bouteflika menginisiasi The Charter for Peace and National Reconciliation, piagam perdamaian dan rekonsiliasi nasional. Usaha tersebut baru berhasil pada masa pemerintahannya yang kedua, pada 2005, saat perjanjian rekonsiliasinya disetujui oleh rakyat lewat referendum. Sejak saat itu, kepercayaan dirinya sebagai penguasa Aljazair terdongkrak karena berhasil mendamaikan perang saudara yang terjadi di negeri tersebut.
Walaupun perang saudara secara formal sudah dihentikan dan para pemberontak diberi amnesi, tetapi perang saudara yang memakan korban lebih dari 200.000 orang itu masih menyisakan trauma bagi sebagian besar rakyat Aljazair. Hal itu dimanfaatkan oleh pemerintahan Bouteflika untuk meredam setiap protes yang terjadi di Aljazair dan mempertahakankan kekuasaan selama 20 tahun.
Bouteflika menggunakan ingatan akan perang saudara sebagai determinan untuk menekankan pentingnya stabilitas dalam pemerintahan untuk mendukung kekuasaannya. Di sisi lain, rakyat yang masih didera trauma dasyatnya perang saudara pun dipaksa “menjual” kebebasan mereka demi stabilitas politik di Aljazair.
Situasi tersebut terpotret oleh temuan survei yang dilakukan oleh Afrobarometer selama 1999-2013. Survei tersebut menyimpulkan bahwa meskipun secara umum penduduk di jazirah Afrika mendukung pembatasan masa pemerintahan penguasanya, akan tetapi hal itu tidak terjadi di Aljazair. Di negara itu hanya 44 persen penduduk setuju dengan pembatasan masa pemerintahan bagi penguasa.
Rakyat Aljazair disituasikan untuk lebih menginginkan stabilitas, bahkan bila hal itu berarti sang penguasa tak dibatasi masa pemerintahannya. Dengan prestasi Bouteflika mengakhiri konflik di Aljazair, ia memiliki alasan untuk tetap melanjutkan kebijakan pemerintahannya.
Sehingga, ketika negara-negara di Afrika Utara dan Timur Tengah bergejolak didera gelombang perubahan politik Arab, Aljazair tak ikut hancur. Adanya pemerintahan otoriter yang menggunakan kekuatan militer untuk membungkam kebebasan politik dan mengontrol pers di Aljazair belum cukup membakar rakyat menuntut perubahan total. Rakyat Aljazair cenderung menginginkan reformasi yang berjalan bertahap.
Karena itulah, demonstrasi yang terjadi di Aljazair sepanjang 2011-2012 dapat ditenangkan dengan janji reformasi dari pemerintahan Bouteflika. Namun, janji tersebut tak terwujud hingga saat ini.
Ekonomi Suram
Selain pemerintahan yang otoriter, angka pengangguran yang mencapai 10 persen dan pengangguran orang muda yang mencapai 21,5 persen pada 2011 di Aljazair sebenarnya merupakan bahan bakar yang melimpah bagi gelombang protes rakyat terhadap pemerintah. Bahkan, angka penggangguran di Aljazair pada 2011 lebih tinggi daripada Maroko (9,1 persen) maupun Mesir (8,9 persen) yang tersapu gelombang musim semi Arab.
Situasi tersebut diperparah dengan korupsi yang merajalela di Aljazair. Pada 2011, indeks korupsi di Aljazair mencapai angka 29, atau berada di urutan 112 dari 173 negara. Ditambah lagi, di tingkat global, Aljazair juga tak menjanjikan kemudahan bisnis dengan indeks kemudahan usaha di angka 148 dari 190 negara di tahun 2011.
Situasi ekonomi yang buruk tak serta merta mengantar Aljazair tergulung gelombang perubahan politik Arab. Sebagai negara penghasil minyak anggota OPEC, Aljazair masih sanggup membayar subsidi rakyat dari penjualan minyak seturut harga minyak yang masih tinggi. Selama 2011-2014, harga minyak mentah dunia masih di kisaran 100 dollar AS per barel. Pemerintah berhasil menghentikan berkembangnya demonstrasi Februari 2011 dengan jalan menggelontorkan subsidi berlimpah kepada rakyat dari hasil penjualan minyak.
Secara konkret, pemerintah Aljazair segera mengubah struktur keuangannya dengan menganggarkan 25 persen bagi pengeluaran publik. Pemerintah meningkatkan subsidi perumahan, upah di sektor publik, dan menjanjikan lapangan pekerjaan. Selain itu, pemerintah juga memberi stimulus dengan memberikan pinjaman dengan bunga rendah. Kebijakan tersebut terbukti ampuh “membeli” stabilitas Aljazair di masa musim semi Arab.
Tak Tertahankan
Sekarang, ketika rata-rata gelombang pemberontahan di Arab telah mereda, giliran Aljazair mengalami gejolak politik yang semakin tak terprediksi.
Rezim pemerintah Aljazair semakin otoriter di bawah Bouteflika sebagai presiden selama empat kali masa pemerintahan. Ditambah situasi ekonomi yang semakin memburuk. Hal yang paling kentara, angka pengangguran di Aljazair semakin tinggi. Pada 2018, hampir sepertiga angkatan kerja di bawah 30 tahun menganggur. Di sisi lain, dengan jatuhnya harga minyak dunia sepanjang 2015-2018, produksi minyak di Aljazair tak lagi dapat diandalkan untuk kembali “membeli” kebebasan rakyat Aljazair.
Bahan bakar bagi api demonstrasi rakyat masih tetap tersedia di Aljazair, bahkan semakin besar. Akan tetapi, kali ini pemerintah Aljazair tak memiliki cukup amunisi untuk menghentikan frustrasi rakyat yang ditumpahkan di jalan.
Dimulai pada Jumat, 22 Februari 2019, protes rakyat Aljazair tumpah di seantero negeri. Protes rakyat tersebut dipicu oleh keinginan Presiden Bouteflika untuk maju kembali dalam pemilihan presiden untuk kelima kalinya. Pada 10 Februari 2019, partai FLN mencalonkan kembali Bouteflika menjadi presiden kelima kalinya. Dengan diwakili oleh ketua tim pemenangannya, pada 15 Februari 2019, Bouteflika bersedia dicalonkan dan mendaftarkan diri sebagai calon presiden dalam pilpres yang dijadwalkan berlangsung 18 April 2019.
Rakyat Aljazair menilai bahwa rezim Bouteflika sudah cukup lama memerintah Aljazair sejak 1999. Selain itu, Bouteflika yang telah berusia 82 tahun dianggap tidak lagi mampu memerintah pasca serangan stroke yang menimpanya pada 2013. Sejak terkena stroke, Bouteflika harus berkali-kali menjalani pengobatan dan harus didorong di kursi roda. Bahkan, dalam pemerintahannya yang keempat sepanjang 2014-2019, ia tak pernah tampil di muka umum.
Protes dari rakyat Aljazair menuntut Presiden Bouteflika turun dan tak maju ke pemilihan presiden. Demonstran juga menginginkan hilangnya korupsi, hukum yang lebih tegas, kebebasan, serta mengatasi problem terbesar negara produsen minyak ini: pengangguran yang dialami hampir sepertiga penduduk berusia 30 tahun.
Di Atas Hukum
Dari sisi hukum, para demonstran menuntut penegakan hukum yang banyak dilanggar oleh sang presiden. Sekurangnya, terdapat tiga aturan yang dilanggar oleh Bouteflika secara terang-terangan.
Pertama, terkait pencalonan presiden. Dalam aturan pilpres di Aljazair, disyaratkan bahwa calon presiden datang sendiri untuk mencalonkan diri dan tidak diwakilkan. Dengan pengajuan pencalonan Bouteflika yang diwakilkan, rakyat menuntut agar pencalonan tersebut dibatalkan karena tidak sah.
Kedua, Bouteflika dianggap melanggar artikel 88 konstitusi Aljazair 2016 yang mengatur masa pemerintahan seorang presiden. Dalam Konstitusi 1996, periode kekuasaan seorang presiden dibatasi dua kali masa jabatan. Bouteflika mengamandemen konstitusi pada 2008 sehingga periode kekuasaan presiden tak dibatasi. Ia menggunakan dasar tersebut untuk kembali mencalonkan diri pada 2009 dan menang. Pada 2016, konstitusi kembali membatasi masa pemerintahan presiden, tetapi Bouteflika seakan merasa di luar hukum dasar.
Tuntutan lain yang lebih mendasar, rakyat menginginkan agar diberlakukan artikel 102 konstitusi Aljazair terkait ketidakmampuan Bouteflika memerintah. Dalam Konstitusi Aljazair 2016 disebutkan bahwa bila presiden tidak mampu memerintah karena sakit, kekuasaan diberikan kepada Ketua Majelis Tinggi selama 90 hari sambil mempersiapkan pemilihan presiden baru. Dengan pemberlakuan artikel tersebut, diharapkan Bouteflika dapat mundur karena dianggap tak lagi mampu memerintah sebagai Presiden.
Semakin Membesar
Gelombang protes menentang pencalonan kembali Bouteflika tak hanya terjadi di Algiers, ibukota Aljazair, akan tetapi meluas ke seluruh penjuru negeri. Protes juga dilakukan oleh warga Aljazair di luar negeri, terutama di Perancis, tempat ribuan imigran Aljazair bermukim. Puluhan ribu rakyat dari berbagai latar belakang turun ke jalan, mulai dari kaum intelektual, mantan pejabat pemerintahan, pelajar, pengajar, pengacara, dan kaum pekerja.
Yang patut dicatat, demonstrasi di Aljazair didominasi oleh kaum muda. Selain karena secara demografi 54 persen penduduk Aljazair berumur di bawah 30 tahun, kaum muda di Aljazair tak menanggung beban sejarah perang saudara. Oleh karena itu, tak hanya mahasiswa yang turun ke jalan, tetapi juga murid-murid sekolah menengah pun banyak ditemui dalam demonstrasi menentang Bouteflika.
Pada Jumat, 1 Maret 2019, demonstrasi kembali digelar dengan peserta yang lebih banyak lagi. Tuntutan pendemo, selain agar Bouteflika mundur, juga meminta agar adik sang presiden, Said Bouteflika, juga tak lagi campur tangan dalam pemerintahan.
Pasca serangan stroke 2013, praktis Bouteflika tak pernah tampil di muka publik. Ditambah lagi, pada 24 Februari 2019, Bouteflika diketahui sedang menjalani perawatan di Swiss Hal itu membuat rakyat semakin yakin bahwa Bouteflika tidak mampu lagi menjalankan pemerintahan.
Rakyat mencurigai bahwa sang adiklah yang kemudian menjadi penguasa di balik layar. Selain itu, banyak orang menganggap bahwa presiden disetir oleh orang-orang di sekelilingnya yang mendapatkan keuntungan dari pemerintahan sang presiden.
Janji Sang Presiden
Menanggapi protes yang membesar, pada Minggu, 3 Maret 2019, Presiden Bouteflika, dalam keterangan tertulis, mencoba menenangkan demonstran dengan pujian dan janji yang disiarkan oleh televisi. Presiden memuji demonstrasi yang berlangsung dengan damai akan tetapi juga mengingatkan bahaya kekerasan yang dapat terjadi apabila demonstrasi terus berlangsung, terutama bila diboncengi kekuatan asing yang akan memecah belah Aljazair.
Selain itu, Bouteflika menyatakan tidak akan menyelesaikan periode kepresidenannya apabila terpilih kembali sebagai presiden untuk kelima kalinya. Ia berjanji, bila terpilih kembali, ia akan segera mengadakan pemilihan presiden setelah satu tahun memerintah tanpa ikut serta di dalamnya. Bahkan, ia mengajak kaum oposisi dan demonstran untuk ikut serta menyusun roadmap-nya dalam sebuah Konferensi Nasional.
Tak menggubris janji sang presiden, pada Jumat, 8 Maret 2019, digerakkan oleh tagar #March8Movement di media sosial, semakin banyak rakyat Aljazair yang tumpah ke jalan, menuntut pengunduran diri Bouteflika.
Sampai tanggal 8 Maret 2019, sejumlah 200 demonstran telah ditangkap. Akan tetapi, dengan dukungan yang membesar dari berbagai kalangan, rakyat Aljazair semakin percaya diri. Apalagi, beberapa anggota DPR dari partai FLN yang memerintah mulai berani memberikan dukungan kepada rakyat.
Menghadapi ledakan protes yang tak terantisipasi, pemerintah berusaha menggembosi dengan mempercepat libur mahasiswa. Pemerintah Aljazair meliburkan universitas dua minggu lebih awal dari jadwal semula tanpa alasan yang jelas. Akan tetapi, hal itu dicurigai sebagai usaha mengurangi tekanan demonstrasi yang sebagian besar dimotori oleh mahasiswa.
Kalangan muda yang kebanyakan adalah pengangguran semakin frustasi karena tak tersedia lapangan kerja dan kesempatan ekonomi bagi mereka. Mereka menginginkan perombakan total dalam pemerintahan. Hal itu tampak dari poster-poster yang bertuliskan, “Aljazair adalah republik, bukan kerajaan”, serta “Tak ada pemilu sampai kelompok elite penguasa diturunkan”.
Strategi Baru Bouteflika
Untuk menenangkan demonstrasi yang semakin membesar, Bouteflika tampil di televisi dan menggumumkan pembatalan pencalonan dirinya dalam pemilihan April mendatang. Hal itu dilakukan pada 11 Maret, sehari setelah kepulangannya dari pengobatan di Swiss. Dalam surat yang dibuatnya, ia juga menyatakan tidak berniat mencalonkan diri untuk kelima kalinya.
Bouteflika mengawali suratnya dengan pernyataan pemahamannya yang mendalam terhadap suka duka yang dialami oleh kaum muda Aljazair. Ia mencoba memperlihatkan adanya tarik menarik kepentingan akan perlunya stabilitas pemerintahan di satu pihak dan reformasi di pihak lain. Untuk menunjukkan keberpihakan terhadap tuntutan rakyat, Bouteflika menawarkan suatu reformasi di berbagai bidang dengan partisipasi yang lebih luas bagi rakyat Aljazair. Terdapat tujuh hal yang dia garis bawahi.
Pertama, Ia menjanjikan tak akan ada masa pemerintahan dirinya yang kelima. Kedua, tak akan ada pemilihan presiden pada 18 April 2019. Ketiga, Bouteflika akan mengadakan perubahan penting dalam pemerintahan dalam waktu dekat.
Keempat, untuk mengakomodasi tuntutan demonstran, Bouteflika akan mengadakan sebuah konferensi nasional yang inklusif dan independen. Konferensi tersebut akan menentukan pemilihan presiden yang baru tanpa keikutsertaan dirinya. Konferensi nasional, yang tanggalnya belum ditentukan tersebut, direncanakan sebagai pengawas transisi yang akan terjadi di Aljazair, menyusun konstitusi baru, serta menetapkan tanggal untuk pemilu presiden.
Kelima, pemilihan presiden akan diadakan di bawah komisi pemilihan nasional yang independen. Keenam, akan dibentuk lembaga pemerintah yang berisi orang-orang yang kompeten untuk menyelenggarakan pemiilhan presiden yang independen dan tranparan. Ketujuh, presiden akan menguasahakan agar tiap lembaga negara bergerak untuk berkontribusi penuh pada keberhasilan rencana ini.
Bersamaan dengan penyampaian surat kepada rakyat Aljazair, Bouteflika juga melaksanakan beberapa perombakan. Ia mengakhiri masa jabatan Presiden Lembaga Pemilihan Independen (HIISE) Aljazair, Abdelouahab Derba, menyusul pembatalan pilpres 18 April mendatang.
Selain itu, Bouteflika mengganti PM Ahmed Ouyahia yang mengundurkan diri, dengan Noureddine Bedoui. Bedoui merupakan anggota lingkaran dalam Bouteflika yang telah menjadi menteri dalam negeri sejak 2015. Selain itu, dibentuk juga posisi baru, wakil PM, dan ditujuk Ramtane Lamamra sebagai wakil PM. Lamamra merupakan mantan menteri luar negeri Aljazair.
Tanggapan Beragam
Para demonstran menyambut pembatalan pencalonan Bouteflika sebagai sebuah kemenangan kecil. Akan tetapi, mereka terutama melihat bahwa keputusan Bouteflika merupakan strategi untuk memperpanjang kekuasaan. Surat kabar El Watan menyebutkan bahwa Bouteflika sedang menjalankan trik terakhirnya. Bouteflika tetap memegang kendali pemerintahan, bahkan tanpa harus melewati pemilihan presiden yang rencananya akan digelar pada 18 April 2019. Ia tak harus menaati berakhirnya masa kepresidenannya pada 26 April 2019.
Selain itu, penggantian PM dan penetapan posisi baru wakil PM tak memuaskan para demonstran. PM yang baru, Noureddine Bedoui, dianggap masih merupakan kroni sang presiden karena kedekatannya dengan Nacer Bouteflika, salah satu adik sang presiden
Dalam suratnya, Bouteflika menggambarkan pembaharuan yang perlu dilakukan bagi Aljazair dengan kosakata “renovasi” bagi bangunan bangsa. Ia berjanji untuk mengawal proses renovasi tersebut hingga terwujud. Bahkan, di akhir suratnya, ia menggunakan istilah “jalan keselamatan” bagi tawaran renovasi bagi rumah besar Aljazair, serta meminta dukungan rakyat untuk melaksanakannya.
Padahal, di jalan-jalan, yang diinginkan oleh demonstran adalah bangunan pemerintahan baru, bukan semata renovasi. Bangunan baru hanya dapat dilakukan apabila bangunan lama dirobohkan, yaitu penggulingan kekuasaan Bouteflika dan mereka yang berada dalam lingkaran kekuasannya.
Selain itu, tindakan Bouteflika dianggap oleh para demonstran sebagai strategi untuk menggembosi demo yang terus membesar. Pernyataan Bouteflika yang disampaikan pada 11 Maret tersebut mendahului jadwal keputusan komite konstitusi untuk mengesahkan calon presiden yang akan maju bertarung. Dijadwalkan pada 13 Maret Komite Konstitusi Aljazair akan memutuskan legitimasi dari tiap kandidat presiden yang akan bertanding pada 18 April 2019 berdasarkan artikel 103 Konstitusi Aljazair 2016.
Momen tersebut sangat ditunggu oleh para demonstran karena akan menjadi pembuktian berjalannya institusi hukum di Aljazair. Bila komite konstitusi mensyahkan Bouteflika maju sebagai calon kandidat presiden, protes akan semakin membesar. Alasannya, Bouteflika tidak memenuhi syarat pencalonan dari segi kesehatan maupun dari segi masa pemerintahan.
Akan tetapi, Bouteflika mendahului keputusan Komite Konstitusi Aljzair dengan tampil di depan publik dan membatalkan pencalonan dirinya, bahkan membatalkan pemilihan presiden pada April mendatang.
Demonstran tetap turun ke jalan pada Jumat, 15 Maret 2019. Mereka belum terpuaskan dengan surat pernyataan Bouteflika. Tuntutan mereka semakin tegas, menginginkan Bouteflika mengundurkan diri.
Oposisi Terpecah Belah
Terhadap surat Bouteflika, kebanyakan oposisi bersikap skeptis. Terutama karena Bouteflika tidak merespons keinginan pendemo agar dirinya mengundurkan diri sebagai presiden. Mereka melihat bahwa Bouteflika tetap berjalan pada rencana yang ditawarkan pada 3 Maret 2019, yakni menyelenggarakan konferensi nasional.
Sebelum Bouteflika membatalkan pemilihan presiden pada April 2019, pihak oposisi sudah berencana untuk memboikot pemilihan presiden. Mantan PM Ali Benflis yang kembali mencalonkan diri menjadi presiden menyatakan akan memboikot. Oposisi lain, Partai Buruh dan Islamist Movement Society for Peace juga akan memboikot pemilu.
Selain itu, mencermati demonstrasi yang semakin membesar, pada 7 Maret 2019, sekurangnya 30 kelompok politik di Aljazair bertemu di Algiers, di kantor pusat partai Talaie Al Houriyate. Mereka berencana mengadakan boikot pilpres yang akan digelar pada 18 April. Saat itu, oposisi masih belum sepakat, apakah akan memakzulkan presiden yang sedang sakit atau mencari cara lain untuk menyingkirkannya.
Sebagian besar kelompok setuju bahwa presiden tak lagi cocok memerintah negara terbesar di Afrika ini. Mereka menuntut pemberlakuan pasal 102 konstitusi Aljazair 2016 yang menyatakan bahwa bila penyakit menyebabkan presiden tak dapat memerintah negara, ia harus mundur.
Kelompok lain berpendapat lebih tegas, meminta pengunduran diri presiden dan pemerintahannya dan menolak untuk bekerja sama. Suara ini diserukan oleh kelompok oposisi di luar parlemen, seperti The Mouwatana dan Jil Jadid. Mereka menuntut sikap radikal dari anggota parlemen agar tidak berdiri di dua kaki. Kelompok oposisi yang memiliki wakil di DPR diminta segera keluar karena DPR dianggap sebagai institusi yang tidak sah.
Selain belum sepakat dalam hal cara menggulingkan sang presiden, pihak oposisi juga terpecah karena perbedaan ideologi.
Bersamaan dengan membesarnya gerakan demonstrasi, beberapa golongan oposisi mencoba menyatukan tuntutan dalam wadah payung bersama the National Coordination for Change (CNC). Merespons surat Bouteflika, CNC mengeluarkan pernyataan, mendesak Bouteflika untuk segera menyerahkan kekuasaan kepada sebuah pemerintahan kolektif pada 28 April, batas akhir pemerintahan Bouteflika yang keempat kalinya.
Walaupun setuju dengan isi dari pernyataan tersebut, banyak kelompok oposisi yang tak mau bergabung dengan CNC. Alasannya, mereka menganggap bahwa CNC hanya mewakili satu golongan saja, yakni Islamic Salvation Front (FIS) yang dianggap bertanggung jawab terhadap perang saudara yang membawa pada dekade gelap Aljazair. Kembali, golongan tua masih trauma dengan akibat perang saudara yang mengakibatkan korban ratusan ribu rakyat Aljazair.
Kesamaan tuntutan demonstran ternyata tidak dibarengi dengan kesatuan dalam cara menata pemerintahan yang akan mereka gulingkan. Mereka belum sepakat, bangunan macam apa yang akan mereka wujudkan ketika tuntutan agar Bouteflika mundur terwujud.
Golongan oposisi masih menuduh golongan lain terlalu berkompromi dengan pemerintah sehingga menimbulkan ketidakpercayaan satu sama lain. Selain itu, golongan oposisi tidak mau disatukan dalam wadah yang sama karena perbedaan ideologi. Hasilnya, oposisi di Aljazair terpecah belah dan semakin lemah.
Ditinggalkan Pendukung Utama
Dengan eskalasi demonstrasi sejak 22 Februari 2019, pilar utama pendukung Bouteflika mulai berani menyuarakan perbedaan pendapat: militer dan FLN.
Suara paling ditunggu adalah dari militer yang selalu dianggap sebagai pahlawan perang kemerdekaan Aljazair. Militer secara resmi masih berada di bawah kendali Bouteflika. Akan tetapi, setelah demonstrasi Jumat ketiga yang semakin membesar, Kepala Staf militer Letnan Jenderal Ahmed Gaid Salah menyatakan bahwa para demonstran sedang menjalankan tujuan mulia.
Hal itu disambut oleh para demonstran pada Jumat 22 Maret 2019 dengan menyatakan bahwa rakyat dan tentara adalah saudara. Pernyataan sang kepala staf tersebut cukup berani mengingat sejak terpilih menjadi presiden yang kedua kalinya, Bouteflika membersihkan militer dari para penentangnya.
Setelah protes berjalan selama lima minggu, akhirnya militer Aljazair lebih tegas menyatakan posisinya pada 26 Maret 2019. Jenderal Ahmed Gaid Salah, Kepala Staf militer National People’s Army (ANP) sekaligus wakil Menteri Pertahanan memberikan solusi bagi krisis Aljazair dengan pemberlakukan artikel 102 Konstitusi 2016. Artikel tersebut mengatur pemberhentian presiden karena tidak mampu memerintah karena sakit.
Dengan pernyataan tersebut, pesan yang ingin disampaikan oleh militer sangat jelas. Militer sebagai salah satu pilar pemerintahan Bouteflika telah meninggalkan Bouteflika. Selain militer, Bouteflika juga ditinggalkan oleh partai-partai pendukung utamanya.
Pertama, pernyataan keras muncul dari partainya sendiri, FLN. Setelah demonstrasi semakin membesar selama lebih dari satu bulan, pimpinan FLN akhirnya menyatakan bahwa mereka mendukung tuntutan demonstran. Secara lebih tegas, pada 24 Maret 2019, FLN menyatakan bahwa proposal konferensi nasional yang diajukan Bouteflika tidak valid. Satu-satunya proposal yang disetujui oleh FLN adalah pemilihan presiden baru.
Pernyataan tegas tersebut diikuti oleh partai koalisi pendukung utama FLN, yakni National Democratic Rally (RND) pada 27 Maret 2019. RND meminta presiden untuk mengundurkan diri.
Hilangnya dukungan dari FLN dan RND memperlemah pilar pendukung utama kekuasaan Bouteflika, setelah militer juga telah menegaskan sikapnya.
Negara Neopatrimonial
Di jalan-jalan, gerakan pembaharuan yang diserukan oleh rakya Aljazair terus berjalan. Mereka terus berdemonstrasi walau Presiden Bouteflika telah mencoba untuk meredamnya.
Dalam demonstrasi Jumat ke-5 sejak 22 Februari 2019, peserta semakin membesar. Surat kabar El Watan melaporkan, ratusan ribu orang turun ke jalan pada 22 Maret 2019 walaupun dihadang gerimis (Al Jazeera dan Le Juene Independat melaporkan puluhan ribu). Mereka menyerukan slogan yang sama sejak 22 Februari 2019, “Klitou labled Yasserakine”, yang berarti “Kamu telah menghambur-hamburkan kekayaan negara, pencuri!”, sambil menuntut Bouteflika dan kroninya segera lengser.
Para demonstran satu kata bahwa Bouteflika harus segera diturunkan. Akan tetapi, sampai saat ini gambaran pembaharuan yang akan diwujudkan belum disepakati. Ditambah lagi, mereka belum memiliki figur yang kuat yang akan mereka ajukan atau dukung untuk menggantikan Bouteflika karena oposisi lemah. Tiadanya figur penantang yang kuat dan oposisi yang lemah sangat lumrah dalam pemerintahan neopatrimonial seperti Aljazair.
Di Aljazair, seperti negara neopatrimonial lain, pemenang pemilu mengambil semua keuntungan bagi dirinya sehingga mendorong tetap lengketnya kekuasaan. Dalam jangka waktu yang lama, sang penguasa kemudian menggunakan sumber-sumber negara untuk keuntungan pribadi dan untuk melindungi loyalis mereka. Hal tersebut juga mendorong para elite politik untuk mendukung pemimpin yang kuat sehingga akan tercipta lingkaran elite penguasa yang saling berbagi kekuasaan. Akibatnya, semakin lama penguasa berkuasa, semakin golongan oposisi tak dapat berkembang.
Di Aljazair, sepanjang 20 tahun memerintah, Bouteflika telah menjadi tokoh sentral tanpa lawan. Bouteflika berhasil mengendalikan militer yang sebelumnya sangat berkuasa di Aljazair. Satu per satu, tokoh penguasa militer Aljazair berhasil dikendalikan oleh Bouteflika, sebagian diberhentikan, sebagian dijadikan duta besar ke negara lain. Mereka yang dianggap akan menentangnya, segera disingkirkan. Dengan dalih penyegaran, sang presiden mengganti para jenderal generasi perang kemerdekaan dengan wajah-wajah baru.
Pada 2004, Kepala Staf militer Jenderal Mohamed Lamari mundur dari jabatan tiga bulan setelah Bouteflika diangkat menjadi presiden yang kedua kali. Tokoh militer penting lain, Jenderal Mohamed Touati, penasihat pertahanan yang dijuluki “The Brain” pada 2014 diganti dengan alasan tujuh bulan tidak menjalankan tugasnya.
Yang paling terasa adalah menghilangnya dukungan dari tokoh militer paling berpengaruh di Aljazair, Jenderal Mohamed “Toufik” Mediene. Sang jenderal dijuluki the God of Algeria karena kekuasaannya yang begitu besar, arsitek di balik dinas intelijen militer Aljazair (DRS), serta misterius karena tak pernah tampil di muka umum. Saat Bouteflika kembali mencalonkan diri untuk keempat kalinya pada 2014, sang jenderal tak lagi mendukungnya dan kemudian dinyatakan hilang secara misterius. Bouteflika pun berhasil maju kembali dan memenangkan kompetisi.
Mundur atau diberhentikannya para jenderal tersebut dianggap sebagai jalan bagi sang presiden memperkuat posisi di hadapan militer. Dengan menyingkirkan tokoh-tokoh militer era perang kemerdekaan, praktis Bouteflika lebih leluasa mengendalikan militer dan menghindari munculnya pesaing.
Khas Afrika
Kelekatan penguasa akan jabatannya bukanlah hal yang aneh di Afrika. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Parlemen Eropa, presiden-presiden di Afrika memang cenderung memenangkan kembali pemilihan presiden berikutnya, baik dengan cara yang fair maupun tidak.
Pasca Perang Dingin, negara-negara di Afrika berlomba-lomba menerapkan pemerintahan yang demokratis. Mereka mengenalkan konstitusi yang membatasi pemerintahan seorang presiden. Sebelum tahun 1990, hanya enam negara dari 48 negara di Afrika yang disurvei yang memasukkan pembatasan periode pemerintahan presiden dalam konstitusi mereka. Jumlah tersebut berubah pasca 1990 dengan 33 dari 48 negara yang memasukkan pembatasan pemerintahan presiden dalam konstitusi mereka.
Akan tetapi, setelah menang dalam pemilihan yang kedua, para pemegang kekuasaan di Afrika akan menggunakan kekuasaannya untuk mengubah aturan sehingga dirinya dapat dipilih kembali. Mereka berlindung di balik kehendak rayat dan pilihan yang demokratis. Atas nama demokrasi, mereka akan melakukan referendum untuk memperlihatkan bahwa rakyatlah yang menginginkan amandemen konstitusi. Ada juga negara yang memiliki pembatasan, tetapi pembatasan tersebut tidak berlaku bagi pemerintah yang sedang berkuasa, seperti di Angola dan Sudan.
Dengan kata lain, mereka memanfaatkan demokrasi yang memang memfasilitasi perubahan konstitusi asalkan dilakukan dengan dukungan rakyat yang tecermin melalui referendum. Hasil referendum pun memenangkan kemauan penguasa. Hal tersebut menimbulkan kecurigaan dalam prosesnya karena kebanyakan penduduk di Afrika tidak memiliki catatan identifikasi resmi sehingga membuka peluang untuk curang.
Oleh karena itu, sebagai tokoh tanpa lawan seimbang, apabila ikut pemilihan presiden yang kelima kalinya pun, Bouteflika diyakini akan menang mudah. Ia masih menjadi calon tunggal yang paling besar peluangnya karena berhasil mengakhiri perang saudara dan memberikan amnesti kepada para pemberontak.
Perang Saudara Mengintai
Rakyat Aljazair sedang berada di atas angin. Sebagai musuh bersama, Bouteflika akhirnya lengser karena militer dan FLN, dua pilar utama kekuasan Bouteflika, telah meninggalkannya.
Akan tetapi, tugas lebih berat segera muncul ketika musuh bersama tak lagi ada. Perang saudara dan rebutan kekuasaan akan terjadi apabila oposisi dan lembaga konstitusional di Aljazair tak sepakat dengan bentuk kekuasaan baru.
Dengan proposal yang diajukan oleh militer, untuk melengserkan presiden secara konstitusional, bola sekarang berada di tangan Dewan Konstitusional. Lembaga tersebutlah yang memiliki kekuatan legal untuk menegakkan artikel 102 ke Parlemen. Tayeb Belaiz, Ketua Dewan Konstitusional, menjadi figur yang ditunggu-tunggu untuk segera bertindak setelah militer menegaskan posisinya.
Selain itu, Ketua Majelis Tinggi, Abdelkader Bensalah, juga menjadi figur yang memegang peran penting selanjutnya. Menurut konsititusi, dialah yang akan menjalankan fungsi sebagai kepala pemerintahan transisi pasca artikel 102 konstitusi diberlakukan. Akan tetapi, Bensalah telah menyatakan menolak menggantikan presiden apabila artikel 102 diterapkan. Selain itu, rakyat Aljazair pun menolak campur tangan tiga "B" sebagai pemimpin transisi, Belaiz, Bensalah, dan Bedoui. Hal itu bisa dipahami karena Bensalah merupakan pendukung Bouteflika.
Di pihak oposisi, pernyataan sikap militer dan partai utama pendukung Bouteflika ditanggapi secara beragam. Mereka mencurigai proposal solusi yang ditawarkan oleh kepala staf militer Ahmed Gaid Salah sebagai usaha militer untuk kembali berkuasa di Aljazair. Proposal tersebut dianggap sebagai kudeta militer secara konstitusional. Militer juga dicurigai sedang mencuci dosa mereka dengan membonceng demonstrasi rakyat agar tidak mencapat cap buruk saat Boueflika berhasil digulingkan.
Partai oposisi Front Al Mostakbel menyatakan mendukung sikap militer. Bagi mereka, proposal yang ditawarkan oleh pihak militer sudah sejalan dengan pendapat partai, yakni suatu pergantian pemerintahan yang konstitusional.
Pendapat lain disuarakan oleh partai-partai berhaluan Islam yang juga berjuang secara konstitusional. Akan tetapi, mereka lebih menginginkan artikel 7 Konstitusi 2016 daripada artikel 102. Artikel 7 menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat.
Oleh karena itu, terhadap proposal sang Jenderal, partai-partai oposisi menginginkan jaminan dari militer agar mereka tidak terlibat terlalu jauh dalam mengawal transisi demokrasi di Aljazair.
Terpecahnya oposisi ditambah ketidakpercayaan yang melanda hampir semua lembaga pemerintah dan non pemerintah di Aljazair, memperlihatkan ancaman perang saudara jilid kedua semakin nyata di Aljazair. Oposisi harus satu kata agar Aljazair tak kembali mengalami Dekade Kegelapan perang saudara. Selain itu, dibutuhkan tokoh pemersatu yang dapat diterima sebagian besar pihak untuk mengantar Aljazair membentuk pemerintahan baru sesuai harapan rakyat.
Tak Punya Kawan
Ketika tak ada lagi partai oposisi dan lembaga negara yang dapat diharapkan memimpin gerakan pembaharuan di Aljazair, bantuan dari luar negeri pun tampaknya juga tak dapat diharapkan.
Walau merupakan negara terbesar di Afika dan terletak di pintu gerbang Afrika dan Eropa, Aljazair tak punya banyak kawan. Hal itu disebabkan karena Aljazair pun tak banyak terlibat dalam persoalan di tingkat regional maupun global. Satu-satunya peran Aljazair yang mengemuka bagi negara-negara Barat adalah perannya sebagai mitra di Afrika Utara bagi gerakan kontra terorisme.
Bisa jadi, hal itulah yang membuat tak banyak negara yang “tertarik” dengan konflik di Aljazair. Negara-negara yang selama ini menjalin kerja sama langsung dengan Aljazair, entah dalam hal perdagangan minyak maupun senjata tak terdengar menyatakan dukungan, entah kepada Bouteflika, maupun kepada rakyat yang berdemo. Tak terlihat juga peran negara-negara besar yang sering terlibat perang proxy, adu pengaruh, seperti yang terjadi di Suriah, Yaman, maupun Venezuela.
Satu-satunya negara yang “tertarik” dengan situasi di Aljazair adalah Perancis karena memiliki sejarah kolonialisasi. Hal itu terlihat dari begitu masifnya media-media di Perancis memberitakan gelombang demonstrasi di Aljazair sejak pertama terjadi pada 22 Februari 2019 hingga saat ini.
Sampai saat ini, campur tangan pemerintah Perancis tak terdengar dalam pergolakan yang terjadi di Aljazair. Pemberitaan media-media Perancis terhadap situasi di Aljazair terjadi karena ikatan emosional terhadap Aljazair yang pernah menjadi negara koloninya. Bahkan, 12 juta penduduk Perancis merupakan keturunan, ingatan, maupun asal-usul dari Aljazair. Pemberitaan tersebut akhirnya malah menjadi referensi dan pembanding bagi dunia luar untuk mengikuti pergolakan di Aljazair, selain dari media di Aljazair sendiri.
Minimnya perhatian internasional terhadap persolan dalam negeri di Aljazair menegaskan bahwa persoalan internal Aljazair harus diselesaikan sendiri oleh rakyat dan pemerintah Aljazair, tanpa intervensi asing.
Pengaruh Al Qaeda
Bila intervensi asing tak muncul di Aljazair, dari dalam negeri muncul kelompok yang ingin merebut pengaruh.
Memanfaatkan situasi demonstrasi yang konsisten dan semakin membesar, muncul ajakan konkret untuk mengarahkan Aljazair menjadi negara agama. Pada 9 Maret 2019, cabang Al Qaeda untuk wilayah Maghreb (AQIM) mengajak umat Muslim Aljazair untuk memastikan Aljazair berjalan menuju pemerintahan agama.
Cabang Al Qaeda yang beroperasi di wilayah Maghreb, Afrika Utara, ini sebenarnya sudah mulai kehilangan kekuatan di Aljazair. Namun, pergolakan di Aljazair, dengan 99 persen penduduk beragama Islam, menarik AQIM untuk ikut menentukan arah reformasi.
Setiap Jumat, bersamaan dengan panggilan ibadah shalat Jumat bagi umat Muslim, gerakan protes terus meluas. Bila sebelumnya sang presiden selalu didoakan dalam setiap shalat Jumat, para pemuka agama mulai meninggalkan doa bagi sang presiden. Kesehatan Bouteflika tak lagi muncul dalam doa dalam ibadah shalat Jumat, digantikan dengan tuntutan pengunduran dirinya di hari yang sama.
Walaupun demonstrasi diadakan setiap hari Jumat dan mendapatkan dukungan secara keagamaan, tak tampak simbol-simbol keagamaan dan gerakan rakyat Aljazair yang mengarah pada pembentukan negara agama. Bahkan, para imam shalat Jumat selalu menganjurkan demonstrasi dengan damai.
Pada Jumat, 29 Maret 2019, ratusan ribu demonstran kembali turun ke jalan. Senada dengan pendapat oposisi terhadap proposal Jenderal Gaid Salah, para demonstran menolak campur tangan militer untuk memberikan saran.
Sampai saat ini, tuntutan demonstran masih konsisten, mereka menginginkan pergantian rezim politik di Aljazair. Mereka tak ingin militer turut membonceng gerakan rakyat. Akan tetapi, demonstran juga tak mengiyakan ajakan AQIM untuk mengarahkan reformasi pada pembentukan negara agama. Bayangan dekade gelap perang saudara masih membuat rakyat tak begitu mudah menerima ajakan Al Qaeda.
Emoh Diboncengi
Tak seperti gelombang musim semi Arab yang membuat banyak negara berpaling dan menanti episode akhir dari demonstrasi yang terjadi, Aljazair sekarang “menggonggong” sendirian. Tak ada campur tangan dan pemberitaan dari negara-negara lain terhadap persoalan yang sedang dialami. Tinggalah Aljazair sendirian, menjadi suara bisu di panggung internasional.
Protes rakyat yang menuntut berakhirnya rezim politik Bouteflika ini menolak untuk diboncengi. Mereka tak percaya kepada pemerintahan yang sedang memerintah karena terlalu lama memerintah dan selalu ingkar janji. Ketika Selasa, 2 April 2019 Presiden Bouteflika mengundurkan diri, rakyat tetap menggelar demo pada Jumat, 5 April 2019. Demonstran tetap berusaha mengawal proses reformasi damai yang mereka usung.
Mereka tak percaya kepada militer karena terlalu campur tangan dalam pemerintahan sejak Aljazair merdeka. Mereka tak percaya kepada DPR karena dianggap terlalu kompromis dengan pemerintah. Demikian juga kepada partai penguasa dan oposisi yang ada di DPR. Bahkan mereka menganggap sepi ajakan Al Qaeda untuk membentuk negara agama karena mengingatkan kepada dekade gelap Aljazair tahun 90-an. Demonstrans di Aljazair emoh diboncengi oleh trauma masa lalu.
Saat ini, rakyat Aljazair sedang menunjukkan kekuatannnya. Setelah Presiden Bouteflika mengumumkan pengunduran diri, muncul persoalan lebih besar yang akan dihadapi rakyat Aljazair. Aljazair sekarang berada dalam situasi tanpa dasar karena tak ada institusi yang dipercaya rakyat, termasuk DPR sebagai lembaga inti sebuah negara demokrasi.
Menggulingkan pemerintahan Bouteflika adalah tujuan jangka pendek. Dari sudut pandang yang lebih tinggi, penggulingan pemerintahan hanya merupakan cara untuk mencapai tujuan yang lebih besar, yakni membentuk pemerintahan yang sesuai dambaan rakyat.
Masih dinanti munculnya pemimpin yang terbentuk di antara para demonstran sendiri untuk menjembatani harapan demonstran. Demonstran Aljazair yang kebanyakan adalah kaum muda membutuhkan rencana yang matang untuk mewujudkan dambaan mereka tentang pemerintahan yang memberikan mereka kesejahteraan.
Setelah selesai menggonggong dan mengenyahkan musuh bersama, sekarang saatnya rakyat Aljazair perlu menyepakati sebuah lembaga transisi untuk mengemban amanat hati nurani rakyat Aljazair. Bila tidak, akan muncul kelompok yang selama ini diam tetapi paling siap mengambil alih pemerintahan: militer. (LITBANG KOMPAS/MAHATMA CHRYSHNA)
Editor BAMBANG SETIAWAN