Kepedulian masyarakat terhadap anak-anak autis di Nusa Tenggara Timur masih rendah, dibanding tingkat kecacatan lain. Anak autis dinilai susah diatur, sulit bersosialisasi karena kurang berkomunikasi. Padahal, anak-anak ini memiliki kelebihan yang tidak dimiliki orang lain. Guru pendamping anak autis perlu diperbanyak.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS- Kepedulian masyarakat terhadap anak-anak autis di Nusa Tenggara Timur masih rendah, dibanding tingkat kecacatan lain. Anak autis dinilai susah diatur, sulit bersosialisasi karena kurang berkomunikasi. Padahal, anak-anak ini memiliki kelebihan yang tidak dimiliki orang lain. Guru pendamping anak autis perlu diperbanyak.
Koordinator Pusat Layanan Autis (PLA) Nusa Tenggara Timur (NTT) Purnami ketika memimpin 43 anak autis se-Kota Kupang mengikuti “Car Free Day” di Kupang, Sabtu (6/4) mengatakan, belum ada gerakan bersama untuk membangkitkan kepedulian masyarakat terhadap anak-anak autis.
Tetapi kesadaran orangtua atau anggota keluarga membawa anak-anak autis ke PLA NTT di Kota Kupang makin tinggi. Tahun 2016 jumlah anak autis yang dibina di PLA hanya 12 orang, sekarang sudah mencapai 43 orang. Beberapa diantaranya datang dari Ende, Labuan Bajo, Maumere, dan Ngada.
"Pihak orangtua sewa rumah di sekitar PLA di Naimata, Kota Kupang untuk anak dan pendamping dari keluarga, agar mereka bisa lebih mudah akses ke Sekolah PLA. Anak autis butuh pendampingan yang berkesinambungan, sampai mereka bisa bersosialisasi dan berkomunikasi dengan keluarga atau orang sekitar,”kata Purnami.
Ia mengatakan, kepedulian masyarakat terhadap anak-anak autis masih rendah, dibanding anak-anak cacat lain. Anak autis dinilai susah diatur, sulit berkomunikasi, dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Sementara anak-anak cacat fisik seperti tuna grahita, tuna rungu, dan tuna wicara lebih mudah diarahkan atau dibina.
Tetapi secara intelektual, kemampuan dan keterampilan anak-anak autis sama dengan anak-anak cacat lain. Bahkan bakat dan talenta anak-anak autis jauh lebih tinggi dibanding anak-anak cacat lainnya. Hanya anak autis perlu diarahkan, dan terus dibimbing.
Kurang kepedulian ini termasuk di dunia pendidikan. Ketika anak itu berada di luar lingkungan pendidikan (sekolah) ia sering diejek, dirundung, ditertawai, dan dijadikan bahan hiburan karena perilaku anak auti. Kondisi ini sangat disayangkan.
“Situasi ini sangat tidak membantu anak-anak autis. Malah, ketika mereka sudah diterapi dan mengalami kemajuan, lalu dikirim ke sekolah normal, justru di sana anak-anak autis ini tidak diterima dan dihargai dengan baik oleh guru dan anak-anak lain, akhirnya anak kembali seperti dunia semula, yakni autis. Harus ada gerakan bersama untuk membangun kesadaran semua ,"kata Purnami.
Jumlah 43 anak autis yang sedang mengikuti terapi di PLA Kupang berusia 2 – 20 tahun. Mereka didampingi lima orang guru dengan latar belakang pendidikan khusus autis, dan psikolog.
Jumlah guru pendamping autis masih kurang. Idealnya, satu guru mendampingi 1-3 orang. Dengan lima orang guru, anak-anak autis mengikuti terapi secara bergilir, dari pukul 08.00 sampai dengan pukul 17.00 Wita. Satu rombongan belajar sebanyak 5-8 orang.
Hari anak autis sedunia, diperingati 2 April. Tahun ini anak-anak autis Kota Kupang memperingati secara sederhana antara lain dengan jalan santai, lomba menyanyi, bermain musik, dan beberapa jenis permainan.
Ny Maria Ota (48) orangtua anak autis mengatakan, jumlah tenaga pendamping anak autis sangat terbatas. Jika dibandingkan dengan terapi autis yang diselenggarakan pihak swasta di Surabaya, Bandung, dan Jakarta, yang pernah dikunjungi Ota, satu anak autis didampingi satu guru terapis. Ini lebih efektif karena guru terapis bersangkutan benar-benar fokus pada anak itu.
“Mestinya juga ada buku penghubung antara guru terapis dengan orangtua di rumah. Setiap perkembangan anak autis di PLA ditulis guru pendamping, kemudian disampaikan ke orangtua untuk ditindaklanjuti di rumah. Tetapi di Kupang tidak ada buku pendamping seperti itu sehingga orangtua tidak tahu, apa yang telah dijalankan anak di PLA,”kata Ota.
Kemajuan yang telah dicapai di PLA dapat dilanjutkan orangtua (keluarga) di rumah, setelah membaca catatan dari guru pendamping di sekolah (pusat) terapis. Ada kerja sama antara sekolah dan orangtua.
Guru terapis tidak harus lulusan sarjana pendidikan khusus autis, atau psikolog. Lulusan SMA atau sederajad pun bisa mendampingi anak autis, asal ia memiliki kepedulian, kesabaran, dan perhatian terhadap kategori anak autis. Tetapi ia perlu mendapat kursus kilat tentang tata cara mendampingi anak-anak autis.