Pemerintah pusat dan kabupaten terus berupaya mengatasi pertambangan dan pengolahan minyak ilegal di Kabupaten Batanghari, Jambi.
JAKARTA, KOMPAS —Tim dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dikirim ke Kabupaten Batanghari, Jambi, menyelidiki praktik pertambangan minyak ilegal di sana. Informasi dari lapangan terus dihimpun untuk menentukan langkah yang akan diambil terkait keberadaan sekitar 1.500 titik pengeboran minyak ilegal yang melibatkan lebih dari 8.000 pekerja.
”Kalau ada kegaduhan, ada alasan pencemaran, atau kerusakan (lingkungan), pasti kami menurunkan tim ke lapangan untuk identifikasi dan verifikasi,” kata Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono, Jumat (5/4/2019), di Jakarta.
Tim yang diturunkan ke lokasi terdiri atas Direktorat Jenderal Penegakan Hukum, Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, serta Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem. Sejauh ini tim masih menghimpun informasi dan memverifikasi kejadian di lapangan.
Menurut Bambang, temuan dari tim tersebut akan digunakan untuk merumuskan langkah-langkah yang dibutuhkan untuk penyelesaian, baik dari sisi regulasi maupun kebijakan. Langkah penyelesaian atas persoalan pertambangan minyak ilegal itu tetap akan dikoordinasikan dengan pemerintah daerah, baik Pemerintah Kabupaten Batanghari maupun Pemerintah Provinsi Jambi. ”Harus ada tahapan itu. Sistem dari KLHK selalu begitu. Kami kerjakan bareng-bareng,” katanya.
Upaya pemkab
Bupati Batanghari Syahirsah dalam surat yang diterima redaksi Kompas, Kamis (4/4), menyampaikan hak jawab terkait pemberitaan tentang tambang minyak ilegal, 26-29 Maret lalu. Syahirsah menegaskan, pihaknya tidak pernah menerima surat permohonan dari Kepala Desa Pompa Air yang berhubungan dengan permohonan wilayah pertambangan rakyat.
Penegasan itu sekaligus membantah pernyataan Kepala Desa Pompa Air Indra yang mengaku telah mengajukan permohonan wilayah pertambangan rakyat kepada Bupati Batanghari dan usulan itu hingga kini belum disetujui.
Lebih lanjut, ia juga menjelaskan bahwa sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 14 Ayat (3) disebutkan bahwa ”urusan pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) yang berkaitan dengan pengelolaan minyak dan gas bumi menjadi kewenangan pemerintah pusat”.
Meski urusan yang berkaitan dengan pengelolaan minyak dan gas bumi tidak menjadi kewenangan pemerintah kabupaten, Pemkab Batanghari telah berinisiatif memfasilitasi penyelesaian pertambangan minyak ilegal itu.
Upaya itu antara lain mengirimkan surat kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 29 Januari 2019, meminta penyelesaian masalah pertambangan minyak ilegal itu. Pemkab juga mengirim surat kepada KLHK pada 30 Januari 2019, meminta bantuan untuk penegakan hukum dan pemulihan lingkungan di lokasi penambangan minyak ilegal tersebut.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Djoko Siswanto ketika dihubungi mengatakan belum bisa berkomentar terkait masalah sumur minyak ilegal dan surat permohonan dari Bupati Batanghari. ”Saya sampai pemilihan presiden (Pilpres 2019) belum bisa berpendapat,” ucap Djoko.
Sementara itu, Kepala Divisi Program dan Komunikasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Wisnu Prabawa Taher mengatakan, pihaknya dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) mendukung penutupan sumur-sumur ilegal. SKK Migas akan menutup sumur ilegal selama ada permintaan dari pemerintah daerah dan perintah dari Kementerian ESDM. (ICH/LSA/WHY)