Literasi di Desa Batur, Upaya Pemuda Menjembatani Sejarah dan Tradisi
Letusan dahsyat Gunung Batur di Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali, pada 1926 tidak hanya menelan korban jiwa dan merusak Desa Batur yang berada di kalderanya, namun juga hampir menghilangkan warisan sejarah masyarakat Desa Batur yang juga bagian peradaban Bali.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA
·3 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Letusan dahsyat Gunung Batur di Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali, pada 1926 tidak hanya menelan korban jiwa dan merusak Desa Batur yang berada di kalderanya, tetapi juga hampir menghilangkan warisan sejarah masyarakat Desa Batur yang juga bagian dari peradaban Bali.
Pemindahan warga Desa Batur dari desa asal mereka di kaki Gunung Batur ke lokasi baru berdampak kesenjangan pewarisan sejarah dari generasi terdahulu ke generasi penerus, terlebih lagi minimnya catatan sejarah desa yang ada.
Upaya menjembatani pewarisan sejarah dari leluhur Desa Pakraman Batur ke generasi penerus di desa itu digerakkan sekelompok pemuda Desa Pakraman Batur dari berbagai latar belakang. Mereka membuat penerbitan majalah dan buku tentang Desa Batur serta pembuatan video dokumenter mengenai Pura Ulun Danu Batur dan aktivitas religi masyarakat desa di Batur dalam kurun satu tahun terakhir.
Sebanyak dua majalah yang mengupas Desa Batur dan sejarah Batur diterbitkan sejak 2018, yakni, majalah Batur, Kata Penyambung Peradaban edisi 1 pada November 2018 dan majalah Batur, Kata Penyambung Peradaban edisi 2 yang terbit pada Maret 2019. Upaya literasi lainnya melalui video dokumenter tentang Pura Ulun Danu Batur yang digarap Ni Putu Santi Wahini pada 2018. Selain itu, pembuatan buku berjudul Jejak Peradaban di Kaki Gunung Batur yang disusun sekelompok anak muda Batur dari Batur Volunteers yang dimulai 2018.
”Gerakan literasi oleh pemuda Desa Batur ini untuk menjawab kegelisahan kami di masyarakat karena kami merasakan ada kesenjangan, yakni dari generasi lisan kami dari para penglingsir (tetua) ke generasi kami yang sudah mengenal tulisan, lalu ke generasi digital, yakni anak-anak kami yang besar pada zaman milenial,” kata Kelian Tempek Pengampel Desa Pakraman Batur Wayan Absir dalam diskusi tentang gerakan literasi di Desa Batur dan peluncuran majalah Batur, Kata Penyambung Peradaban edisi 2 di Taman Baca, Denpasar, Jumat (5/4/2019).
Menurut Absir, kesenjangan pewarisan sejarah Desa Batur turut dipengaruhi perpindahan masyarakat Desa Batur akibat bencana alam Gunung Batur meletus pada 1926. Absir mengakui, dirinya adalah bagian dari generasi masyarakat Desa Batur yang lahir setelah pemindahan warga Desa Batur dari desa asal mereka di kaki Gunung Batur.
”Oleh karena itu, kami merasa perlu membuat buku dan literatur sebagai bentuk pewarisan agar generasi masa depan kami tidak kehilangan jejak tradisi,” ujar Absir. Absir menambahkan, pewarisan sejarah dan tradisi semakin dibutuhkan karena kawasan Batur yang sudah ditetapkan sebagai taman bumi (geopark) juga dikembangkan menjadi daerah pariwisata.
Penerbitan majalah dan penyusunan buku tentang Desa Batur didukung sejumlah pihak, termasuk antropolog dan akademisi Universitas Papua, I Ngurah Suryawan. Sebagai moderator dalam diskusi di Taman Baca, Jumat malam, Suryawan mengatakan, Desa Batur adalah bagian penting dari peradaban Batur yang memiliki gunung, danau, dan pura, serta ikatan spiritual masyarakat di Bali. Subak di Bali, misalnya, memiliki hubungan dengan Danau Batur dan Pura Ulun Danu Batur.
”Penyusunan buku dan penerbitan majalah Batur adalah bentuk penyikapan generasi muda Desa Batur menjembatani pewarisan tradisi dan peradaban leluhur mereka,” kata Suryawan. ”Proses dan gerakan literasi ini menjadi penting agar anak-anak muda Batur tidak kehilangan tradisi dan warisan sejarah mereka,” ujar Suryawan.
Penyusunan buku dan penerbitan majalah Batur adalah bentuk penyikapan generasi muda Desa Batur menjembatani pewarisan tradisi dan peradaban leluhur mereka.
Meskipun bukunya sudah dicetak, buku berjudul Jejak Peradaban di Kaki Gunung Batur itu belum resmi diluncurkan karena buku tersebut dinilai masih perlu dilengkapi. Koordinator tim penulis buku, I Putu Sucita Maiva Utama, mengakui, mereka sedang memperbaiki isi buku itu dengan menambahkan sumber-sumber referensi terkait. ”Masih perlu penambahan data untuk melengkapi isi buku ini. Kami menyadari keterbatasan sumber data, terutama catatan tertulis tentang Desa Batur,” kata Sucita.