Pelatih dan Atlet Optimistis Bisa Tembus Batas Olimpiade
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Atlet atletik mendapat tantangan berat untuk lolos ke Olimpiade, yakni harus tembus batas rekor dan peringkat dunia tertentu. Namun, pelatih dan atlet atletik andalan Indonesia optimistis bisa menembus syarat itu. Walaupun rekor dan peringkat atlet Indonesia belum mencapai batas tersebut, pelatih dan atlet yakin bisa terus mengembangkan diri hingga mencapai batas itu selama 1 tahun 3 bulan masa kualifikasi Olimpiade Tokyo 2020.
Jelang Olimpiade 2020, PB PASI menargetkan sedikitnya tiga atlet terbaik bisa lolos ke ajang tersebut. Mereka adalah Lalu Muhammad Zohri di 100 meter, Emilia Nova di 100 meter gawang putri, dan Sapwaturrahman di lompat jauh.
Namun, langkah itu tidak akan mudah. Dalam aturan terbaru Asosiasi Internasional Federasi Atletik, untuk lolos Olimpiade, atlet harus mencapai batas rekor dan peringkat dunia tertentu. Untuk 100 meter, atlet harus mencapai batas waktu minimal 10,05 detik dan masuk 56 besar dunia. Pada 100 meter gawang putri, atlet harus mencapai batas waktu 12,84 detik dan masuk 40 besar dunia. Sedangkan lompat jauh, atlet harus mencapai lompatan 8,22 meter dan masuk 32 besar dunia.
Saat ini, Zohri waktu terbaiknya adalah 10,18 detik dan sekarang berada di peringkat 61 dunia. Emilia waktu terbaiknya adalah 13,33 detik dan sekarang di peringkat 154 dunia. Sapwaturrahman lompatan terbaiknya adalah 8,09 meter dan sekarang di peringkat ke-79 dunia.
Pelatih kepala sprint PB PASI Eni Nuraini di Jakarta, Jumat (5/4/2019), mengatakan, artinya, Zohri harus mempertajam kecepatannya hingga 0,13 detik untuk mencapai batas Olimpiade. Hal itu memang berat tetapi tidak menutup kemungkinan untuk mencapainya.
Eni menggambarkan, ketika pertama kali dirinya melatih Zohri pada Desember 2017, kecepatan atlet asal Nusa Tenggara Barat itu masih sekitar 10,30 detik. Namun, pada Juli 2018 atau ketika Kejuaraan Dunia Atletik U-20 di Finlandia, Zohri sudah bisa mempertajam kecepatannya hingga 0,12 detik atau menjadi 10,18 detik.
Artinya, Zohri punya rekam jejak mampu mempertajam kecepatannya dengan drastis dalam waktu singkat. ”Apalagi masa kualifikasi Olimpiade masih panjang, yakni dari Januari 2019 hingga Juni 2020 atau sekitar 1 tahun 3 bulan lagi. Selama masa itu, kami akan berusaha sebaik mungkin mempertajam lagi catatan waktu Zohri hingga memenuhi batas Olimpiade,” ujarnya.
Eni menuturkan, dirinya menyakini Zohri masih bisa terus berkembang asalkan mendapatkan latihan yang benar dan mau menerima latihan tersebut. Apalagi Zohri dinilai punya bakat alami yang baik sebagai pelari dan berusia masih sangat muda, yakni masih 18 tahun.
Dengan usia semuda itu, Zohri diyakini masih gampang untuk dibentuk menjadi lebih baik, terutama dari hal teknik. Umumnya, kalau sudah berusia di atas 20 tahun, atlet akan sulit untuk dibentuk menjadi lebih baik karena sudah terbiasa dengan kebiasaan lamanya.
”Tapi, usia di atas 20 tahun juga punya potensi untuk berubah kalau dia punya kemauan keras. Ketika saya pegang Suryo Agung pertama kali pada 2006, usia Suryo sudah 23 tahun. Saat itu, waktu Suryo masih sekitar 10,41 detik. Namun, secara bertahap, kami masih bisa merubah teknik berlari Suryo sehingga akhirnya bisa menjadi 10,17 detik pada 2009,” kata Eni.
Menurut Eni, saat ini, pekerjaan rumah utama Zohri adalah memperbaiki reaksi start dan akselerasi 30 meter awal lintasan. Jika hal itu bisa diperbaiki, kecepatan Zohri diyakini akan semakin tajam. ”Zohri itu kurangnya hanya saat reaksi start dan akselerasi 30 meter awal. Kalau dari 40 meter hingga finis, dia sudah bagus, kami tinggal mempertahankan dan mematangkannya saja,” tuturnya.
Zohri mengutarakan, dirinya sadar masih lemah di reaksi start dan akselerasi 30 meter awal. Hal itu karena dia masih belum terbiasa dengan teknik baru dari pelatih. Ia masih terbiasa dengan teknik lama yang lebih buruk, yakni kepala menunduk, badan kurang lurus sejajar dengan kaki, dan ledakan awal start yang kurang optimal.
”Tapi, saya siap berubah. Saya akan terus membiasakan diri dengan teknik baru yang diberikan pelatih. Sebab, saya ingin sekali tampil di Olimpiade 2020,” ujar Zohri yang dua pekan terakhir latihannya tak optimal karena harus mengikuti ujian sekolah dan ujian nasional.
Tetap yakin
Dari tiga atlet andalan Indonesia untuk ke Olimpiade 2020, Emilia mungkin yang peluangnya paling berat. Selain waktu terbaiknya masih jauh dari batas Olimpiade, peringkatnya saat ini pun masih terlampau jauh dari batas peringkat dunia yang ditentukan.
Pelatih lari gawang PB PASI Fitri ”Ongky” Haryadi mengatakan, dirinya tetap optimistis Emilia bisa mempertajam waktunya hingga 12,84 detik. Setidaknya, ia punya pengalaman membantu Emilia mempertajam kecepatannya secara dratis, yakni dari 14,21 detik pada awal 2014 menjadi 13,6 detik dalam Pekan Olahraga Mahasiswa ASEAN pada akhir 2014 di lari gawang yunior.
Pada 2015, Emilia mulai naik ke level senior. Ongky pun membantu Emilia mempertajam kecepatannya dari 13,5 detik-13,6 detik sepanjang 2015 menjadi 13,34 detik dalam PON Jawa Barat pada September 2016. Lalu, pada 2018, waktu Emilia semakin baik menjadi 13,33 detik.
Menurut Ongky, lari gawang punya kompleksitas yang cukup tinggi. Namun, kunci utama untuk meningkatkan kecepatan adalah teknik yang semakin efisien. ”Selagi atlet mau dan bisa merubah tekniknya menjadi lebih baik, dia punya potensi untuk semakin cepat. Dan, Emilia adalah sosok atlet yang mau belajar dan cepat beradaptasi ketika diberi ilmu-ilmu baru. Untuk itu, saya yakin Emilia bisa tembus 12,84 detik,” ujarnya.