Permainan Bahasa
Judul: Xenoglosofilia: Kenapa Harus Nginggris?
Penulis: Ivan Lanin
Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Cetakan: I, 2018
Tebal: xvii + 214 halaman
ISBN: 978-602-412-0
Wow! Begitukah bahasa (Indonesia) jika dimainkan sebagai bahan menyentil sana-sini, memberi jalan remang-remang atau memantik inspirasi? Bahasa sebagai medan permainan jadinya lebih mustahak daripada bersikap sok tahu dan memandang fenomena bahasa lewat kacamata kuda.
Ivan Lanin, wikipediawan, coba menempatkan diri sebagai pemain bahasa. Buku yang isinya diambil dari berbagai tulisan di jejaring sosial, seperti blog, Facebook, dan Twitter, ini, selain tampil dengan model milenial, juga mengesankan out of the box.
Ia tak terganggu pakem para linguis, bergaya say hello, tetapi tetap bertahan pada logika berbahasa. Boleh jadi lantaran latar belakang bidang keilmuannya kimia dan teknologi; atau mungkin juga ia sengaja hendak menegaskan bahwa siapa pun punya hak berkomentar tentang bahasa yang sudah melekat dalam kehidupannya sehari-hari.
Posisi Lanin tampaknya tak hendak menjadi penonton. Juga tak sekadar sebagai praktisi. Ia cenderung berperan selaku pemain bahasa. Maka, ia leluasa menangkap, menjawab, atau menanya apa pun tentang gejala bahasa.
Hasilnya adalah serangkaian permainan. Kadang kala inspiratif, lucu, naif, agak serius, dan coba menukik. Segalanya cair, suka-suka, terkesan nyantai, tetapi juga logis. Ia coba menguak etimologi dan bersandar pada aturan, bagaimana banjir serapan kosakata bahasa asing mesti diperlakukan.
Bukan ilmu pasti
Sebuah permainan yang lincah, meski tidak jarang—terpaksa—menyeruduk pakem. Filosofinya sederhana: ”Bahasa itu bukan ilmu pasti yang kaku, meskipun tetap memiliki pola dan aturan yang umum” (hlm xvi).
Nah, itu salah satu kuncinya: bahasa yang hidup dan tumbuh di masyarakat permainannya lebih berbagai lagi. Tidak perlu kita jadi polisi bahasa. Cukuplah menyajikan rambu-rambunya, meski dalam situasi tertentu memaksa kita melakukan penerabasan.
Sejumlah contoh menegaskan bahwa sumbangan terbesar penciptaan kata atau ungkapan tak lain justru datang dari para praktisi bahasa. Merekalah yang menghidupkan bahasa menjadi lebih hidup: punya sayap, penuh warna, meski banyak juga yang nyeleneh.
Keseluruhan buku ini memuat 103 tulisan, bisa berupa esai, artikel pendek, atau sebuah alinea yang menjelaskan kata atau ungkapan tertentu. Maka, yang kita hadapi adalah setumpuk tulisan dengan berbagai model penyampaian: menerangkan kata tertentu, menjawab pertanyaan, meluruskan kesalahkaprahan, atau sekadar pengingat agar kita tidak abai pada pedoman ejaan, pembentukan istilah, dan rajin membuka kamus.
Syukur-syukur jika rela berjuang melacak jejak asal-usul kata itu (etimologi) berikut perkembangan maknanya yang meluas dan menyempit. Jadi, dalam beberapa obyek bahasan, ia menggelitik rasa keingintahuan kita. Setidak-tidaknya, kita dapat menikmati buku ini dengan riang gembira, tanpa harus berkerut kening.
Xenoglosofilia
Dari sejumlah tulisan itu, Ivan Lanin membaginya ke dalam tiga bagian yang diberi tajuk: Xenoglosofilia, Tanja (Tanya-Jawab), dan Mana Bentuk yang Tepat.
Dengan cara begitu, kita dapat memanfaatkan buku ini mulai dari mana saja, sesuai kepentingan. Di situlah materi buku ini seperti hendak menjawab kebutuhan para praktisi bahasa, terlebih guru-guru (bahasa Indonesia), yang kerap dibingungkan perkara salah-benar saat hendak menulis kata tertentu.
Sampai di situ, terutama pada bagian Tanja, informasi yang disampaikan dapat menjawab pertanyaan. Tetapi, tidak sedikit pula yang menggantung karena uraiannya terlalu ringkas.
Dalam hal ini diperlukan penjelasan cukup lungkap—luas dan lengkap—agar tidak terjadi kesalahpahaman. Sebutlah kata ”minggu” dan ”pekan” (hlm 135) dan ”Ahad” dan ”Minggu” (hlm 203). Ketidaklungkapan itu dapat menimbulkan salah paham tentang kata ”Minggu” dan ”pekan” sebagai bermakna pasar dan satuan hari.
Van Ronkel (1946) menyebut ”pekan” sebagai pasar (markt; marktplein). Kata ”pasar” berasal dari bahasa Parsi untuk merujuk pada tempat masyarakat melakukan jual-beli. Jika ada tambahan makna sebagai satuan hari, boleh jadi perkaitannya dengan waktu dibukanya pasar itu.
Nama-nama Pasar Senen dan Pasar Minggu (Jakarta), atau Pasar Legi dan Pasar Kliwon (Jawa), dan seterusnya memiliki asal-usul dari sana, yang lalu membentuk makna sendiri sebagai satuan hari. Sementara kata ”Minggu” diambil dari bahasa Portugis, ”Domingo”, berasal dari bahasa Latin yang bermakna Hari Tuhan. Koran-koran awal pertengahan tahun 1850-an yang berbahasa Melayu dan menggunakan huruf Latin memperkenalkannya sebagai ”Dominggo”. Belakangan, do-nya hilang. Muncullah kata ”Minggo”.
Persoalan yang sama terjadi pada pembicaraan tentang kata-kata tertentu yang disinggung sepintas. Ungkapan ”benang merah” atau ”in de hoi” dan beberapa ungkapan atau kata yang lain tak cukup sekadar disebutkan maknanya. Perlu ada penjelasan serba sedikit latar historisnya, sebagaimana yang dilakukan pada bagian Xenoglosofilia.
Rubrik Reka Bahasa di majalah Mutiara yang diasuh Ayatrohaedi—kemudian diterbitkan dalam dua jilid, Cerdas-Tangkas Berbahasa (1995), merupakan contoh yang baik bagaimana sebuah kata dijelaskan sejarah, konteks pemakaian, dan perkembangan maknanya.
Bagaimanapun, sebagai pemain bahasa, Ivan Lanin patutlah mendapat apresiasi. Dikatakan Nur Adji dalam kata pengantarnya, ”Jangan berharap pula paparan penulis sama dengan paparan ahli bahasa…” (hlm xiii).
Ya! Justru itulah, buku ini menjadi penting, sebab Lanin menerokanya dengan cara pandang sebagai pemain bahasa. Dapat dipahami jika di sana-sini penyajiannya agak tak lazim, seperti juga terjadi pada judul Xenoglosofilia dan pertanyaan retoris ”Kenapa harus nginggris? ”yang ternyata sekadar pemantik belaka.
Model buku begini sebenarnya menegaskan bahwa bahasa yang hidup di tengah masyarakat tidak selalu berjalan paralel seperti yang dipikirkan ahli bahasa. Begitulah!
MAMAN S MAHAYANA Pengajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia