Jelang pemungutan suara 17 April 2019, politik uang diduga semakin masif. Perlu kerja sama dan langkah tegas untuk mengatasinya.
JAKARTA, KOMPAS Politik uang jelang pemungutan suara 17 April mendatang diprediksi semakin masif. Oleh karena itu, Badan Pengawas Pemilu, Sentra Penegakan Hukum Terpadu, dan Komisi Pemberantasan Korupsi diharapkan dapat bertindak aktif dan tegas menangani dugaan politik uang yang mungkin terjadi. Kerja sama ini diharapkan dapat lebih konkret dan maksimal.
Maraknya dugaan politik uang terungkap dengan semakin banyaknya laporan ke Bawaslu. Kemarin, Manajer Pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat Alwan Ola Riantoby menyampaikan hasil temuan sementara dugaan politik uang di sebagian wilayah Sulawesi Barat (Sulbar) dan Sumatera Utara (Sumut) ke Bawaslu.
Alwan mengatakan, potensi praktik politik uang untuk pemilihan anggota legislatif cukup tinggi. Salah satu modusnya, misalnya, di salah satu daerah pemilihan di Sumut dibagikan kambing untuk para petani. ”Dananya diduga berasal dari anggaran negara yang digunakan saat reses,” ujar Alwan, Jumat (5/4/2019), di Jakarta.
Temuan lain di Sulbar. Di sejumlah wilayah kabupaten di provinsi tersebut ada pendataan warga yang untuk setiap suara dihargai uang Rp 100.000 hingga Rp 500.000. ”Meski belum ada temuan, indikasi praktik politik uang relatif berpotensi terjadi,” kata Alwan.
Dugaan praktik jual beli suara Pemilu 2019 juga dilaporkan calon anggota legislatif DPR dari Partai Gerindra, Basri Kinas Mappaseng. Dugaan praktik ”racun demokrasi” itu dilaporkan terjadi di Malaysia. Basri yang daerah pemilihannya di DKI II—meliputi Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan Luar Negeri—pernah ditawari oleh lima orang Indonesia di Malaysia.
Kepada Basri, para perantara mengaku bisa memberikan suara antara 20.000-50.000 suara. Harga yang ditawarkan mulai dari 15 ringgit hingga 25 ringgit Malaysia. Basri juga dipersilakan melakukan negosiasi.
Penawaran yang datang kepadanya sangat rapi dan terorganisasi. Terkait laporannya, Basri mengaku bukan untuk menuduh perantara tersebut, melainkan agar praktik itu dibuka dan ditindaklanjuti agar terwujud pemilu jujur dan adil.
Menanggapi maraknya politik uang, anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar, menyatakan, dugaan politik uang sekarang ini dalam konteks larangan membagikan alat peraga kampanye, yang harus dibatasi jenis-jenisnya.
”Masih ada beberapa caleg yang masih membagikan uang atau voucher. Pembagian sembako yang tak ada inisial dari siapa yang membagikan. Nah, itu (laporan) yang kini banyak masuk,” kata Fritz.
Kasus-kasus tersebut sejauh ini ditangani Sentra Gakkumdu yang terdiri Bawaslu, Polri, dan Kejaksaan. Sebagian lainnya dibawa ke proses pengadilan. ”Namun, proses pembuktian di Sentra Gakkumdu,” ujarnya.
Terkait politik uang, Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, keaktifan dari Bawaslu dan Sentra Gakkumdu menjadi penting. ”KPK tak dapat menangani yang bukan penyelenggara negara karena wewenangnya terbatas. Kami mendapat banyak laporan, tetapi tidak semua bisa ditindaklanjuti,” ujar Agus. (INK/IAN)