Menteri Kesehatan Nila Moeloek meminta para peneliti penyakit tuberkulosis agar terus mengembangkan metode pengobatan penyakit ini. Riset diperlukan untuk mengakselerasi penanganan penyakit yang menepati peringkat ke-10 penyebab kematian tertinggi di dunia.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Menteri Kesehatan Nila Moeloek meminta para peneliti penyakit tuberkulosis agar terus mengembangkan metode pengobatan penyakit ini. Riset diperlukan untuk mengakselerasi penanganan penyakit yang menempati peringkat ke-10 penyebab kematian tertinggi di dunia.
Nila mengungkapkan, penanganan penyakit tuberkulosis (TB) tidak bisa dilakukan secara parsial. Perlu kerja sama antarpihak agar bisa mengeliminasi TB dan menjangkau seluruh masyarakat untuk pencegahan dan pengobatan penyakit ini.
”Peneliti amat berperan dalam melakukan riset terkait dengan perkembangan pengobatan TB,” ujar Nila saat Simposium Indonesian Tuberculosis International Meeting 2019 bertema ”A Joined Force to Bring TB Down” di Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (6/4/2019).
Peneliti amat berperan dalam melakukan riset terkait dengan perkembangan pengobatan TB.
TB merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini umumnya menyerang paru-paru, tetapi bisa juga menginfeksi bagian tubuh lain, seperti kelenjar getah bening, selaput otak, usus, kulit, tulang, saluran kemih, saluran reproduksi, mata, dan tenggorokan.
Penyakit TB menular melalui udara. Kuman TB yang keluar melalui percikan bersin orang terinfeksi TB bisa terhirup tidak sengaja oleh orang-orang di sekitarnya. Dalam setahun, satu pasien TB bisa menularkan penyakitnya kepada 10-15 orang lain.
Ketuntasan TB juga menjadi tugas peneliti, apakah imunisasi BCG yang diterima saat kecil sudah efektif?
Di dunia, TB merupakan 1 dari 10 penyakit yang banyak diderita. Setiap tahun 1 juta orang terkena penyakit ini. Menurut Laporan Global TB 2018, sebanyak 10 juta orang diperkirakan terkena TB pada 2017.
Sementara di Indonesia, pada 2017 diperkirakan 842.000 kasus baru TB, 39 persen belum dilaporkan dan dilayani fasilitas kesehatan. Sekitar 3.042 kasus di antaranya merupakan TB resisten obat. Adapun tingkat keberhasilan pengobatan sekitar 86 persen. Hal itu menempatkan Indonesia di posisi ketiga negara penyumbang kasus TB terbesar di dunia setelah India dan China.
”Ketuntasan TB juga menjadi tugas peneliti, apakah imunisasi BCG yang diterima saat kecil sudah efektif?” tanya Nila.
Keberadaan Indonesia di posisi ketiga penderita TB amat ironis. Kuman TB sebenarnya bisa mati oleh cahaya matahari. Namun, justru di Indonesia yang merupakan negara tropis berlimpah sinar matahari, TB menjadi soal kesehatan masyarakat mengkhawatirkan.
Jika sudah tertular penyakit ini, pasien harus menjalani pengobatan dalam jangka waktu cukup lama. Untuk pasien TB biasa, pengobatan dilakukan dengan minum obat belasan butir per hari selama enam hingga delapan bulan, ditambah harus disuntik tiap hari selama beberapa bulan awal. Sementara pasien TB resisten obat, pengobatan tersebut bisa mencapai 20 bulan.
Dokter spesialis dan konsultan paru dari Universitas Airlangga, Sudarsono, mengatakan, saat ini para peneliti sedang mengembangkan pengobatan TB resisten obat. Jika sebelumnya pasien harus minum obat dan disuntik dalam jangka waktu hingga 20 bulan, kini bisa dipersingkat menjadi 9 hingga 11 bulan.
Selain itu, pengobatan suntik dikembangkan untuk bisa dilakukan dengan minum obat. ”Beberapa kasus berhenti berobat terjadi karena tidak tahan disuntik setiap hari. Kami sedang melakukan penelitian agar pengobatan suntik bisa diganti oral,” ucapnya.
Selain itu, pasien yang tidak tuntas berobat biasanya karena mereka tidak tahan dengan efek samping, seperti gatal, mual, muntah, dan gangguan pendengaran. Jika waktu berobat bisa dipangkas, diharapkan tingkat kesembuhan ikut meningkat.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) Soetojo mengungkapkan, saat ini sudah banyak dilakukan penelitian terkait dengan TB. Apalagi Unair memiliki Institute of Tropical Disease (ITD) yang menjalin kerja sama dengan peneliti dari Jepang.
”Memang, masih banyak penyakit TB yang belum diatasi, bukan masalah penyakitnya saja, tetapi kesadaran penderitanya,” imbuhnya.