Selama bertahun-tahun, pengendali utama media sosial adalah algoritma. Perusahaan media sosial tampak lepas tangan atas apa pun yang diunggah pengguna platformnya. Contohnya, video ajakan unjuk rasa, membuang sampah ke toilet, serta penembakan di Christchurch, Selandia Baru, bebas beredar dan diakses. Tak ada aturan hukum yang menjangkau unggahan-unggahan itu. Media sosial seperti ranah anarki, tanpa hukum dan otoritas.
Belakangan, sejumlah negara berusaha membuat dasar hukum. Upaya terbaru datang dari Australia. Dalam undang-undang yang disahkan Kamis (4/4/2019), diatur denda hingga 10 persen pendapatan global bagi perusahaan media sosial yang gagal bertindak cepat menghapus unggahan mengandung materi kekerasan di platform mereka. Pejabat di perusahaan itu bisa dipenjara hingga 10 tahun.
Selain Australia, Parlemen Singapura sedang membahas RUU Antihoaks. Rancangan itu mewajibkan perusahaan media sosial melaporkan kepada pemerintah jika ada hoaks di platform mereka. Pengelola juga diwajibkan menghapus komentar yang bertentangan dengan kepentingan umum. Dalam RUU itu diatur denda 1 juta dollar Singapura (Rp 10,4 miliar) dan penjara hingga 10 tahun bagi pelanggarnya.
Rusia, yang dituding sejumlah kalangan sebagai penghasil dan penyebar hoaks, juga menyiapkan denda 400.000 rubel (Rp 86,4 juta) bagi penyebar hoaks di dunia maya. UU itu disahkan Presiden Rusia Vladimir Putin pada Maret 2019.
Anak terlindungi
Perancis membuat UU Antihoaks pada 2018. UU itu dibuat setelah ada dugaan banjir hoaks dari Rusia. Inggris sedang menyiapkan RUU pengaturan media sosial dan internet yang mewajibkan pengelola media sosial memastikan anak dan orang muda terlindungi selama memakai layanan mereka.
Jerman pun mempunyai aturan soal media sosial. Melalui Network Enforcement Act atau NetzDG yang diundangkan pada Juni 2017, unggahan yang mengandung materi ilegal wajib dihapus maksimal 24 jam sejak diunggah. Denda hingga 50 juta euro (Rp 793 miliar) menanti pelanggarnya.
Di Tanah Air, menjelang pemilu, Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat penyebaran berita bohong menjadi ancaman pada demokrasi. Berita bohong ”Server KPU di-setting untuk memenangkan kubu tertentu” telah dibagikan oleh lebih dari 45.000 akun media sosial dan dilihat 974.000 akun hanya dalam satu hari melalui Facebook, Twitter, dan Instagram. Jumlah tersebut belum termasuk penyebaran di grup Whatsapp yang diduga angkanya bisa jauh lebih besar.
Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho mengatakan, berita bohong itu berusaha mendelegitimasi penyelenggaraan pemilu dan bisa berdampak fatal bagi masa depan demokrasi Indonesia.
Sejauh ini belum ada aturan khusus untuk melawan hoaks di Indonesia. Selain mengacu pada media arus utama, warga juga dapat mengandalkan berbagai inovasi antiberita bohong karya Indonesia, seperti WhatsApp Hoax Buster melalui nomor Whatsapp 0855-7467-6701, menggunakan aplikasi Hoax Buster Tools di Android, atau melalui sejumlah situs, seperti cekfakta.com, turnbackhoax.id, dan stophoax.id. (AFP/REUTERS/ELD/RAZ/PDS)