Gema dari Sarajevo
Hingga saat ini, Sarajevo, ibu kota Bosnia-Herzegovina, masih saja kerap dikaitkan dengan perang. Ia bisa jadi masih menyimpan guratan sisa-sisa perang antar-etnis yang terjadi awal tahun 1990-an. Namun, di antara sisa kegetiran itu, di Sarajevo kita bisa mencecap keindahan yang agung.
Setelah konflik yang melanda negara multietnis dan multireligi itu berakhir, perlahan tetapi pasti, Sarajevo menjelma menjadi destinasi wisata di Eropa yang patut diperhitungkan. Saya mengunjungi Sarajevo dan lima kota lainnya akhir Februari lalu atas undangan Kedutaan Besar Bosnia-Herzegovina di Indonesia dan Qatar Airways. Identiknya Sarajevo dengan perang terbukti dari celetukan spontan orang ketika tahu rencana pelesir ini. ”Mau ikut perang?”
Anggapan yang tetap mengaitkan negeri itu dengan perang sudah seperti menjadi makanan sehari-hari bagi penduduk Sarajevo, setidaknya yang sempat berbincang dengan saya. Tentu tragedi yang menghantui mereka pada 1992-1995 itu tetap dikenang sebagai pelajaran hidup paling berharga. Mereka kini ingin menggemakan kepada dunia bahwa Sarajevo membuka pintu lebar-lebar menyambut wisatawan.
”Dunia harus tahu Sarajevo punya destinasi wisata yang menarik!” ujar Nedim, salah satu warga Bosnia-Herzegovina yang mendampingi rombongan wartawan dan penulis.
Kota berpenduduk setidaknya sekitar 440.000 orang itu memang begitu menawan karena dikelilingi bukit-bukit yang menjulang. Gedung-gedung peninggalan dari berbagai era pendudukan, di antaranya era Ottoman dari Turki serta Austria-Hongaria, yang masih dilestarikan menghiasi seluruh penjuru kota.
Baščaršija
Kami memulai hari di ibu kota itu dengan menyusuri Baščaršija, pasar utama yang terletak di kawasan kota tua Sarajevo. Kawasan yang dibangun pada masa pendudukan Ottoman itu menjadi pusat perdagangan dan titik temu semenjak pengembara berkaravan dari beberapa negara Asia dan Eropa menawarkan dagangan mereka di sana pada abad ke-15. Sarajevo pun kemudian dikenal sebagai kota di mana kultur Timur bertemu dengan Barat.
Pagi jelang siang itu, Sarajevo tengah diterpa suhu rendah di bawah 10 derajat celsius. Namun, Baščaršija tengah padat-padatnya oleh orang-orang yang menelusuri jalan-jalan sempit. Setiap sisinya dipenuhi deretan toko suvenir, restoran tradisional, dan kafe. Teriakan pedagang menyeruak tak henti-henti menarik pembeli.
”Transaksi di Baščaršija bisa menggunakan mata uang lokal (KM) atau euro,” tutur Nerma Milak, salah satu pedagang di sana.
Jelang waktu makan siang, semerbak daging domba yang dipanggang di berbagai restoran tradisional menggoda indra pencium. Sebagian pengunjung pun takluk dan berbelok mengisi meja yang kosong demi menyantap cevapi, daging berbentuk sosis yang digulung dengan roti pita, lengkap dengan bawang dan yogurt.
Baščaršija, kawasan kota tua itu, menjadi simbol hidup bertoleransi. Di area itu terdapat Masjid Gazi Husrev-beg, Katedral Sacred Heart, dan Sinagoge Ashkenazi yang hanya terpisah sekitar 300 meter. Menurut cerita penduduk setempat, bunyi azan dari masjid dan bunyi lonceng gereja yang bergema secara bersamaan merupakan bukti kerukunan antar-umat beragama di Sarajevo.
Buku jadi target
Kami berpindah tempat dengan berjalan kaki menuju Balai Kota Sarajevo yang terletak di persimpangan tiga jalan utama, yang hanya sekitar 400 meter arah timur dari Baščaršija. Dari kejauhan, gedung berbentuk segitiga tersebut tampak kokoh dan megah. Namun, siapa sangka, Balai Kota Sarajevo pernah menjadi korban kekejian di masa lalu.
Gedung yang dibangun antara tahun 1892-1894 itu sebelumnya digunakan untuk menunjang berbagai kebutuhan administrasi pemerintah kota, mulai dari pengadilan kota, gedung parlemen, hingga kemudian beralih fungsi menjadi Perpustakaan Nasional dan Universitas Bosnia-Herzegovina pada 1948.
Sayangnya, pada 25-26 Agustus 1992, gedung itu dihantam artileri berat dan bom yang dilancarkan pasukan Serbia dari bukit-bukit dengan tujuan memusnahkan cagar budaya. Bagian aula dibakar hingga memorak-porandakan elemen struktural dan dekoratif bangunan itu.
”Target utamanya bukanlah gedungnya, melainkan buku-buku. Selama dua malam itu, lebih dari 2 juta buku dibinasakan,” ujar Ensar Eminovic, Penasihat Wali Kota Sarajevo.
Namun, gedung yang juga dikenal dengan sebutan Vijećnica itu menolak runtuh. Dengan bantuan berbagai pihak seperti Pemerintah Austria dan Komisi Eropa, pemulihan gedung itu berlangsung sejak 1996 hingga akhirnya kembali dibuka 9 Mei 2014. Pemulihan selesai tepat pada waktunya untuk memperingati 100 tahun Perang Dunia I.
Kini, gedung tersebut difungsikan sebagai Balai Kota, Perpustakaan Nasional, dan Universitas Bosnia-Herzegovina, serta museum.
Kereta gantung Trebević
Perjalanan dilanjutkan menuju stasiun kereta gantung yang berlokasi sekitar 450 meter arah selatan dari Balai Kota Sarajevo. Kereta gantung menuju gunung Trebević ini layak disebut sebagai simbol kebangkitan Sarajevo yang teranyar.
Kereta gantung tersebut baru kembali beroperasi pada April 2018 setelah 26 tahun terhenti karena meletusnya perang. Kini, sebanyak 33 gondola yang masing-masing dapat mengangkut sepuluh orang telah siap beroperasi mulai pukul 09.00-18.00.
Rombongan kami pun menjajal kereta gantung itu. Dengan kecepatan 15 kilometer per jam, kami mengarungi perjalanan sepanjang 2.100 meter ke Gunung Trebević.
Keindahan panorama Sarajevo dari ketinggian menjadi atraksi utama selama 7 menit kami berada di gondola. Setibanya di puncak Trebević, pengunjung dapat berjalan-jalan hingga ke situs wisata Brus atau Prvi Šumar.
Untuk satu kali jalan, wisatawan mancanegara perlu merogoh kocek KM 15 (sekitar Rp 122.000) saat berangkat dan KM 20 (sekitar Rp 163.000) untuk mengantongi tiket pulang.
Masjid Istiklal
Waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 saat kami tiba di destinasi terakhir, Masjid Istiklal yang terletak di bagian barat ibu kota. Dari kawasan Baščaršija, kami harus menempuh perjalanan sekitar 7 kilometer selama 15 menit menggunakan mobil.
Masjid Istiklal yang megah dengan kubah berkaca patri itu bisa dibilang unik dibandingkan masjid pada umumnya di Bosnia-Herzegovina. Masjid Istiklal atau yang disebut Džamija Istiklal dalam bahasa setempat memiliki dua menara kembar setinggi 48 meter. Sementara kebanyakan masjid di sana dibangun dengan menara tunggal, mengikuti gaya arsitek di era pendudukan Ottoman.
Imam Masjid Istiklal, Ahmet Skopljak, menjelaskan, dua menara kembar pada Masjid Istiklal adalah lambang persahabatan erat Indonesia dan Bosnia-Herzegovina. ”Satu menara menyimbolkan Bosnia, satunya Indonesia,” ujarnya.
Pembangunan Masjid Istiklal diprakarsai Presiden Soeharto pada kunjungannya ke Sarajevo tahun 1995. Peletakan batu pertama masjid tersebut dilakukan pada 22 September 1997 dan kemudian diresmikan pada 2001 pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Kini, 18 tahun setelah diresmikan, komunitas Muslim di Sarajevo aktif menyelenggarakan berbagai aktivitas di lingkungan masjid itu, seperti kelas bahasa Arab, membaca Al Quran, serta kegiatan olahraga.
Masih banyak keping-keping keindahan lain di Sarajevo. Harapannya, mereka bisa semakin sering menyapa wisatawan mancanegara dengan ucapan, ”Dobro došli u Sarajevo!”, yang artinya: Selamat datang di Sarajevo!