Mendadak Shazam!
Di antara jajaran superhero yang akhir-akhir ini memadati layar lebar, karakter yang diangkat dari komik keluaran tahun 1940 ini justru menawarkan kesegaran. ”Shazam!” membuktikan, kekuatan ceritalah yang mengikat emosi, bukan tampilan yang sekadar cakep untuk diabadikan sebagai ”merchandise” pajangan.
Sejak mencetak sukses lewat trilogi Batman garapan Christopher Nolan (2005, 2008, dan 2012), kiprah film-film adaptasi DC Comics sempat meredup. Sementara Marvel Comics—pesaing DC—terus mengukuhkan ekspansi di layar lebar.
Garapan Nolan pada trilogi Batman meninggalkan warisan legendaris bagi DC: superhero juga manusia yang punya pergulatan batin, luka, bahkan sisi gelap.
Superhero pun menjadi konsumsi kisah yang semakin dewasa, bukan melulu memuaskan fantasi dan menerbitkan kegembiraan bocah. Muatan dewasa ini terus dipertahankan pada produksi DC berikutnya, seperti Suicide Squad (2016) dan Batman vs Superman: Dawn of Justice (2016).
Konten bermuatan dewasa itu di sisi lain juga mengurangi kegembiraan yang bisa ditawarkan pada aksi para superhero. Antusiasme pasar terhadap konten ini antara lain tecermin pada hasil penjualan film.
Pendapatan DC dari hasil penjualan film-film itu belum menyaingi perolehan Marvel dari sekuel Captain America dan The Avengers misalnya. Film Wonder Woman (2017) dan Aquaman (2018) memberikan harapan baru bagi DC. Namun, belum mengubah lanskap permainan superhero yang sejatinya adalah bisnis raksasa perfilman ini.
Sebagai gambaran, berdasarkan data boxofficemojo.com, total pendapatan kotor dari film Aquaman hingga Maret 2019 senilai 335 juta dollar AS, sedangkan perolehan dari Avengers: Infinity War hingga Desember 2018 sudah mencapai 678,8 juta dollar AS.
Pekan ini, DC Comics bekerja sama dengan Warner Bros menyuguhkan Shazam! Berbeda dengan kebanyakan film-film adaptasi DC Comics sebelumnya, Shazam! dipercayakan kepada sutradara dan penulis skenario yang masih terbilang ”baru” di semesta industri superhero.
Sutradara Shazam!, David F Sandberg, sebelumnya lebih dikenal pada genre horor lewat film Lights Out (2016) dan Annabelle: Creation (2017). Skenario Shazam! ditulis oleh Henry Gayden. Selain Earth to Echo (2014), Gayden lebih banyak menulis naskah film pendek dan serial pendek untuk televisi. Namun, baik Sandberg maupun Gayden menunjukkan kepiawaian mereka melalui Shazam!
Dilema remaja
Shazam! berkisah tentang Billy Batson (diperankan Asher Angel), remaja berusia 14 tahun yang berpindah-pindah rumah asuh dan terlibat banyak masalah. Obsesi Billy hanyalah menemukan kembali ibu kandungnya.
Keluarga angkat Billy yang terakhir adalah pasangan Victor dan Rosa. Selain Billy, pasangan ini juga memiliki lima anak angkat lain dengan beragam keunikan karakter, bahkan warna kulit.
Billy belum merasa yakin dan nyaman menjadi bagian dari keluarga itu ketika sebuah kejadian mempertemukannya dengan seorang penyihir. Si penyihir mewariskan kepadanya kekuatan para dewa—Solomon, Hercules, Atlas, Zeus, Achilles, dan Mercury. Kekuatan itu membuat Billy dalam sekejap bisa beralih wujud menjadi Shazam, si superhero.
Shazam alias Billy dalam tubuh pria dewasa yang amat berotot, berkostum ajaib, lengkap dengan kekuatan ajaibnya ini diperankan oleh Zachary Levi. Salah satu poin kuat film ini ada pada keberhasilan Levi mempertahankan cerminan karakter si remaja 14 tahun pada tubuh dewasa tersebut.
Bukan sekadar kepolosan dan kecanggungan Billy yang berhasil ditampilkan Levi. Ia juga sukses mengekspresikan luapan kegirangan remaja tanggung itu ketika mendapati dirinya dalam bentuk dewasa yang berkekuatan super.
Shazam alias Billy bukan satu-satunya karakter yang merebut hati penonton dalam film ini. Saudara-saudara angkat yang baru dikenal Billy, terutama Freddy (Jack Dylan Grazer), berperan penting. Freddy yang punya keterbatasan fisik ini menjadi pendamping sekaligus tutor Billy dalam mengeksplorasi kekuatan supernya.
Rangkaian tes kekuatan oleh duo Freddy dan Shazam ini direkam dan jadi sensasi di YouTube. Ya, karakter komik klasik ini memang dikemas dalam latar kekinian.
Setiap superhero tentu punya musuh berkekuatan super pula. Pada cerita ini, si tokoh antagonis adalah Dr Thaddeus Sivana (Mark Strong) dan monster-monster olahan teknologi CGI. Sayangnya, aksi para monster ini tak terlalu mengesankan.
Sisi menarik lain justru ada pada bagaimana Billy—baik dalam versi remaja maupun superhero—belajar memberanikan diri menghadapi tantangan dan menggunakan kekuatannya untuk menolong mereka yang membutuhkan. Menarik, karena reaksi pertama Billy ketika bahaya datang, adalah lari, bahkan ketika ia sudah punya kekuatan super.
Cerita keluarga
Pada kekuatan yang besar, ada tanggung jawab yang besar pula. Ujaran tenar dari sekuel Spider-Man itu dalam Shazam! tergambarkan pada dinamika relasi Billy dan saudara-saudara angkatnya.
Pada titik ini, penonton bisa merasakan bahwa film ini bukan sekadar cerita tentang superhero, melainkan juga tentang keluarga. Di situ, keterhubungan emosi dibangun. Shazam! pun menjadi suguhan kombinasi aksi superhero, komedi, sedikit sentuhan horor di beberapa bagian, sekaligus drama keluarga yang menghangatkan hati.
Shazam bukan superhero yang beraksi tunggal menyelamatkan dunia. Ia adalah juga Billy, remaja yang butuh dukungan keluarga untuk bertumbuh.
Ah, tulisan pada stiker yang ditempel di mobil Rosa, ibu angkat Billy, jadi menggelitik: I\'m a foster mom, what’s your superpower? Menjadi ibu dari enam anak angkat pun berarti punya kekuatan super lho!