“Pemilihan Umum telah memanggil kita, Seluruh rakyat menyambut gembira. Hak demokrasi Pancasila, Hikmah Indonesia Merdeka....". Pengalan lirik lagu Pemilu ini diciptakan Mochtar Embut, tahun 1970. Melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri/Ketua Lembaga Pemilu saat itu, lagi ini resmi sebagai lagu Pemilu selama beberapa periode.
Oleh
Johnny TG
·6 menit baca
Beberapa waktu belakangan ini, menjelang Pilpres 17 April 2019, kita menerima pesan lewat WhatsApp (WA) yang isinya lirik lagu Pemilihan Umum (Pemilu). Isinya begini: “Pemilihan Umum telah memanggil kita, Seluruh rakyat menyambut gembira. Hak demokrasi Pancasila, Hikmah Indonesia Merdeka. Pilihlah wakilmu yang dapat dipercaya, Pengemban Ampera yang setia. Dibawah Undang-Undang Dasar Empat Lima, Kita Menuju ke Pemilihan Umum”.
Itulah lagu karya Mochtar Embut (5 Januari 1934-20 Juli 1973) yang diciptakan tahun 1970, dan menjadi lagu resmi Pemilu yang ditetapkan lewat Keputusan Menteri Dalam Negeri/Ketua Lembaga Pemilu No. 28/LPU/1970. (Kompas, Sabtu, 11/7/1970, hlm 7). Selain menciptakan “Mars Pemilu” (1971), Mochtar juga memenangi sayembara mengarang lagu resmi “Keluarga Berencana” (1972) dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Beberapa ciptaannya yang lain adalah “Swa Bhwana Pakci” untuk AURI (1964) dan “Hari Kanak-kanak” (1972).
Jelang hari pencoblosan di Jakarta pada Pemilu 1971, beberapa tarif mendadak naik dengan istilah tarif Pemilu. Memanfaatkan orang pulang kampung untuk menggunakan hak pilihnya, tukang becak dan tukang sayur memasang harga yang naik hingga tiga kali lipat dari tarif biasa. Harga minyak tanah dari Rp 12,50 jadi Rp 20. Harga tempe dari Rp 10 menjadi Rp 20. Juga satu bungkus sayur asem dari Rp 15 menjadi Rp 25. Becak pun tidak mau kalah, untuk jarak tertentu yang biasanya Rp 15 naik hingga Rp 50.
Ketika hari coblosan tiba, Sabtu (3/7/1971) suasana ibu kota terasa lengang terutama saat jam pencoblosan. Meskipun jalan sepi, insiden kecelakaan bisa terjadi. Dua mobil yang dikendarai pemuda saling bersenggolan, hingga membentuk sudut 90 derajat di perempatan Cikini.
Namun tidak ada petugas Polantas yang mengurus, mungkin karena mereka ditugaskan menjaga Tempat Pemungutan Suara (TPS). Akhirnya persoalan senggolan tadi berakhir dengan damai diantara kedua pemuda itu. (Kompas, Senin, 5/7/1971, hlm 1).
Cerita lain, ketika petugas-petugas TPS keliling di RSUP terkejut saat dilarang masuk ruang bedah kebidanan. Sebab ruang itu memang tidak boleh dimasuki pria apapun selain dokter kebidanan. Untunglah ada bantuan dari suster-suster bidan yang mau menjadi petugas TPS “sementara” sehingga para pasien yang ada di ruang bedah bisa menyalurkan suaranya.
Sebagai kota metropolitan, Jakarta punya banyak masalah. Menghadapi Pemilu 1977 yang akan digelar pada tanggal 2 Mei, pihak Komwilko 73, Glodok, Jakarta Barat telah menyiapkan 50 ekor merpati pos untuk membantu komunikasi di 25 TPS yang umumnya sulit “dicapai”. Menurut Danwilko 73 Letkol Pol RGB Soetrisno kepada pers di Komdak Metro Jaya, Rabu (27/4/1977) pemanfaatan merpati pos ini untuk daerah yang sulit komunikasinya seperti daerah Joglo dan Kapuk.
Burung-burung merpati itu disiapkan oleh Komwilko 73 sejak Januari 1977 bekerjasama dengan perkumpulan Merpati Pos Langlang Buana, Jakarta pimpinan dr Martin. Merpati-merpati itu dilatih oleh Peltu Pol Sukirno dan diberi pangkat sesuai kecakapannya. Misalnya merpati Mawar dan Melati diberi pangkat Kopral Dua, Nona Uning Bhayangkara Satu (Bharatu). Harden Sersan satu (sertu) dan sebagainya.
Sebagai uji coba, 12 merpati dilepaskan dari Komdak Metro Jaya untuk membawa tiga berita menuju Komwilko 73 di Glodok. Dalam waktu 13 menit lewat walkie talkie diketahui ke-12 merpati tiba dengan selamat di tujuan. Dua diantaranya membawa berita dari Komdak Metro Jaya yang ditulis wartawan.
Sedangkan seekor lagi ternyata beritanya hilang dalam perjalanan. Menurut rencana, merpati pos ini akan dikirimkan ke Komsiko-komsiko (kepolisian kota saat itu) tanggal 30 April, dan tanggal 1 Mei dikirim ke 25 TPS. (Kompas, Kamis, 28 April 1977, hlm 3).
Cerita lain dari kampanye Pemilu 1977. Saat itu Menteri Kehakiman Mochtar Kusumaatmaja berkampanye di Lapangan Banteng, Jakarta. Kehadiran pelawak Benyamin S di tengah-tengah massa kampanye membuat suasana menjadi riuh.
Pidato pak menteri pun terhenti dan untuk menenangkan massa, Benyamin diminta naik ke panggung. "Dengerin dong, lu mau belajar nggak? nyang ngomong ini propesor. Jangan dengerin gue...gue mah badut!” teriak Benyamin yang justru membuat suasana tambah riuh. Tiba-tiba ia nyeletuk lagi... “eh, mana kacamata gue” sambil merogoh-rogoh kantongnya. Akhirnya Benyamin berteriak: “Kembaliin dong kacamata gue.... Lu semuanya kan Golkar. Kalau kampanye nyang jujur dong".
Gelak tawa pun semakin menjadi dan sang menteri hanya bisa geleng-geleng kepala saja.
Sudah menjadi hal lumrah pada setiap kampanye, menjual janji menjadi hal utama untuk memikat.
Seperti jelang pemungutan suara pada Pemilu tanggal 4 Mei 1982. Kali ini Kompas mencoba merekam harapan warga terutama rakyat kecil. Seorang pemilik kedai kopi “Lambuang Sari” di Pasar Bertingkat Padang, Sumatra Barat, Ali Umar Khalis (41) yang memiliki 150 pelanggan setiap hari.
Sudah menjadi hal lumrah, kedai kopi mejadi tempat ngobrol. Ada satu hal yang kerap didengar olehnya dari obrolan mereka yaitu soal pungutan liar (pungli), jika berurusan dengan kantor-kantor pemerintahan. Ali berharap hal tersebut harus dihilangkan dan hukum harus adil bagi siapapun.
Lain lagi suara dari seorang pekerja seks komersial, Siti Romelah (18) penghuni kompleks Bangunsari, Surabaya. “Kalau disekitar desaku, Ngunut di Tulungagung ada pabrik, pasti aku pulang dan kerjadi pabrik itu.
Peristiwa menggelikan terjadi saat hari pencoblosan Kamis (23/4) di Pemilu 1987. Kegairahan mencoblos sangat terasa di TPS No. 5 Kelurahan Giwangan, Yogyakarta. Diantara 439 pemili di TPS ini, nampak beberapa wanita muda dengan dandanan seronok. “Paijem, Paijem, mana Paijem..” teriak Bowo, petugas hansip berkumis lebat. Tak ada yang bergeming dalam antrean itu. Bowo kembali berteriak. “Paijem dari RK Mendungan. Paijem, mana Paijem...”
Seorang wanita muda berdandan menor berbisik ke temen disampingnya. “Itu lho, nama kamu sudah dipanggil... “ Tapi rekannya yang berdandan ala penyanyi rock Atiek CB dengan kaca mata hitamnya ini menegaskan, “Lho nama saya kan Susy?”.. Benar. Tapi nama aslimu kan Paijem waktu didaftar dulu..” Nah, maka Paijem alias Susy bangkit sambil membuang wajah ke samping. “Wah iya, itu kartu saya..” (Kompas, Jumat, 24/4/1987, hlm 1).
Pengalaman lain didapat petugas KPPS yang mendatangi RS Husada, Jakarta. Mereka harus sabar menunggu seorang pasien yang tengah buang air besar ketika dikunjungi petugas.
Rekannya yang bertugas di RSCM Jakarta, punya pengalaman yang menyedihkan. Nisan (50), penderita tumor lidah yang diawat di Paviliun VII Bagian THT, sempat menerima gambar dari petugas KPPS. Tapi sebelum mencoblos, ia keburu pingsan dan meninggal dunia setelah koma beberapa saat.
Kerugian bisa saja terjadi seperti saat Pemilu 1987. Hal ini dialami oleh pesawat Merpati pada hari pencoblosan yang terpaksa diterbangkan dari Kupang ke Ruteng (Flores) karena desakan penumpangnya, Paulus Kantor, yang ingin mencoblos di kampungnya, Bealaing, 27 km timur Ruteng. Dengan biaya sekitar Rp 3,5 juta, Merpati pun terbang selama 3 jam (pp) dengan Paulus sebagai satu-satunya penumpang.
Sedang pesawat F-28 dari Jakarta yang tiba di Kupang, hari Rabu (22/4/1987) hanya mengangkut tiga penumpang dan meninggalkan Kupang dengan lima penumpang.
Sementara itu, jadwal tiba kapal Umsini di Jayapura diajukan 12 jam akibat Pemilu. Kamis (23/4/1987) pukul 06.00 kapal sudah sandar di dermaga dari waktu seharusnya pukul 18.00. Soalnya para awak kapalnya melakukan pencoblosan di TPS khusus di terminal Pelabuhan Jayapura.
Sumber: Kompas, Sabtu, 11 Juli 1970, halaman 7, Kompas, Senin, 5 Juli 1971, halaman 1, Kompas, Selasa, 25 Juli 1972, halaman 5, Kompas, Kamis, 28 April 1977, halaman 3, Kompas, Sabtu, 14 Mei 1977, halaman 1, Kompas, Selasa, 27 April 1982, halaman 1, Kompas, Jumat, 24 April 1987, halaman 1.