Pengambilalihan Air dari Swasta Tidak Melibatkan Masyarakat
Oleh
Stefanus ato
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta menilai, upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengambil alih pengelolaan air dari pihak swasta minim transparansi dan tidak melibatkan masyarakat. Padahal, pengelolaan air merupakan persoalan publik yang penanganannya harus dilakukan bersama dengan masyarakat.
Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) terdiri atas sejumlah organisasi masyarakat sipil, antara lain Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Solidaritas Perempuan Jabotabek, dan Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air.
Direktur LBH Jakarta Arif Maulana, saat acara jumpa pers KMMSAJ, di Jakarta, Minggu (7/4/2019), mengatakan, kerja dari Tim Evaluasi Tata Kelola Air yang dibentuk oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan enam bulan lalu tidak membuka ruang partisipasi publik.
Ini setidaknya bisa terlihat dari tiga opsi yang dikeluarkan oleh tim yang berpotensi merugikan publik jika salah satu opsi diterapkan.
”Jadi masyarakat sipil ini meminta kepada Gubernur untuk dibuka sehingga bisa dilihat apa yang menjadi pertimbangan yang membuat keluarnya tiga opsi dari tim kajian tersebut,” katanya.
Opsi pertama yang dilahirkan tim, yaitu negosiasi ulang kontrak kerja sama antara Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dan PT Aertra, dikritik KMMSAJ karena opsi itu menoleransi kerugian negara dan masyarakat selama sekitar 20 tahun terakhir atau sejak swasta mengambil alih pengelolaan air tahun 1998.
Opsi kedua, pengambilalihan sebagian tata kelola air Jakarta sambil menunggu kontrak antara Pemprov DKI Jakarta dengan PT Palyja dan PT Aertra yang akan berakhir tahun 2023. Menurut KMMSAJ, air sudah saatnya diambil alih oleh negara karena itu merupakan amanah konstitusi.
Opsi ketiga, terminasi atau pembayaran uang deviden pengelolaan air, yang diatur dalam perjanjian kerja sama antara Pemprov DKI Jakarta dengan PT Palyja dan Aertra. Opsi itu tidak tepat karena perjanjian itu inkonstitusional sehingga sudah seharusnya perjanjian itu dianggap batal demi hukum.
Arif mengingatkan, ada enam prinsip dasar pengelolaan air yang termuat di putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2015 yang membatalkan Undang-Undang Sumber Daya Air. Hal itu antara lain kontrol negara mutlak dan BUMN/BUMD diprioritaskan dalam pelayanan air.
”Air merupakan barang publik yang harus sepenuhnya dikelola publik melalui negara. Kami minta Pemprov DKI Jakarta dengan tegas memutus kontrak kerja sama dengan dua perusahaan itu dan pengelolaannya diserahkan kepada Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta,” tutur Arif.
Kuasa hukum KMMSAJ, Jeanny Sirait, menuturkan, minimnya transparansi dan partisipasi publik dalam kebijakan penghentian swastanisasi air merupakan kejadian berulang yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta.
Dia mengingatkan, tahun 1997 pengelolaan air oleh Pemprov DKI Jakarta diserahkan kepada swasta juga tanpa pelibatan publik.
Minimnya transparansi dari Pemprov DKI Jakarta, lanjut Jeanny, juga terlihat dari sikap pemerintah yang menolak memberikan informasi kepada KMMSAJ terkait latar belakang lahirnya tiga opsi dari Tim Evaluasi Tata Kelola Air.
Informasi itu, menurut dia, harus diketahui publik sehingga publik bisa ikut menguji dan menilai manfaat yang diperoleh masyarakat.
KMMSAJ merupakan pihak yang menolak dan menggugat swastanisasi air sejak 2012. Koalisi itu menilai pengelolaan air oleh pihak swasta terlalu mahal dan kualitas pelayanannya buruk.
Data Pemprov DKI Jakarta menunjukkan cakupan layanan air oleh perusahaan swasta belum mencapai target yang diharapkan. Pada tahun 1998, cakupan layanan pengelolaan air bersih sebesar 44,5 persen dan pada tahun 2017 baru mencapai 54,9 persen. Adapun targetnya tahun 2023 harus mencapai 82 persen.