Potensi General Aviation Belum Dikembangkan
JAKARTA, KOMPAS
General Aviation (GA), cikal bakal penerbangan komersial, belum dikembangkan di Indonesia. Padahal, GA mempunyai potensi yang sangat besar, terutama di Indonesia yang mempunyai wilayah yang luas dan berpulau-pulau.
"Hingga saat ini, GA belum dikembangkan di Indonesia. Pemerintah hanya melihat penerbangan dari sisi niaga atau bukan niaga. Padahal, GA tidak termasuk ke dalam keduanya," kata pengamat penerbangan Ziva Narendra di sela-sela diskusi Potensi Penerbangan Non-Komersial (General Aviation) Bagi Pertumbuhan Pariwisata yang diselenggarakan Aircraft Owners and Pilot Association Indonesia di Jakarta, Jumat (5/4/2019).
Menurut Ziva, Indonesia sebenarnya sudah lama memiliki GA. Bahkan, pada tahun 1980-an, GA sangat marak di Indonesia. Namun, setelah itu, GA tidak berkembang karena banyak aturan yang membatasi.
"Kalau dulu, yang penting pesawat mempunyai registrasi dan pilotnya mempunyai lisensi. GA bisa terbang kapan saja dan di mana saja, tanpa harus meminta izin terbang, menunggu slot, dan sebagainya. Di luar negeri, GA tidak perlu slot. Hanya di Indonesia GA diatur seperti maskapai," kata Ziva.
Dengan berbagai aturan itu, GA sulit berkembang. Padahal, GA berpotensi untuk mendukung pariwisata, untuk pelayanan misi, untuk memberikan layanan kesehatan dan sosial di daerah-daerah terpencil, olah raga, serta keamanan nasional.
"GA mempunyai tanggung jawab untuk ikut menjaga keamanan daerah, pengawasan perbatasan, dan sebagainya, tanpa mengintervensi aktivitas penerbangan komersial dan militer," kata dia.
Pengamat penerbangan Gerry Soejatman menambahkan, GA juga bersifat melengkapi. Bagi sekolah penerbangan, isu banyaknya pilot yang menganggur, atau kemampuan pilot yang masih kurang, bisa dipenuhi dengan GA. GA menjadi sarana untuk meningkatkan kemampuan pilot. GA bisa menjadi penyerap bagi industri penerbangan. Jika maskapai kelebihan pilot, maka pilot-pilot itu bisa disalurkan ke GA. Sebaliknya, jika maskapai kekurangan pilot, mereka bisa mengambil pilot dari GA.
Marsdya (Pur) Eris Heryanto dari AA Flying Club menambahkan, salah satu kendala pengembangan GA adalah pajak yang sangat mahal untuk pesawat.
"Di Indonesia, pajak pesawat itu sangat tinggi karena dihitung sebagai barang mewah, yakni 67,5 persen. Padahal, harga pesawat-pesawat GA tidak mahal. Bahkan untuk pesawat bekas, harganya jauh di bawah harga mobil mewah," kata Eris.
Selain itu, posisi GA di mata undang-undang sangat sulit karena tidak ada kategorinya. UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan hanya membagi penerbangan niaga dan non niaga.
Sementara, GA bukan bukan komersial, tetapi berbagi biaya. "Pilot atau pemilik pesawat senang terbang, membawa penumpang yang mempunyai kebutuhan untuk terbang. Apabila penumpang itu memberikan uang sebagai pengganti avtur, tentu itu tidak bisa dikategorikan sebagai niaga karena tidak ada profit di situ. Namun, jika ingin dikatakan non niaga, harus mengurus izin Aircraft Operator Certificate (AOC) 135, yang pengurusannya juga tidak mudah dan murah," kata Eris.
Untuk bisa memperjuangkan eksistensi GA, Eris menilai perlu wadah asosiasi untuk menyatukan ide dan wawasan bersama seluruh pemangku kepentingan.
Sementara Kasubdit Pembinaan Pengusahaan dan Tarif Angkutan Udara Ditjen Perhubungan Udara Anung Bayumurti mengatakan, Kementerian Perhubungan sedang mempersiapkan revisi KM 25 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara. "Apabila dilakukan pembayaran tentu bisa dikategorikan sebagai angkutan niaga. Sementara kalau dipakai untuk kepentingan sendiri, masuk ke non niaga, dan dengan AOC 135. Sekarang ada perkembangan, GA ingin dihidupkan untuk kepentingan pariwisata. Tentu harus dibahas dulu, bagaimana kondisi ini akan diperlakukan sehingga tidak bertentangan. Saat ini kita sedang mengumpulkan masukan dari semua untuk bahan revisi," kata Anung.
(ARN)