Ruang untuk Habitat Mangrove di Teluk Palu Masih Ada
Oleh
Videlis Jemali
·3 menit baca
PALU, KOMPAS — Ruang pasang surut untuk habitat mangrove di Teluk Palu, Kota Palu, Sulawesi Tengah, masih ada pascatsunami enam bulan lalu. Areal itu akan ditanami mangrove untuk menguji klaim pemerintah yang mengesampingkannya dengan pembangunan tanggul untuk mitigasi kawasan pesisir.
Titik pasang surut itu terdapat di areal dekat tambak garam Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu. Areal ini sepanjang 150 meter dengan surut air laut 15-20 meter dari garis pantai.
Sisi utara titik pasang surut dipenuhi batu dengan tetap ada pasir halus berwarna coklat. Di bagian itu pernah tumbuh satu pohon bakau yang cukup rindang.
Bakau itu tersisa batangnya saja setinggi 1 meter akibat hantaman tsunami pada 28 September 2018. Sisi utaranya yang dekat dengan bekas areal reklamasi hampir tak berbatu dengan dominasi pasir halus berwarna kehitaman.
Titik pasang surut lainnya berada di sisi timur muara Sungai Palu. Sebelum tsunami, bagian itu ditumbuhi mangrove. Namun, semuanya terpotong karena terjangan tsunami lalu.
Ismail, anggota Mangrover, komunitas relawan mangrove Teluk Palu, menyampaikan, pihaknya akan menanam mangrove sekitar 500 anakan bertepatan dengan Hari Bumi pada 22 April. Salah satu lokasi yang akan ditanami areal pasang-surut di tambak garam Kelurahan Talise.
”Kami ingin menguji apa yang disampaikan pemerintah sekaligus menegaskan harus ada ruang untuk vegetasi alami di Teluk Palu untuk penanaman mangrove,” kata Ismail di Palu, Minggu (7/4/2019).
Dalam rencana rekonstruksi pascagempa Sulteng, tanggul laut bakal dibangun sepanjang 7 kilometer di pesisir Teluk Palu, yang terbentang dari Kelurahan Silae hingga Kelurahan Talise. Tinggi tanggul 1,5 -3 meter. Tanggul tersebut dibangun dari batu. Tanggul direncanakan mulai dibangun tahun 2019 ini.
Areal di belakang tanggul nantinya ditanami pepohonan sebagai ruang terbuka hijau. Infrastruktur itu dikombinasi dengan jalan raya untuk logistik dan wisata teluk. Lebar jalan sekitar 7 meter dengan konstruksi agak tinggi yang juga berfungsi semacam ”tanggul” kedua untuk meredam energi tsunami jika suatu saat petaka itu terjadi.
Pada tsunami 28 September 2018, wilayah pesisir Teluk Palu luluh lantak. Jangkauan tsunami ke darat dari 50-200 meter. Mengacu pada kejadian itu, titik terjauh jangkauan tsunami ditetapkan sebagai zona terlarang untuk pembangunan rumah ataupun kegiatan ekonomi. Saat ini, begitu terjadi pasang, air laut menjangkau darat hingga 100 meter. Akibat gempa dan tsunami, pantai teluk menjadi curam.
Kepala Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Sulteng Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Arie Setiadi Moerwanto menyatakan, kondisi pesisir Teluk Palu tak memungkinkan untuk mangrove tumbuh pascatsunami. Karena tsunami, pinggir pantai teluk langsung curam. Tak ada ruang untuk pasang-surut dengan kandungan lumpur yang menjadi tempat bertumbuhnya mangrove.
”Tsunami tetap akan melampau tanggul dan jalan yang dibangun, tetapi energinya bisa diredam,” katanya (Kompas, Jumat, 5/4/2019).
Ismail mengingatkan, tanggul laut dan infrastruktur buatan dalam jangka panjang akan melemah kekuatannya. Hal itu berbeda dengan vegetasi mangrove yang dalam jangka panjang malah makin lebat dan rimbun. Kondisi itu harus dipertimbangkan dalam konteks mitigasi dari tsunami.
Anggota Komunitas Historia Sulteng, Jufrianto, menyatakan, berdasarkan dokumen Pemerintah Belanda, Teluk Palu dulunya habitat mangrove. Tak hanya bakau, pesisir Teluk Palu juga ditumbuhi hutan pantai lain, seperti ketapang dan kelapa.
Nama Kelurahan Talise merujuk pada habitat vegetasi, dalam bahasa Kaili, bahasa yang digunakan suku Kaili yang mendiami sekitaran Teluk Palu, talise artinya ketapang. Vegetasi alami tersebut bisa dipertimbangkan sebagai bagian desain mitigasi tsunami di Teluk Palu.
Petisi
Masih terkait polemik pembangunan tanggul, saat ini telah ada petisi daring lewat laman Change.org yang diprakarsai pegiat literasi kebencanaan Sulteng, Neni Muhidin. Petisi itu mulai ditayangkan pada Sabtu (6/4/2019). Hingga hingga Minggu malam, petisi berjudul ”Tolak Tanggul Teluk Palu” itu ditandatangani 721 orang.
Neni menyatakan, petisi tersebut merupakan ruang bagi warga untuk menilai rencana pemerintah membangun tanggul. ”Aspirasi warga penyintas di Sulteng perlu diangkat karena subyek utama mitigasi, ya, warga. Rencana pemerintah membangun tanggul diputuskan secara sepihak tanpa memperhatikan aspirasi warga,” katanya.