CHENNAI, MINGGU — Penciptaan lapangan kerja menjadi salah satu isu utama pada Pemilu 2019 di India. Para peserta pemilu menyatakan kepeduliannya terhadap isu itu. Sayangnya, tenaga kerja murah masih digunakan untuk membangun kegiatan kampanye mereka.
Nagaraj Nataraj, salah satu tenaga kerja murah, sedang giat memenuhi permintaan barang kampanye partai, seperti bendera, pakaian, dan topi. Ia bersama istri dan putrinya bekerja hingga 14 jam sehari untuk menjahit pesanan-pesanan itu.
Jam kerja yang panjang itu tidak banyak menguntungkan. Untuk setiap bendera yang dihasilkan, Nagaraj hanya memperoleh sekitar 10 rupee India (atau kurang dari 15 sen dollar AS). Hasil yang rendah itu memaksa Nataraj dan keluarga bekerja dari subuh hingga petang demi memperoleh upah layak.
Nataraj menambahkan, materi pemilu tidak dipesan ke pabrik besar karena harganya lebih tinggi. ”Mereka memberikan pesanannya kepada kami dan membayar dengan upah yang yang lebih rendah. Kami sepakat karena tidak punya pilihan lain,” ucapnya.
Pemilu India adalah pemilu dengan jumlah pemilih dan tempat pemungutan suara terbesar di dunia. Jumlah pemilih di India mencapai 900 juta orang atau sama dengan jumlah penduduk di Eropa ditambah dengan jumlah penduduk di Brazil. Dengan angka pemilih sebesar itu, jumlah pendukung partai yang mengenakan berbagai macam aksesori kampanye tentu sangat besar. Pemilu ini dimulai 11 April 2019 dan diumumkan hasilnya pada 23 Mei 2019.
”Poin utama kampanye pemilu tahun ini adalah pengangguran. Upah kerja menjadi isu penting pula. Namun, eksploitasi tenaga kerja terus berlangsung. Mereka bahkan masih dieksploitasi untuk membuat materi kampanye pemilu,” kata Amarnath Sharma, Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja Garmen dan Sekutu.
Ia menduga, sebagian besar materi kampanye pemilu yang diperdagangkan itu dibuat oleh tenaga kerja yang bekerja dari rumah. Hal itu, ditambah dengan manajemen rantai pasokan yang kurang transparan, mempersulit para aktivis untuk memastikan jumlah upah minimum dan kondisi kerja.
Perwakilan dari Partai Bharatiya Janata (partai mengusung Narendra Modi sebagai kandidat perdana menteri pada pemilu tahun ini) pun mengakui, rantai pasokan produksi materi kampanye sangat kompleks. Bagaimana atau di mana barang itu diproduksi juga tidak diketahui dan kurang dipedulikan.
”Saya tidak tahu dari mana kaus (kampanye pemilu) itu berasal. Tetapi, saya tahu siapa yang membeli dan memakainya. Sumber kaus itu bukan urusan kami. Tujuan kami adalah membawa PM Modi dengan mayoritas suara. Ini urusan peningkatan visibilitas,” tutur Rohit Chahal, Kepala Media Nasional dari sayap pemuda Partai Bharatiya Janata (BJP).
Sebagian besar kapasitas produksi India masih bergantung pada tenaga kerja murah dan miskin yang bekerja di rumahnya. ”Pekerja-pekerja itu tetap tidak diperhatikan. Kampanye pemilu menjanjikan masa depan yang lebih baik. Tetapi, tidak dielaborasi bagaimana upah dan kondisi kerja akan ditingkatkan,” tambah Sharma.
Partai Kongres, yang merupakan partai oposisi utama, juga mengakui bahwa pihaknya tidak bisa mengidentifikasi semua produsen bendera kampanyenya.
”Ini melibatkan rantai pasokan yang sangat kompleks, terutama di mana pekerja rumahan terlibat. Dengan alih daya (outsourcing), kami sadar bahwa kadang-kadang upah minimum tidak dijamin. Isu ini adalah sesuatu yang akan kami perhatikan,” kata Shahnaz Rafique, koordinator nasional Partai Kongres untuk pekerja garmen dan pekerja rumahan.
Angka pengangguran yang tinggi merupakan isu yang paling disorot oleh partai oposisi pada pemilu tahun ini. Pemimpin oposisi, Partai Kongres, Rahul Gandhi, misalnya, pernah mengatakan, kekhawatiran utama negara itu adalah ”pengangguran dan tekanan terhadap petani” sehingga ekonomi perlu ”dimulai kembali”.
Berdasarkan data dari Pusat Pemantauan Ekonomi India (CMIE), lembaga wadah pemikir, memperkirakan tingkat pengangguran India 7,2 persen pada Februari 2019 atau naik 5,9 persen dibanding period yang sama tahun lalu.
Sebagian besar penganggur itu diperkirakan kelompok yang terdidik. ”India tidak menghasilkan jumlah lapangan kerja yang memadai bagi lulusannya. Tingkat pengangguran tinggi untuk mereka yang memiliki latar belakang pendidikan yang baik,” demikian diungkap laporan oleh CMIE, seperti dikutip Business Today, media lokal India. (REUTERS)