Bantalan kapal atau rubber airbag berbahan karet alam buatan dalam negeri dipasarkan untuk pertama kali. Produk yang telah disertifikasi itu diyakini dapat mengurangi ketergantungan impor sekaligus mendorong hilirisasi industri karet.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS – Bantalan kapal atau rubber airbag berbahan karet alam buatan dalam negeri dipasarkan untuk pertama kali. Produk yang telah disertifikasi itu diyakini dapat mengurangi ketergantungan impor sekaligus mendorong hilirisasi industri karet.
Bantalan kapal berupa tabung dengan katup di bagian ujungnya itu merupakan alat bantu alternatif dalam proses menaikkan dan meluncurkan kapal di galangan. Selama ini, produk itu masih didatangkan dari luar negeri, terutama China. Bahannya dari karet sintetis.
Namun, sejak 2014, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi bekerja sama dengan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mulai mengembangkan bantalan kapal berbahan karet alam. Pembuatan produk itu juga menggandeng PT Samudera Luas Paramacitra (SLP).
Pada Senin (8/4/2019), PT SLP yang terletak di Jalan Raya Cirebon – Tegal, Jawa Barat, mulai memasarkan produk buatan dalam negeri tersebut. Sebanyak 10 unit bantalan kapal berukuran panjang 12 meter dengan diameter 2 meter dikirim ke PT Dok dan Perkapalan Air Kantung (DAK).
Turut hadir Kepala BPPT Hammam Riza, Direktur Industri Kimia Hilir dan Farmasi Kementerian Perindustrian Taufiek Bawazier, Direktur Inovasi Industri Kemenristek dan Dikti Santosa Yudo Warsono, dan Direktur Utama PT SLP Martin Limansubroto. Ketua Umum Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia Eddy K Logam bersama perwakilan galangan kapal turut serta dalam acara itu.
Menurut Taufiek, selama ini, nilai impor bantalan kapal berbahan mencapai 10 juta dollar Amerika Serikat. Padahal, Indonesia memiliki bahan baku, yakni karet alam, melimpah. Produksi karet per tahun mencapai 3,5 juta ton.
Namun, yang diserap untuk industri di hilir tidak lebih dari 19 persen. Industri ban paling banyak menyerap karet, yakni sekitar 280.000 ton. Kehadiran bantalan kapal berbahan karet lokal ikut mendorong hilirisasi industri karet.
“Ini sangat potensial dikembangkan. Apalagi, Indonesia ingin menjadi poros maritim,” lanjutnya. Kontribusi industri karet terhadap produk domestik bruto (PDB), lanjutnya, juga tumbuh 6,9 persen atau senilai Rp 92 triliun.
Ini sangat potensial dikembangkan. Apalagi, Indonesia ingin menjadi poros maritim
Hammam menambahkan, kebutuhan bantalan kapal dalam negeri sedikitnya 1.500 unit. “Sekitar 600.000 ton karet akan dibutuhkan. Ini akan membantu petani karet karena produksinya diserap. Artinya, inovasi bantalan kapal ini juga menjawab kebutuhan pasar,” ujarnya.
Industri perkapalan dalam negeri pun bisa berkembang. Saat ini, terdapat lebih dari 12.000 kapal dengan 240 unit galangan kapal di Indonesia.
Tingkat komponen dalam negeri (TKDN) bantalan kapal tersebut mencapai sekitar 80 persen. Sejumlah bahan kimia harus didapatkan dari luar negeri. Namun, komponen utamanya, yakni karet alam ada di Indonesia.
Produk tersebut juga telah memiliki standar nasional Indonesia (SNI) bernomor 8549:2018 dan tersertifikasi ISO 14409:2011. Ia berharap, produk tersebut bisa diekspor jika kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi.
Kurangi impor
Santosa mengatakan, pihaknya tengah mengusulkan piroritas riset nasional (PRN) berbasis industri karet. Selain bantalan kapal, pihaknya juga tengah berupaya mengembangkan ban pesawat produk dalam negeri. “Sehingga, lima tahun ke depan, produk-produk karet dalam negeri terus bermunculan,” lanjutnya.
Martin mengklaim, produk tersebut lebih hemat hingga 10 persen dibandingkan produk impor karena bahan bakunya berasal dari dalam negeri. “Kami menggunakan bahan baku terbaik. Kami bisa memproduksi hingga 3 unit bantalan kapal,” ujarnya.
Kehadiran produk itu diharapkan dapat mengurangi 20-30 persen ketergantungan 100 persen impor rubber airbag. Meski demikian, menurut dia, tantangannya adalah pengembangan industri galangan kapal yang saat ini masih kembang kempis.
Eddy Logam mengapresiasi inovasi tersebut. “Jika tetap bergantung pada impor, industri galangan kapal menghadapi kendala kenaikan nilai dollar AS hingga devisa kita lari ke luar negeri. Kalau impor, kami juga harus membayar secara tunai. Jika produk dalam negeri, pembayaran bisa dicicil,” ujarnya.