Gema Perubahan dari Jurang Senggani
Harum biji kopi arabika Komasti Andungsari yang sedang disangrai menusuk hidung dan memancing imajinasi di antara hiruk-pikuk manusia saat Coffee Camp Generasi Baru Indonesia di Bumi Perkemahan Jurang Senggani, Tulungagung, Jawa Timur, akhir Februari 2019.
Kabut dalam udara sejuk lereng tenggara Gunung Wilis hampir habis meski tersisa ibarat selaput tipis di antara tegakan pinus dan cemara yang ditembus sinar surya pagi itu. Kemeriahan di sana seakan tak redup. Kegiatan baru berganti dari hiruk pikuk komunitas jip ke penggila kopi.
Di antara orang-orang yang hadir dalam kegiatan pencinta kopi ada yang tersenyum gembira, antara lain Kepala Desa Nglurup Mutmainah serta Tarni, Ketua Kelompok Sadar Wisata Jurang Senggani Sidorejo. Banyaknya pengunjung yang datang tentu membawa dampak ekonomi positif bagi desa. Warga mendapat uang dari jasa parkir, sewa bumi perkemahan, jasa ojek sepeda motor ke air terjun, serta jual makanan dan minuman di kedai.
Jurang Senggani di Desa Nglurup, Kecamatan Sendang, sebenarnya merupakan salah satu permata wisata alam Jawa Timur yang klasik atau terdengar sejak lama, tetapi belum banyak disentuh manusia karena keterbatasan akses. Melihat potensi ekonomi keberadaan Jurang Senggani, warga setempat berinisiatif membangun sesuatu.
Mereka ”terprovokasi” keberhasilan beberapa desa di Nusantara yang sukses mendulang cuan dari pengembangan dan pemanfaatan obyek wisata alam. Jurang Senggani pasti bisa dijual dan mendatangkan manfaat ekonomi meski harus berbagi dengan ”penguasa” kawasan, yakni Perum Perhutani.
Gerojokan itu sebenarnya amat jauh dan waktu tempuh amat melelahkan. Warga Nglurup berpikir, lebih baik mendirikan bumi perkemahan sebagai tempat istirahat. Berjalan sejauh 4 kilometer dari lokasi kemping dengan medan terjal lumayan bikin gentar, apalagi tanpa perbekalan.
Bagi yang sudah biasa bertualang, mandi keringat, pegal, dan letih akan terbayar dengan, misalnya, mandi dan berendam di bawah hunjaman teladas tadi. Namun, yang tak terbiasa atau penyuka obyek mudah dijangkau tentu kurang rela ”menyiksa” tubuh.
”Warga kemudian berinisiatif membuka jalur ke bumi perkemahan kira-kira tiga tahun lalu,” kata Tarni. Dengan peralatan pertanian sederhana, yakni cangkul dan linggis, rakyat memperjelas dan melebarkan jalan setapak sehingga sepeda motor bisa tembus. Waktu terus berjalan, jalur diperlebar lagi sehingga mobil bisa menjangkau bumi perkemahan.
Pada September 2016, warga desa menguji coba pengelolaan obyek baru itu bersama dengan Perhutani dan Pemerintah Kabupaten Tulungagung dengan sistem bagi hasil. Nglurup mendapat 50 persen, Perhutani 30 persen, dan Tulungagung 20 persen. Pengunjung yang masuk bumi perkemahan dikenai tarif Rp 5.000 dan asuransi Rp 500. Sepeda motor dikenai biaya parkir Rp 2.000 dan mobil Rp 5.000.
Pelan tetapi pasti, Jurang Senggani mulai dikenal dan didatangi pengunjung. Namun, di sisi lain, kelompok sadar wisata (pokdarwis) dan aparatur desa harus terus memutar otak guna mencari inovasi agar obyek wisata ini tetap digemari. Menambah sarana menjadi keniscayaan.
Pada tahun anggaran 2017, senilai Rp 100 juta dari dana desa dialokasikan untuk pelebaran dan perkerasan jalan menuju bumi perkemahan. Setahun berikutnya, diinvestasikan lagi Rp 30 juta dari dana desa untuk pembelian gazebo. Keberuntungan datang dengan wujud bantuan dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi berupa peti kemas, bilik portabel, paket peralatan dan perlengkapan flying fox, high rope, wahana permainan anak, dan tempat sampah senilai Rp 1 miliar. Selain itu, dana Rp 190 juta untuk melanjutkan perkerasan jalan akses.
Sentuhan TNI melalui program Tentara Manunggal Membangun Desa (TMMD) juga terasa membantu dalam membuka akses dan mempercantik bumi perkemahan. Bisa dibilang, sejak 2018, lokasi kemping ini telah benar-benar siap untuk menampung pengunjung. Dalam catatan pokdarwis, pada hari biasa pengunjung sekitar 200 orang per hari. Namun, pada akhir pekan dan hari libur, pengunjung minimal 400 orang, bahkan bisa tembus 1.000 orang.
Pada tahun 80-an pernah di sini diadakan Jambore Pramuka, tetapi tingkat lokal,” ujar Mutmainah. Dilihat dari sejarahnya, sudah selayaknya kawasan itu bisa dinikmati untuk berkemping. Penambahan wahana dan berbagai sarana tentu bertujuan agar pengunjung lebih betah berlama-lama berkemah.
Ada gardu pandang untuk melihat dataran lembah, gazebo untuk bersantai, arena bermain anak, lokasi swafoto, dan lapangan untuk mendirikan tenda. Air melimpah dan sejuk. Mushala sudah tersedia. Jika lapar dan malas memasak sendiri ada deretan warung makanan minuman. Kondisi yang standar untuk obyek wisata alam, tetapi cukup menyenangkan.
Potensi
Dari bumi perkemahan bisa dijangkau beberapa air terjun, yakni Empat Bidadari, Batu Prongos, dan Jurang Senggani. Jika enggan berjalan kaki, ada ojek sepeda motor. Namun, saat hujan turun dengan deras, disarankan untuk tidak bepergian ke penderasan. Jalur setapak akan kian sulit dilintasi bahkan dengan berjalan. Selain itu, menghindari potensi bencana alam tak terduga dari kondisi hujan deras.
Sarana penunjang untuk melindungi arca itu juga harus dibangun dan segera dianggarkan melalui dana desa.
Selain itu, di Dusun Jambuak ditemukan arca Buddha yang belum diteliti kesejarahannya. Pokdarwis dan aparatur desa sudah punya rencana untuk membuat akses yang tidak melelahkan bagi pengunjung untuk melihat dan menikmati arca tadi. ”Sarana penunjang untuk melindungi arca itu juga harus dibangun dan segera dianggarkan melalui dana desa,” kata Mutmainah.
Selain itu, embung atau telaga kecil di Dusun Pokolimo yang bisa dijadikan sarana wisata air. Belum ada rencana pasti akan diapakan danau mini tadi untuk mendukung pariwisata desa. Tampaknya, pokdarwis dan aparatur berprinsip menyelesaikan pembangunan dan penataan satu obyek terlebih dulu. ”Kekuatan desa terbatas,” ujar Sukadi, warga senior dan ketua pokdarwis sebelumnya.
Bahkan, potensi lain yang juga bisa ”dijual” sebagai wisata pendidikan dan lingkungan ialah budidaya kopi arabika jenis Komasti Andungsari dan specialty Kolombia Brasil (kobra). Ketua Kelompok Usaha Bersama Omah Kopi Mandiri Kristian Yuono mengatakan, sudah ada tanaman kopi robusta dan kobra yang dibudidayakan, tetapi kurang serius oleh petani yang rata-rata juga peternak sapi perah atau sapi pedaging dan peladang. Akibat ketidaktahuan dalam budidaya kopi, hasil panen kopi robusta terutama hanya dapat dijual di pasar-pasar tradisional dengan harga jual rendah.
Mendapat intervensi pendampingan dari Bank Indonesia, sejumlah petani kopi kemudian diikutkan dalam pelatihan teknik budidaya di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember. Selanjutnya, mereka magang di PT Perkebunan Nusantara XII Sepawon untuk fokus pembibitan, cara tanam, perawatan, penanganan hama, pemetikan, pemprosesan, dan produk akhir. ”Kemudian ada juga pelatihan pengolahan, pengemasan, pemasaran reguler hingga pemasaran digital,” ujar Kristian.
Kemudian ada juga pelatihan pengolahan, pengemasan, pemasaran reguler, hingga pemasaran digital.
Setelah pelatihan, petani dapat memperbaiki budidaya robusta dari 2.000 tanaman yang sudah ada. Selain itu, petani juga menanam varietas baru yang unggul, yakni Komasti Andungsari yang totalnya sudah 40.000 tanaman sejak penanaman perdana pada April 2017. ”Tanaman kopi arabika ini ternyata dapat dipanen sepanjang tahun dengan potensi 1 ton green bean per hektar per tahun dengan areal tanam seluas 20 hektar,” kata Kristian.
Integrasi
Camat Sendang Hartono mengatakan, dari potensi wisata alam dan budidaya kopi, Desa Nglurup sebenarnya bisa membuat semacam paket wisata terpadu. Yang datang ke Jurang Senggani tidak sekadar untuk menikmati bumi perkemahan dan air terjun, tetapi juga diajak melihat budidaya kopi. ”Atau melihat ternak sapi yang sudah menjadi tradisi,” katanya.
Khusus untuk kopi, sejatinya merupakan komoditas amat potensial dikembangkan di Tulungagung. Permintaan tinggi dan secara historis cukup intensif dibudidayakan di sekeliling Gunung Wilis. Sebenarnya banyak perkebunan peninggalan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda, tetapi banyak tutup akibat salah urus. Yang bertahan justru milik rakyat, tetapi perlu sentuhan teknik budidaya yang baik.
Dilihat dari berbagai potensi tadi, warga Nglurup merasa tertantang untuk mengelola dan memanfaatkan Jurang Senggani. Mereka sedang dalam tahap menyatukan pengelolaan wisata ke dalam badan usaha milik desa (BUMDes). Lembaga ini sudah ada sejak 2017 yang pada awalnya untuk simpan pinjam, tetapi akan dialihkan untuk usaha budidaya sapi perah sekaligus pariwisata.
”Budidaya tanaman dan ternak serta pariwisata akan menjadi tulang punggung perekonomian kami,” kata Tarni dengan bersemangat.