Hoaks “Server KPU”, Hoaks Paling Massif dan Sistematis Jelang Pilpres 2019
Masyarakat bisa mencegah penyebaran hoaks. Saat ini telah tersedia aneka macam perangkat untuk mengecek kebenaran informasi yang bergulit.
JAKARTA, KOMPAS — Dua pekan menjelang Pilpres 2019, penyebaran informasi palsu atau hoaks kian massif dan sistematis. Pendataan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia atau Mafindo, jutaan orang terpapar hoaks ini di media sosial
Pekan lalu, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia atau Mafindo menemukan penyebaran video hoaks yang berjudul “Server Komisi Pemilihan Umum disetting untuk memenangkan kubu tertentu” yang disebar secara massif di media sosial. Hoaks ini mulai terdeteksi di media sosial pada Rabu, 3 April 2018, pukul 19.30 WIB. Hanya dalam sehari, hoaks tersebut dibagikan lebih dari 45.000 kali dan dilihat 974.000 kali.
Hoaks “Server KPU” tersebut disebar di semua jejaring media sosial, mulai dari Facebook, Twitter, hingga Instagram. Pendataan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) belum termasuk penyebaran di grup Whatsapp yang diduga angkanya bisa jauh lebih besar.
Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho mengatakan, hoaks “Server KPU” tersebut sebagai hoaks yang paling besar dan paling cepat penyebarannya di masyarakat Indonesia terkait penyelenggaraan Pilpres 2019. Diduga, hoaks-hoaks semacam ini sengaja disebar unutk mendelegitimasi penyelenggaraan pemilihan umum.
Hoaks “Server KPU” tersebut sebagai hoaks yang paling besar dan paling cepat penyebarannya di masyarakat Indonesia terkait penyelenggaraan Pilpres 2019.
“Hoaks seperti ini tidaklah berdiri sendiri. Ini merupakan kelanjutan dari hoaks-hoaks sebelumnya seperti hoaks \'Tujuh Kontainer Surat Suara Tercoblos\', \'Truk Surat Suara Beraksara China\', dikombinasikan dengan persoalan faktual yang sebenarnya minor seperti sempat masuknya warga negara asing dalam daftar pemilih tetap (DPT),” kata Septiaji akhir pekan lalu di Jakarta.
Hoaks “Server KPU disetting untuk memenangkan kubu tertentu” menyebut server KPU ada di Singapura dan sudah di-setting kemenangan sebesar 57 persen untuk salah satu kubu. Informasi palsu ini disebar sangat massif jauh dibanding hoaks-hoaks sebelumnya. Diduga kuat, warga masyarakat yang terpapar hoaks ini di group Whatsapp mencapai jutaan orang.
“Ada 19 akun yang paling banyak menyebarkan hoaks ini, 14 di antaranya bukan akun asli alias akun abal-abal seperti aku dengan nama Rahmi Zainudin Ilyas, Rara Putri Edelweis, Noor Inesya Zain, dan Alena Putri,” kata Septiaji.
Menyikapi beredarnya informasi tersebut, Komisioner KPU Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa materi dan substansi yang disampaikan dalam video tersebut tidak benar. Faktanya, seluruh server KPU berada di dalam negeri dan sistem informasi teknologi yang ada hanya dimanfaatkan sebagai data pembanding agar masyarakat mendapatkan gambaran lebih dahulu tentang hasil pemilu melalui scan C1. Sementara itu, penghitungan suara resmi tetap dilakukan secara manual berjenjang, bukan menggunakan sistem IT.
Karena merasa dituduh dengan dasar yang tidak jelas melalui video tersebut, KPU merasa sangat dirugikan dan berencana melaporkan kasus ini ke Bareskrim Mabes Polri. Hasil cek fakta yang dilakukan cekfakta.com menyebut KPU dengan tegas membantah segala tudingan yang disampaikan dalam video yang disebar secara massif dan sistematis tersebut.
Begitu banyaknya orang yang terperdaya oleh informasi dari akun abal-abal ini menunjukkan betapa rendahnya tingkat literasi media masyarakat. Hal ini diperparah juga dengan tidak meratanya pemahaman tentang Pilpres 2019 di kalangan masyarakat. Sebagai contoh, banyak masyarakat yang belum paham bahwa Pilpres 2019 masih berbasis manual, sedangkan sistem teknologi informasi yang ada fungsinya hanya sebagai pelengkap untuk mempermudah rekapitulasi perhitungan suara, kontrol dan komunikasi.
Begitu banyaknya orang yang terperdaya oleh informasi dari akun abal-abal ini menunjukkan betapa rendahnya tingkat literasi media masyarakat. Hal ini diperparah juga dengan tidak meratanya pemahaman tentang Pilpres 2019.
Fanatisme buta
Menurut Presidium Mafindo Jakarta Anita Wahid, meningkatnya suasana emosi publik beberapa hari menjelang Pemilu 2019 menyebabkan masyarakat mudah terseret dengan informasi-informasi politik yang sensasional.
“Ini adalah dampak nyata dari fenomena post-truth pada bangsa kita, dan inilah saat yang penting bagi setiap orang untuk benar-benar bisa melakukan pengendalian diri. Ketika mendapatkan informasi yang \'too good to be true\' atau \'too bad to be true\', masyarakat harus langsung waspada, berhenti dan refleksi diri. Jangan-jangan ini hoaks,” jelas Anita.
Ini adalah dampak nyata dari fenomena post-truth pada bangsa kita, dan inilah saat yang penting bagi setiap orang untuk benar-benar bisa melakukan pengendalian diri.
Anita berharap, kehidupan pribadi masyarakat jangan sampai bermasalah hanya karena mereka gagal mengendalikan emosi dan jari. Ujung-ujungnya, mereka harus berurusan dengan penegak hukum.
“Pastikan kita sudah melakukan verifikasi fakta terhadap informasi yang kita terima, sebelum membagi ulang kepada kawan kita. Jika informasi itu benar tapi tidak bermanfaat, jangan dibagikan, kalau benar dan jelas manfaatnya, barulah kita bagikan," lanjutnya.
Masyarakat perlu mengetahui cara untuk mengecek sebuah informasi itu benar atau tidak. Selain bertumpu kepada sumber informasi yang kredibel, khususnya media massa yang terdaftar di Dewan Pers, masyarakat juga bisa menggunakan berbagai inovasi anti hoaks karya anak bangsa seperti WhatsApp Hoax Buster untuk mengecek informasi hoaks atau tidak melalui nomer WA 0855-7467-6701.
Selain itu, masyarakat juga bisa memasang aplikasi Hoax Buster Tools di Android untuk memudahkan membedakan hoaks dan bukan. Beberapa situs antihoaks seperti cekfakta.com, TurnBackHoax.ID, StopHoax.ID juga bisa memudahkan masyarakat untuk mengecek informasi hoaks.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan menambahkan, dalam upaya memberantas berita-berita palsu, sejumlah media dan organisasi kini berkolaborasi membentuk cekfakta.com untuk menguji setiap fakta yang muncul di media sosial. “Tren kolaborasi seperti ini sekarang berkembang. Ini adalah langkah positif untuk bersama-sama memerangi penyebaran berita-berita palsu,” ucapnya.
Sejumlah media dan organisasi kini berkolaborasi membentuk cekfakta.com untuk menguji setiap fakta yang muncul di media sosial.
Laman khusus untuk mengecek kebenaran berita bernama cekfakta.com tersebut merupakan kolaborasi Mafindo bersama beberapa media daring yang tergabung di AJI dan Asosiasi Media Siber Indonesia, serta didukung Google Initiative, Internews, serta FirstDraft. Kolaborasi ini dalam rangka melawan hoaks yang beredar melalui kerja-kerja jurnalistik.
Jika mau berupaya, masyarakat sekarang bisa menggunakan aneka macam perangkat untuk mengecek kebenaran informasi dan opini yang bergulir. Ini bisa terlaksana jika setiap individu memiliki kesadaran untuk tetap kritis dan terus-menerus mau merawat nalar yang sehat.