Maraknya praktik politik uang jelang pemilu di Indonesia dinilai berakar dari lemahnya peran partai politik dalam menguatkan basis di akar rumput.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Maraknya praktik politik uang jelang pemilu di Indonesia dinilai berakar dari lemahnya peran partai politik dalam menguatkan basis di akar rumput. Reformasi partai politik dan sistem pemilu perlu dilihat sebagai upaya jangka panjang untuk memutus mata rantai politik uang.
Pandangan tersebut menjadi salah satu kesimpulan dari buku ilmiah berjudul Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia yang ditulis oleh peneliti dari Australian National University, Edward Aspinall, dan peneliti KITLV Belanda, Ward Berenschot.
Buku itu merupakan hasil penelitian dan kerja lapangan bersama ratusan ahli politik di 15 ibu kota provinsi di Indonesia mulai 2013 hingga 2014.
Edward Aspinall yang hadir menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk ”Politik Uang dalam Pemilu 2019”, Senin (8/4/2019), di Jakarta, mengatakan, praktik politik uang atau yang disebut pula klientelisme menjadi masalah tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di banyak negara.
Hanya saja, politik uang di Indonesia diperburuk dengan lemahnya partai politik (parpol) merawat hubungan dengan akar rumput di luar masa pemilu.
”Klientelisme yang berdasarkan hubungan timbal balik jangka panjang dan dirawat parpol di antara masa pemilu masih lemah di Indonesia. Di sini, peserta pemilu cenderung mengandalkan pemberian atau serangan fajar besar-besaran jelang pemilu,” katanya dalam diskusi yang digelar oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES) dan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) tersebut.
Selain Edward Aspinall dan Ward Berenschot, hadir pula sebagai pembicara, Pemimpin Redaksi Jurnal Prisma LP3ES Daniel Dhakidae dan pengajar di Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Diponegoro, Wijayanto.
Dalam buku disebutkan, praktik politik uang paling banyak ditemukan dalam pemilihan calon anggota legislatif (caleg). Sebanyak 60-80 persen praktik pembelian suara terjadi saat pemilihan calon anggota DPRD. Kecenderungan itu lebih tinggi dibandingkan saat pemilihan kepala daerah, yaitu 40-60 persen, dan pemilu presiden, 20-40 persen.
”Kami sering bertemu dengan caleg yang biasanya membentuk tim sukses yang terdiri atas ribuan orang. Mereka lalu akan mengidentifikasi pemilih yang sudah berkomitmen untuk memilih calon mereka, tentu saja dengan imbalan uang untuk mengikat komitmen tersebut,” ujarnya.
Hal lain yang menunjukkan lemahnya parpol, menurut Aspinall, adalah sistem elektoral yang ada saat ini. Peserta pemilu lebih mengandalkan kekuatan individual mereka, bukan dengan kekuatan basis partainya.
”Untuk membangun sistem politik demokratik yang lebih sehat, yang bisa mendorong pembangunan ekonomi yang lebih berhasil, politik programatik melalui partai politik yang kuat menjadi prasyaratnya,” ujarnya.
Reformasi sistem
Praktik politik uang juga dinilai masih akan mengancam dalam proses pemilu yang menerapkan sistem proporsional terbuka, yaitu rakyat berdaulat penuh atas peserta pemilu yang dipilih. Oleh karena itu, Wijayanto menilai, sistem pemilu perlu diubah menjadi proporsional tertutup. Sistem tertutup diyakini bisa menekan politik uang.
”Dengan sistem proporsional terbuka, setiap calon akan bersaing satu sama lain sekalipun calon berasal dari partai yang sama. Lalu, ketika calon lain menggunakan politik uang, mereka akan tergoda melakukan hal yang sama. Kalau dengan sistem tertutup, partai akan dituntut memperkuat perannya sehingga politik uang bisa dicegah,” katanya.
Penguatan peran partai bisa terjadi, karena dengan sistem tertutup, biaya pemilu bisa dikurangi. Dengan demikian, hal itu bisa dialihkan untuk menguatkan partai. Meski demikian, dia mengingatkan, bantuan pendanaan partai dari negara tetap dibutuhkan.
”Pemerintah harus mengatur pendanaan yang sesuai untuk parpol, demikian juga dalam hal sumbangan dari individu-individu yang harus ada batasan maksimalnya. Namun, agar tidak disalahgunakan, transparansi penggunaan dana oleh parpol juga perlu diatur,” ujarnya.
Sementara Daniel berpendapat, tidak ada cara lain untuk menghindari politik uang dalam sistem demokrasi Indonesia selain dengan kembali pada konstitusi.
"Cara mempraktikkan demokrasi yang ideal, baik melalui pemilu dan menjalankan kebebasan berdemokrasi, harus berdasarkan undang-undang dasar. Jadi, para teknokrat harus menciptakan alat pemilihan yang lebih memperhatikan kepentingan untuk meningkatkan kehidupan yang lebih baik," katanya.