Berbagai kalangan, terutama para pejabat Palestina, mengecam keras pernyataan Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu untuk menganeksasi permukiman Yahudi di Tepi Barat.
LAUT MATI, MINGGU— Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Malki, Minggu (7/4/2019), melontarkan peringatan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang menjanjikan aneksasi permukiman Yahudi di wilayah pendudukan Tepi Barat dalam kampanye menjelang pemilu di Israel. Ia menegaskan, Palestina akan menolak tegas jika janji kampanye itu direalisasikan.
Dalam wawancara dengan kantor berita Associated Press di sela-sela Forum Ekonomi Dunia di Jordania, Malki menyatakan, pemimpin Israel bakal menghadapi masalah nyata jika janji kampanye Netanyahu itu benar-benar dilaksanakan.
”Jika Netanyahu ingin mendeklarasikan kedaulatan Israel atas Tepi Barat, Anda tahu, dia harus menghadapi masalah nyata, keberadaan 4,5 juta warga Palestina, apa yang akan dilakukan terhadap mereka,” ujar Malki, yang diperkirakan merujuk pada gabungan warga Palestina di wilayah pendudukan Tepi Barat, Jerusalem Timur, dan Jalur Gaza.
”Pernyataan dia (Netanyahu) bukan hanya di tengah panasnya kampanye pemilihan,” kata Hanan Ashrawi, pejabat senior Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), secara terpisah. ”Hal itu menjadi akhir bagi peluang upaya perdamaian.”
Seorang jubir Hamas, kelompok pejuang yang mengontrol Jalur Gaza, menyatakan, ”Respons terhadap kejahatan dan kebodohan (Israel) bakal dipersiapkan oleh perlawanan rakyat, perlawanan senjata, dan oleh seluruh kekuatan kami.”
Sabtu (6/4) malam, Netanyahu—yang juga akrab disapa dengan panggilan Bibi—melontarkan pernyataan untuk menganeksasi permukiman Yahudi di wilayah pendudukan Tepi Barat seusai pemilu, yang akan digelar Selasa besok. ”Siapa bilang kami tak ingin melakukannya? Kami sedang dalam proses dan kami tengah membahasnya,” kata Netanyahu, saat ditanya alasan tidak memperluas kedaulatan Israel atas permukiman di Tepi Barat kepada televisi Saluran 12.
Beberapa komentator setempat menyebut janji pemimpin sayap kanan Israel itu merupakan upaya untuk meraih dukungan suara dari para pesaing kelompok ultranasionalis yang sudah lama menginginkan aneksasi di Tepi Barat.
Setelah bertahun-tahun menahan diri dari seruan kelompok sayap kanan untuk secara formal wilayah Tepi Barat yang direbut pada Perang Arab 1967, Netanyahu bisa mengandalkan perubahan dramatis sekutu dekatnya, Presiden AS Donald Trump, dalam kebijakan Timur Tengah. Maret lalu, Trump menabrak konsensus internasional dengan mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan yang direbut dari Suriah.
Langkah itu merupakan kelanjutan kebijakan AS paling pro-Israel setelah, pada Desember 2017, Washington mengakui Jerusalem ibu kota Israel.
Menlu Riyad al-Malki menuding AS sebagai pihak yang mendorong Netanyahu lewat pengakuan terhadap Jerusalem sebagai ibu kota Israel dan terhadap kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan.
Dikecam
Aneksasi permukiman di Tepi Barat hampir bisa dipastikan bakal memupus peluang terwujudnya solusi dua negara. Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengecam tekad Netanyahu menganeksasi wilayah di Tepi Barat sebagai ”pernyataan tak bertanggung jawab guna mendulang suara”.
Melalui cuitan di akun Twitter-nya, Cavusoglu menegaskan, Tepi Barat adalah teritori Palestina. ”Pemilu Israel tidak bisa dan tidak akan mengubah fakta ini,” katanya.
Menlu Rusia Sergey Lavrov mengungkapkan keprihatinan atas ”keputusan tidak sah” AS di kawasan. ”Kami melihat adanya solusi dalam dialog-dialog antarnegara karena langkah unilateral tak akan membawa kebaikan,” kata Lavrov.
Dalam pemilu Israel, Netanyahu bakal menghadapi persaingan mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata IsraelBenny Gantz dari Biru dan Putih yang berhaluan tengah. Dalam wawancara dengan laman Ynet, Gantz juga mengecam pernyataan Netanyahu.